Media sosial merupakan medan pertempuran utama untuk pemilu 2024, namun kekhawatiran misinformasi masih terus terjadi

17 Oktober 2022

JAKARTA – Media sosial akan memainkan peran penting dalam pemilu 2024 karena para politisi melipatgandakan kehadiran online mereka untuk menarik pemilih muda yang menggunakan platform tersebut sebagai sumber informasi utama mereka.

Namun ingatan akan misinformasi online yang meluas dan polarisasi yang pahit pada pemilu sebelumnya masih melekat, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah penyelenggara pemilu akan mampu melindungi wacana digital dari jebakan serupa kali ini.

Survei terbaru yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Jakarta yang berfokus pada pandangan elektoral calon pemilih berusia antara 17 dan 39 tahun menunjukkan bahwa media sosial adalah sumber informasi dan platform ekspresi politik bagi kaum muda.

Lima puluh sembilan persen responden mengatakan mereka memperoleh informasi tentang kejadian terkini terutama dari media sosial, sementara 32 persen mengatakan mereka mendapatkannya dari televisi. Persentase orang yang lebih menyukai media sosial meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan survei serupa pada tahun 2018. Televisi merupakan pilihan utama pada tahun 2018, dengan 41,3 persen responden menyebut televisi sebagai sumber informasi utama mereka.

Survei tersebut juga menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah akun media sosial yang digunakan orang-orang di berbagai platform.

“Saya kira media sosial (kesuksesan kampanye) akan menjadi yang paling dicari pada pemilu mendatang. Selain keunggulannya, kampanye media sosial lebih murah, lebih luas jangkauannya, dan dapat dilakukan lebih sering dibandingkan pertemuan publik,” kata Arya Fernandes, kepala Departemen Politik CSIS.

Para pecinta media sosial

Semakin banyak calon presiden yang mendukung dan berupaya meningkatkan popularitas mereka di media sosial – sebuah keputusan yang menurut para ahli akan menjadi kunci dalam pemilu mendatang.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berkuasa, misalnya, sudah lama mendapat manfaat dari popularitas tokoh daringnya, dan favorit internal partai Puan Maharani, putri Ketua Megawati Soekarnoputri, dipilih secara publik. keluar. jajak pendapat.

Baru-baru ini ia menarik perhatian netizen Tanah Air setelah mengunggah foto dirinya di Twitter berpose tanpa senyuman khasnya di bawah spanduk besar Puan. Judulnya berbunyi: “Siap!” – namun apa dan melawan siapa masih belum ditentukan, sehingga memicu spekulasi dari para komentator.

(https://twitter.com/ganjarpranowo/status/1576532282445160448/photo/1)

Ganjar, yang secara konsisten berada di peringkat tiga besar calon presiden dalam beberapa bulan terakhir, nampaknya akan dikesampingkan oleh para elit partai, yang berusaha untuk memberikan pencalonan partai tersebut kepada Ketua DPR Puan meskipun jajak pendapatnya sangat rendah. Dia lebih memilih pendekatan yang lebih tradisional, yaitu melakukan kunjungan pribadi ke petinggi politik untuk mempromosikan dirinya dan mengukur peluangnya.

Pesan “Siap!” Foto tersebut telah mendapat 10.700 suka di Twitter dan 1.180 retweet pada hari Kamis, dan postingan dengan foto dan keterangan yang sama telah disukai 190.731 kali di Instagram.

Calon presiden utama lainnya, Gubernur Jakarta Anies Baswedan, melalui Instagram memberi tahu 4,6 juta pengikutnya bahwa Partai NasDem telah mendukung pencalonannya. Postingan tersebut telah disukai lebih dari 289.000 kali pada hari Rabu.

