9 Juni 2023
JAKARTA – Luhut Pandjaitan, seorang menteri senior di kabinet, menjadi saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada hari Kamis sebagai penggugat dalam kasus pencemaran nama baik terhadap dua aktivis, yang membela namanya terhadap tuduhan keterlibatan dalam usaha pertambangan di Papua yang damai. propinsi.
Haris Azhar dari Yayasan Lokataru dan Fatia Maulidiyanti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) diadili karena mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dalam sebuah video YouTube, yang mengklaim bahwa dia terkait dengan seorang pemilik rumah. perusahaan pertambangan eksploitasi. yang berkontribusi terhadap peningkatan aktivitas militer di Intan Jaya.
Luhut, mantan jenderal Angkatan Darat, mengaku tersinggung dengan sebutan “tuan” dan “penjahat” dalam komentarnya. Ia juga bersikeras bahwa ia tidak memiliki bisnis di Papua yang kaya akan sumber daya alam, dan bahwa ia tidak berperan dalam meningkatnya kehadiran militer di provinsi tersebut, yang merupakan salah satu wilayah termiskin di negara tersebut.
Dia mengatakan, dalam kapasitas resminya untuk mengawasi urusan maritim dan investasi, mustahil untuk campur tangan dalam operasi militer apa pun.
“Saya belum pernah punya bisnis di Papua,” kata Luhut.
“Saya juga dipanggil ‘tuan’ dan ‘penjahat’. Bagi saya, kata-kata itu sangat menyakitkan, terutama ketika saya memikirkan anak cucu saya (yang melihat video tersebut), karena jejak digital tidak akan pernah hilang.”
Lebih lanjut, ia mengatakan, sejak bergabung dengan Kabinet, ia tidak pernah terlibat langsung dengan perusahaan mana pun karena ia lebih memilih fokus pada tugasnya sebagai Menteri Koordinator.
Haris dan Fatia didakwa melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tahun 2016.
Undang-undang tersebut saat ini sedang diamandemen untuk menyesuaikan dengan revisi KUHP dan melunakkan beberapa ketentuan yang oleh para kritikus disebut “kejam”.
Haris dan Fatia membantah menyebut Luhut sebagai penjahat dalam video YouTube tersebut, di mana mereka melontarkan komentar yang menuduh Luhut memiliki kepentingan di Papua dan menyoroti aktivitas pertambangan yang kontroversial dan peningkatan kehadiran militer di Intan Jaya.
Kasus pencemaran nama baik ini bermula saat Luhut Haris dan Fatia melapor ke polisi karena melakukan pencemaran nama baik dengan mengunggah videonya secara online.
Tuduhan Haris dan Fatia terhadap Luhut didasarkan pada laporan berjudul Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya yang diterbitkan koalisi organisasi sipil.
Mereka mengklaim aktivitas pertambangan eksploitatif di Papua dikelola oleh PT Tobacom Del Mandiri, anak perusahaan PT Toba Sejahtra Group, yang sahamnya diduga dimiliki oleh Luhut.
Dalam keterangannya di persidangan, Kamis, Luhut membantah tudingan Haris dan Fatia soal keterkaitan kedua perusahaan tersebut.
Sekitar 100 petugas polisi dikerahkan untuk menjaga sidang dan membatasi akses ke ruang sidang, menurut laporan berita.
Sidang hari Kamis dimulai dengan kekacauan ketika pengadilan menolak mengizinkan seluruh anggota tim kuasa hukum kedua aktivis tersebut masuk ke ruang sidang, dengan alasan hanya tersedia 12 kursi.
Pengacara para aktivis berulang kali mengajukan keberatan selama persidangan. Diantaranya saat tim kuasa hukum Luhut menyebut video tersebut “bermasalah” dan saat Luhut meminta hakim mengizinkannya menyampaikan pesan WhatsApp antara dirinya dan Haris ke pengadilan, untuk membuktikan bahwa mereka di masa lalu memiliki hubungan baik.
Di akhir sidang, Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana meminta Haris dan Luhut berjabat tangan sekaligus menyudahi perbincangan singkat antara penggugat dan tergugat.
Puluhan aktivis berkumpul di luar gedung pengadilan untuk mendukung Haris dan Fatia, karena khawatir kasus tersebut akan mengurangi ruang wacana sipil di negara tersebut.