27 Juli 2023
JAKARTA – Jika Indonesia ingin melindungi apa yang tersisa dari demokrasinya yang memudar, ia harus menjaga politik partainya tetap sehat melalui sistem demokrasi yang memungkinkan pertikaian yang adil antara faksi-faksi yang bersaing di dalam partai.
Sayangnya, sistem ini tidak selalu berhasil, mengingat masih berlanjutnya klientelisme dan jual beli suara dalam politik Indonesia. Namun demikian, setidaknya hingga saat ini, kita masih memiliki persaingan yang sehat di dalam partai politik, dengan sedikit, kalaupun ada, campur tangan negara.
Oleh karena itu, kami sangat prihatin dengan krisis kepemimpinan di tubuh Partai Golkar akhir-akhir ini yang menunjukkan banyak tanda-tanda campur tangan negara. Ini mengkhawatirkan dalam banyak hal, terutama karena terjadi hanya beberapa bulan sebelum pemilihan.
Mari kita hadapi, Golkar tak diragukan lagi adalah partai paling demokratis di negeri ini meski masa lalunya yang kelam sebagai kendaraan politik Orde Baru yang terlibat dalam berbagai bentuk kecurangan suara. Partai tersebut mungkin tidak kehilangan reputasinya sebagai partai oligarki, tetapi politik partainya cukup kompetitif untuk memungkinkan perubahan kepemimpinan yang berarti. Partai politik besar lainnya dikendalikan sepenuhnya oleh tokoh atau keluarga tertentu, atau terlalu lemah untuk melawan kekuatan uang, yang berarti mereka dapat “dibeli” oleh orang luar yang kaya.
Sulit membayangkan siapa pun selain Megawati Soekarnoputri sebagai pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan pimpinan partai tidak tertarik dengan gagasan pemilihan kader di luar keluarga Sukarno. Begitu pula dengan kekuasaan Prabowo Subianto di Partai Gerindra, Yudhoyono di Partai Demokrat, dan Surya Paloh di Partai NasDem. Fakta bahwa Prabowo dan Surya membangun karir politik mereka melalui Golkar merupakan bukti kedewasaan Golkar.
Jelang pemilu, sejumlah kader Golkar menyerukan kongres luar biasa untuk menggulingkan Ketua Airlangga Hartarto. Airlangga dinominasikan sebagai presiden beberapa tahun lalu, tetapi gagal mendongkrak popularitasnya.
Krisis ini tidak disebabkan, setidaknya tidak secara langsung, oleh buruknya hasil pemilu Airlangga, tetapi oleh dugaan rencananya untuk keluar dari dua koalisi pro-pemerintah, yang satu dipimpin oleh PDI-P dan yang lainnya oleh Partai Gerindra. dan bergabung dengan koalisi oposisi yang dipimpin oleh Partai NasDem. Spekulasi ini muncul dari kehadiran pengurus Golkar di pesta NasDem baru-baru ini, yang menampilkan pidato politik calon presidennya, Anies Baswedan.
Perebutan kekuasaan di tubuh Golkar tidak jarang terjadi, namun krisis kepemimpinan belakangan ini berbeda. Ini menunjukkan beberapa tanda campur tangan negara yang dapat melemahkan independensi partai dan semakin merusak sistem partai sebagai institusi demokrasi.
Luhut Binsar Panjaitan, seorang makelar kekuasaan yang berpengaruh di Istana Negara yang merupakan dewan penasehat partai, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan KompasTV bahwa ia siap untuk mengikuti pemilihan pimpinan partai untuk menggantikan Airlangga jika ada dukungan di antara anggota. Dia berargumen bahwa kepemimpinan saat ini “tampaknya menjual dirinya sendiri dan menjual terlalu banyak.”
Perlu dicatat bahwa Luhut meninggalkan Golkar ketika dia secara terbuka mendukung Gubernur Jakarta Joko “Jokowi” Widodo sebagai calon presiden. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi itu kini lebih dipandang sebagai tangan kanan presiden ketimbang elite partai Golkar yang mendapat dukungan cukup besar dari jajaran partai.
Tak ayal, ketika krisis sedang terjadi di tubuh Golkar, Airlangga dipanggil Kejaksaan Agung untuk dimintai keterangan terkait dugaan perannya dalam kasus korupsi sawit. Sulit untuk mengabaikan kesan bahwa langkah Kejaksaan Agung bersifat politis, terutama ketika muncul kekhawatiran tentang tren yang mengkhawatirkan dari pemerintah yang mempersenjatai badan penegak hukum untuk tujuan politik jangka pendek.
Untuk lebih jelasnya, kita tidak tahu apakah ada komplotan di Istana Negara untuk menggulingkan Airlangga sebagai bagian dari upaya Presiden untuk ikut campur dalam proses pemilu. Terlepas dari benar atau tidaknya, pernyataan Luhut bahwa dirinya siap memimpin Golkar memberikan pesan yang salah kepada publik, mengingat latar belakang politik.
Negara harus membiarkan Golkar menyelesaikan masalahnya sendiri dan memilih koalisi mana yang sesuai dengan cita-cita dan kepentingannya.
Kita harus menjaga politik partai kita sehat.