27 Desember 2022
JAKARTA – World Economic Forum 2020 menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan kunci peningkatan pendapatan nasional. Analisis McKinsey Global Institute tahun 2018 juga menyebutkan bahwa Indonesia dapat memperoleh produk domestik bruto sebesar US$135 miliar per tahun pada tahun 2025, dengan syarat lebih banyak perempuan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi.
Sayangnya, partisipasi angkatan kerja perempuan di sektor formal pada tahun 2021 masih sebesar 53,3 persen, lebih rendah dibandingkan rata-rata Asia Timur dan Pasifik sebesar 67,7 persen. Sektor formal mempunyai potensi besar dalam menyerap tenaga kerja perempuan, mengingat tingginya persentase perempuan usia produktif, yakni sebanyak 68,52 persen.
Namun kebutuhan untuk meningkatkan partisipasi ekonomi perempuan di sektor formal masih belum diimbangi dengan kualitas sumber daya manusianya. Hampir dua dari 10 perempuan berusia 15 tahun ke atas di Indonesia tidak memiliki ijazah atau sederajat, dan sebagian besar perempuan (64,12 persen) memiliki pendidikan sekolah dasar ke bawah (Badan Pusat Statistik/BPS, 2021).
Pembangunan sumber daya manusia Indonesia bagi perempuan tidak kalah pentingnya dengan laki-laki. Berdasarkan data BPS tahun 2020, perempuan berjumlah 49,42 persen dari jumlah penduduk. Pada saat yang sama, 13,91 persen perempuan bertindak sebagai kepala rumah tangga dan 31,60 persen masih lajang, jauh lebih banyak dibandingkan laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga lajang (3,53 persen).
Artinya perempuan memerlukan pendidikan. Perempuan terpelajar dapat mengambil keputusan, meningkatkan pendapatan rumah tangga dalam jangka panjang dan berperan penting dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional. Selain itu, sertifikasi pendidikan tinggi dapat meningkatkan peluang perempuan untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan tetap di sektor formal.
Perempuan telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional, terutama di masa pandemi. Banyaknya pekerja laki-laki yang di-PHK menjadikan perempuan sebagai pencari nafkah utama. Berdasarkan data BPS tahun 2021, kontribusi perempuan terhadap pendapatan rumah tangga meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Faktanya, di Kabupaten Nias, Karo, Humbang Hasundutan, Samosir, Nias Barat (Sumatera Utara), Gunung Mas (Kalimantan Barat) dan Manokwari Selatan (Papua Barat), perempuan merupakan kontributor utama perekonomian rumah tangga, yang jumlahnya melebihi 50 persen dari pendapatan.
Sejalan dengan itu, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan pada tahun 2021 perempuan memiliki 53 persen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia yang menyumbang 61 persen terhadap PDB. Selain itu, perempuan merupakan 21 persen wirausaha, lebih tinggi dibandingkan angka global yang hanya 8 persen.
Selain itu, UMKM yang dikelola perempuan lebih tangguh selama pandemi, karena perempuan cenderung lebih rajin mengembangkan usahanya dan mencari peluang pemasaran online. Hal ini juga sejalan dengan data UN Women tahun 2021: pendapatan perempuan meningkat hingga 82 persen selama pandemi.
Oleh karena itu, peran perempuan dalam pemulihan ekonomi tidak bisa diabaikan.
Namun pada saat yang sama, perempuan juga termasuk dalam populasi yang rentan. Sebab, sebagian besar perempuan pengusaha UMKM hanya berpendidikan sekolah dasar. 2022). Rendahnya tingkat pendidikan perempuan pengusaha UMKM mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengelola usahanya. Banyak dari mereka memerlukan lebih banyak kompetensi dalam manajemen perputaran modal dan akuntansi bisnis. Modal usaha mereka masih tercampur dengan keuangan rumah tangga sehari-hari, sehingga sulit untuk mencatat keuntungan dan belanja modal.
Selain itu, mandat pembatasan sosial dan penutupan toko selama pandemi berdampak pada berkurangnya pendapatan harian UMKM, sehingga mendorong banyak pengusaha perempuan mencari sumber pendapatan alternatif.
Tekanan ekonomi selama pandemi COVID-19 juga menambah beban perempuan untuk mencapai tujuan tersebut. Tak sedikit pengusaha UMKM yang terjebak pinjaman online. Pinjaman menjadi menarik karena pinjaman online tidak memiliki persyaratan administrasi, tidak seperti pinjaman bank, dan cicilannya relatif kecil. Misalnya, jika mereka mengambil pinjaman online sebesar Rp 500.000 ($32), peminjam hanya menerima Rp 480.000 dan membayar cicilan harian sebesar 78.000, yang mungkin terasa ringan.