(https://www.instagram.com/p/CjPMFQEP7uM/)

“(Pengikut yang banyak) di media sosial tentu menjadi hal yang patut diperhitungkan pada pemilu 2024,” kata analis politik Firman Noor dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). “Kampanye kepresidenan adalah tentang menyampaikan pesan kandidat kepada khalayak sebanyak mungkin, sesuatu yang sangat efektif dilakukan oleh media sosial.”

Meskipun beberapa calon presiden berhasil meraih kesuksesan di media sosial, ada pula yang gagal.

Misalnya, Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Perekonomian dan pelindung Partai Golkar, baru-baru ini mendapat kritik atas apa yang dilihat pengguna media sosial sebagai postingan yang “tidak sensitif” tentang insiden sepak bola baru-baru ini di Jawa Timur yang menewaskan banyak orang. Postingan tersebut menyampaikan belasungkawa Airlangga namun tetap menempel pada posisi kekuasaan kampanyenya, lengkap dengan pakaian kuning dan tangan terkepal.

(https://twitter.com/hansdavidian/status/1576493293734572032/photo/1)

Sementara itu, Puan dari PDI Perjuangan secara tidak sengaja menjadi viral dalam sebuah video yang memperlihatkan dirinya membagikan paket bantuan sosial kepada massa saat berkunjung ke Jawa Barat baru-baru ini – yang dianggap banyak pengguna media sosial dengan ekspresi cemberut di wajahnya. Salah satu pengguna mengedit klip tersebut agar terlihat seperti sedang menangkis paket yang dilempar Puan. Meme itu di-posting ulang beberapa kali.

(https://bangka.tribunnews.com/2022/09/28/heboh-puan-maharani-cemberut-saat-bagikan-kaos-ke-warga-ternyata-ini-penyebabnya)

Peraturan yang lebih baik

Para ahli menyerukan penegakan hukum yang lebih konsisten dan upaya akar rumput untuk memitigasi risiko kampanye media sosial, termasuk misinformasi dan ujaran kebencian yang telah mewarnai dua pemilihan presiden terakhir.

Pemilihan presiden tahun 2014 dan 2019, yang mempertemukan Presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo melawan saingan politiknya yang kemudian menjadi sekutunya, Prabowo Subianto, dirusak oleh polarisasi politik.

Meskipun ada sejumlah peraturan dari Komisi Pemilihan Umum (GEC) yang dimaksudkan untuk mencegah ujaran kebencian dan diskriminasi dalam kampanye, kubu lawan saling mencaci-maki di media sosial.

Pada saat itu, ketentuan khusus media sosial hanya berfokus pada jumlah akun media sosial yang boleh dikelola oleh partai politik atau calon presiden.

“Peraturan ini tidak cukup (…). Masalahnya sekarang, pesan-pesan negatif tersebut bukan datang dari akun resmi (partai atau kandidat) melainkan dari akun bot atau ‘buzzer’. Pertanyaannya, bagaimana KPU menyikapinya?” kata Khoirunnisa Agustyati dari Persatuan Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Dibandingkan mengawasi setiap akun media sosial, Khoirunnisa mengatakan KPU akan lebih baik jika memberikan edukasi kepada masyarakat tentang ancaman misinformasi dan ujaran kebencian melalui forum publik, termasuk platform media sosial itu sendiri, dan dengan memeriksa fakta klaim yang dibuat secara online.

“Pada pemilu 2019, beredar berita bohong yang fokus pada KPU yang menuduh KPU mengirimkan surat suara yang sudah ditandatangani ke TPS. Jika tidak ada strategi (untuk mengatasi hal ini), masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap integritas proses pemilu itu sendiri,” ujarnya.

Secara terpisah, Idham Holik dari KPU mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa KPU akan terus fokus pada penerapan peraturan yang lebih relevan, terutama mengenai daerah pemilihan dan pemutakhiran data pemilih.

Ia juga mengatakan KPU akan memfasilitasi diskusi publik untuk merancang peraturan yang lebih spesifik untuk media sosial pada awal tahun depan.


akun demo slot

By gacor88