1 November 2022
JAKARTA – Sebuah studi baru menemukan bahwa beberapa kota di Indonesia merupakan salah satu tempat di mana “pergeseran iklim” paling sering terjadi, dan perubahan iklim sangat mempengaruhi suhu harian dan fenomena cuaca.
Organisasi berita nirlaba Climate Central baru-baru ini meluncurkan Global Climate Shift Index (CSI) yang berupaya mengukur pengaruh lokal perubahan iklim terhadap suhu harian di seluruh dunia.
Direktur ilmu iklim Climate Central Andrew Pershing mengatakan indeks ini dibuat dengan menganalisis frekuensi suhu yang berbeda dalam iklim saat ini, dengan mempertimbangkan dampak industrialisasi dan perubahan penggunaan lahan.
“Indeks Pergeseran Iklim kami mengukur bagaimana perubahan iklim telah meningkatkan kemungkinan terjadinya suhu pada hari tertentu,” kata Pershing kepada The Jakarta Post melalui email pada hari Sabtu.
Analisis CSI global pertama dilakukan mulai 1 Oktober 2021 hingga 30 September, di lebih dari 1.000 kota di seluruh dunia. Hasil analisis tersebut dipublikasikan dalam laporan bertajuk “365 Hari di Planet yang Memanas” yang menemukan bahwa 96 persen populasi dunia atau sekitar 7,6 miliar orang mengalami suhu harian yang semakin hangat akibat perubahan iklim.
Namun, tidak semua wilayah mengalami dampak perubahan iklim yang sama, karena masing-masing wilayah mempunyai skor indeks perubahan iklim yang berbeda-beda, yang diukur dalam rentang -5 hingga +5. Skor indeks yang lebih tinggi berarti bahwa suhu yang diamati menjadi lebih umum terjadi akibat perubahan iklim, sedangkan skor yang lebih rendah dan bahkan negatif berarti bahwa perubahan iklim membuat suhu yang diamati menjadi lebih kecil kemungkinannya.
Laporan tersebut menemukan bahwa kepulauan Malaysia – yang mencakup Indonesia, Filipina, Singapura, dan Papua Nugini –, Brasil bagian utara dan barat tengah, Semenanjung Arab, Tanduk Afrika, dan Meksiko mengalami dampak perubahan iklim yang paling parah terhadap wilayah lokal mereka. suhu memiliki.
Di antara 24 kota di Indonesia yang diteliti dalam laporan ini, empat kota memiliki tingkat CSI yang tinggi dan tercatat sebagai kota yang paling banyak terkena dampak perubahan iklim di kawasan Asia. Makassar, Sulawesi Selatan rata-rata skor CSI hariannya adalah 3,8 dengan 279 hari CSI tinggi; disusul Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sebesar 3,52 dengan 254 hari; Batam, Kepulauan Riau, sebesar 3,5 dengan 259 hari; dan Tasikmalaya, Jawa Barat, masing-masing sebesar 3,12 dengan 223 hari.
Laporan tersebut mencatat bahwa daerah yang mengalami perubahan iklim tingkat tinggi cenderung berada di dekat garis khatulistiwa dan pantai.
“Tempat-tempat ini memiliki perubahan suhu harian yang lebih kecil, sehingga tren pemanasan mempunyai pengaruh yang lebih besar,” kata Pershing.
Pershing mengatakan bahwa daerah-daerah dengan tingkat perubahan iklim yang tinggi “disayangkan” untuk menanggung beban perubahan iklim yang paling parah, karena daerah-daerah yang beriklim sedang, meskipun merupakan penghasil emisi yang besar, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan Tiongkok mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk terkena dampak perubahan iklim. perubahan iklim lebih besar dibandingkan wilayah yang berada di dekat khatulistiwa.
Beliau mengatakan bahwa seperti yang ditunjukkan oleh Indeks Perubahan Iklim, tempat-tempat yang mengalami dampak terbesar dari perubahan iklim juga merupakan tempat-tempat yang akan mendapat manfaat paling besar dari pengurangan polusi karbon.
“Ini adalah kondisi yang perlu kita persiapkan untuk menjaga keselamatan masyarakat dan menjaga perekonomian tetap bergerak maju,” kata Pershing.
Dodo Gunawan, Pj Deputi Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), menanggapi laporan Pusat Iklim, mengatakan meski BMKG juga menemukan dampak perubahan iklim sudah terwujud di Tanah Air, namun laporan Pusat Iklim tidak namun digunakan sebagai alat. oleh pemerintah Indonesia.
“Secara umum, kami dapat memastikan bahwa kejadian cuaca ekstrem menjadi lebih sering terjadi akhir-akhir ini dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya, yang berkorelasi dengan perubahan iklim,” kata Dodo kepada Post pada hari Sabtu.
Berdasarkan data pantauan BMKG pada tahun 1981 hingga 2018, Indonesia mengalami kenaikan suhu tahunan sekitar 0,03 derajat Celcius atau hingga 0,9 derajat Celcius dalam kurun waktu 30 tahun.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan jumlah bencana alam dalam beberapa tahun terakhir. BNPB mencatat 1.694 bencana pada tahun 2015 dan kemudian angka tersebut meningkat dari tahun ke tahun menjadi 5.402 bencana pada tahun 2021.
Sementara itu, guru besar meteorologi dan klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Edvin Aldrian mempertanyakan apakah Indeks Pergeseran Iklim yang dilakukan Climate Central dapat memberikan gambaran yang akurat mengenai dampak perubahan iklim di Indonesia, mengingat terbatasnya jangka waktu studi yang dilakukan yaitu satu tahun.
Ia mencontohkan, Indonesia mengalami cuaca basah pada tahun 2021 dan 2022 akibat fenomena La Nina yang berkontribusi terhadap volatilitas fenomena cuaca dalam setahun terakhir.
Ia juga mengatakan kota-kota di Indonesia, termasuk yang diteliti dalam laporan Climate Central, juga memiliki kondisi yang sangat beragam, seperti Makassar yang berada di pesisir pantai namun juga dekat dengan pegunungan sehingga rentan terhadap cuaca yang tidak menentu.
“Saya kira sebaiknya kita tetap mengacu pada laporan IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change), karena jangka waktu penelitiannya lebih lama, yaitu 10 hingga 30 tahun,” kata Edvin, Sabtu.
Laporan Penilaian Keenam IPCC menemukan bahwa emisi dari aktivitas manusia bertanggung jawab atas peningkatan suhu global sekitar 1,1 derajat Celsius sejak periode 1850 hingga 1900. (aww)