Pada saat yang sama, mereka cenderung tidak mempertimbangkan denda atas keterlambatan pembayaran. Jika dihitung dengan benar, peminjam harus membayar kembali jumlah yang berkali-kali lipat lebih tinggi dari jumlah pinjaman yang mereka terima.
Ironisnya, pinjaman menjadi sumber dana darurat bagi usaha kecil dan jalan pintas mencari nafkah yang tidak boleh diambil.
Nailul Huda, yang mengepalai Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital di Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), mengatakan kepada sebuah surat kabar di Jakarta bahwa perempuan adalah sasaran empuk bagi pemberi pinjaman ilegal karena tingkat literasi keuangan di kalangan perempuan relatif rendah. Akibatnya, pemberi pinjaman online menargetkan perempuan untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi.
Selain itu, OJK menyatakan perempuan lebih banyak menghadapi masalah dengan pemberi pinjaman teknologi keuangan (fintech) dan intimidasi serta pelecehan dari pemberi pinjaman online ilegal.
Hal ini terjadi karena perempuan kurang memahami persyaratan, biaya administrasi, dan denda yang tinggi. Oleh karena itu, literasi keuangan juga penting untuk menciptakan kesehatan keuangan bagi keluarga dan bisnis yang dipimpin oleh perempuan.
Pemerintah bekerja sama dengan industri fintech untuk memberantas pemberi pinjaman ilegal dan menciptakan iklim keuangan yang aman bagi masyarakat. Pemerintah melalui Kapolri, OJK, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika terus berupaya membasmi pinjol ilegal melalui CekFintech.id (www.cekfintech.id), sebuah platform untuk mengecek, untuk memperkenalkan. pemberi pinjaman online yang disetujui oleh BI dan OJK, dengan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Lebih lanjut, AFPI dan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) menerbitkan kode etik penerapan fintech yang bertanggung jawab.
Secara makro, Kementerian Keuangan telah berupaya menciptakan kebijakan yang mendukung perempuan pengusaha UMKM. Pertama, memberikan dukungan anggaran program yang menyasar perempuan kepala keluarga sebagai penerima manfaat dengan meningkatkan bantuan sosial hingga Rp 220 triliun pada tahun 2021, serta memberikan bantuan kredit kepada usaha ultra mikro dan bantuan produktif kepada lebih dari 12 juta UMKM.
Kedua, negara ini telah mengembangkan infrastruktur digital untuk memacu pengembangan keuangan inklusif bagi perempuan di wilayah kurang mampu, seiring dengan pandemi COVID-19 dan pembatasan terkait yang memaksa seluruh aktivitas beralih ke platform digital.
Sementara itu, ketimpangan dalam infrastruktur digital semakin terlihat selama pandemi ini. Misalnya, meskipun akses terhadap Internet dan teknologi informasi masih dianggap remeh di Jakarta, banyak daerah di negara ini yang masih kekurangan infrastruktur dasar.
Oleh karena itu, melalui Kementerian Keuangan pada tahun 2021, pemerintah telah membantu setidaknya 12.377 fasilitas pelayanan publik tanpa akses 4G di wilayah 3T (terluar, tertinggal, perbatasan) dengan tambahan 5.500 base transceiver station (BTS). Proyek ini terpisah dari program yang sudah ada, seperti instalasi serat optik dan Palapa ring.
Upaya tersebut bertujuan untuk meningkatkan jangkauan layanan publik, meningkatkan kualitas komunikasi, dan mengatasi kerentanan saat krisis.
Menteri Keuangan sebelumnya mengatakan bahwa ekonomi digital memiliki potensi yang besar, bahkan sebelum pandemi terjadi. Tahun lalu, Indonesia bisa memperoleh pendapatan sebesar $44-124 miliar jika mengembangkan infrastruktur digital dan ekonomi digital.
Oleh karena itu, pemerintah mendukung ekosistem ekonomi digital melalui program Pembiayaan Ultra Mikro (UMi), yang menyasar usaha mikro di tingkat terendah yang tidak dapat difasilitasi oleh bank melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Program UMi memberikan pinjaman kurang dari Rp 10 juta kepada pelaku usaha online untuk mewujudkan inklusi keuangan dan digital, terutama di masa pandemi dan pasca pandemi.
Terakhir, ketahanan perempuan dalam pengelolaan keuangan skala kecil untuk menyelamatkan perekonomian keluarga harus diakui dengan membekali mereka dengan literasi keuangan. Literasi keuangan memberikan banyak manfaat, seperti kemampuan memilih dan menggunakan produk dan layanan keuangan sesuai kebutuhan, menjadi lebih baik dalam perencanaan keuangan, dan menghindari investasi pada instrumen keuangan yang tidak jelas.