14 Oktober 2022
JAKARTA – Orang yang didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme (ASD) mungkin merasa lebih sulit menjalani kehidupan di Indonesia dibandingkan orang dewasa lainnya, seperti yang dialami oleh beberapa individu dengan gangguan tersebut dan orang tua mereka.
“Teman-teman sekelas saya sering memberikan tepuk tangan atau tepuk tangan yang merendahkan ketika saya melakukan sesuatu. Saya sering diintimidasi, dan hal ini sulit untuk dilupakan,” kata seorang mahasiswa hukum berusia 21 tahun dari Jakarta, yang meminta untuk menggunakan nama samaran Dimas, kepada The Jakarta Post, menggambarkan tantangan yang ia hadapi semasa kecil. Dimas didiagnosis mengidap gangguan spektrum autisme (ASD) pada usia 3 tahun.
“Bahkan saat ini, saya sangat berhati-hati saat memilih siapa yang harus dipercaya. Saat bersosialisasi, saya selalu menekan sifat autis saya agar tidak dicap ‘aneh’ oleh orang lain,” ujarnya.
Seperti Dimas, Bayu Dwityo Wicaksono juga didiagnosis mengidap ASD, namun diagnosisnya baru muncul pada Agustus ini saat berusia 31 tahun.
“Saya selalu bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang berbeda (pada) saya. Saya yakin saya bisa berfungsi normal, tapi ketika ada pemicu yang mengalihkan perhatian saya, saya sakit kepala,” kata Bayu.
Dalam artikelnya dalam rangka Hari Peduli Autisme Sedunia pada tanggal 2 April 2018, Kementerian Kesehatan mencatat bahwa 2,4 juta penduduk Indonesia dilahirkan dengan ASD dan tercatat 500 diagnosis baru setiap tahunnya.
Maisie Soetantyo, seorang terapis keluarga dan pelatih inklusivitas berusia 52 tahun yang berbasis di San Francisco Bay Area yang bekerja dengan klien di Amerika Serikat dan Indonesia, mengatakan angka sebenarnya bisa lebih tinggi.
“Jumlah diagnosis autisme bisa lebih tinggi dari yang dilaporkan saat ini karena mendapatkan diagnosis dan dukungan yang tepat adalah sebuah (kemewahan) bagi individu,” tambah Maisie, yang mengidap ASD.
Untuk mengatasi tantangan
Banyak individu autis yang tiga kali lebih mungkin menjadi sasaran penindasan, menurut Pemuda AutismeIndonesia, sebuah organisasi non-pemerintah.
Bayu sudah tidak asing lagi dengan perundungan yang dialaminya sejak SD hingga SMA. Beberapa siswa mengejeknya karena perilakunya yang merangsang diri sendiri, yang juga dikenal sebagai “menyuarakan”, yaitu gerakan atau vokalisasi yang tidak disengaja dan berulang, baik berupa suara maupun kata-kata.
“Namun, intimidasi itu berhenti ketika saya masih SMP karena saya sudah bisa mengendalikan sebagian besar (rangsangan),” ujarnya.
Sebagai orang dewasa, Bayu selalu menghadapi situasi sulit di tempat kerja, seperti stres saat pelanggan meneriakinya.
“Telinga saya berdengung, yang menurut saya normal, namun terus berlanjut hingga saya berusia 30 tahun. Pengalaman canggung lainnya adalah ketika seseorang merendahkan saya. Itu menguras tenaga saya untuk mengatasinya,” ungkapnya.
“Ketika saya mengalami tekanan di luar tempat kerja, saya akan menangis kepada teman-teman dekat saya (untuk mendapatkan kenyamanan),” kata Bayu, menekankan pentingnya jaringan dukungan.
Maisie menjelaskan bahwa individu autis memiliki proses sensorik, komunikasi dan informasi yang berbeda, dan kurangnya pemahaman tentang hal ini telah menyebabkan kesalahan persepsi umum bahwa orang autis tidak termotivasi, terganggu atau tidak kompeten.
Selain itu, individu yang berbeda memiliki kebutuhan yang berbeda tergantung pada gangguan spesifik dan tahap kehidupan mereka. Misalnya, individu dengan autisme non-verbal umumnya membutuhkan dukungan yang lebih besar dibandingkan orang autis yang mampu berkomunikasi secara verbal.
Hersinta Suroso, yang putranya, Muhammad Auzriel Pasha, 18 tahun, didiagnosis menderita autisme nonverbal pada usia 2,5 tahun, mengatakan, membesarkan anak dengan kemampuan unik membutuhkan kesabaran dua kali lipat dari orang tua, terutama dalam komunikasi antar anak. dan orang tua dikompromikan.
“Orang tua harus memahami minat (asli) anak mereka, jadi kita harus menginvestasikan waktu kita pada hal itu,” kata Hersinta, yang membawa Pasha ke psikolog ketika dia menyadari bahwa anak tersebut menunjukkan keterlambatan bicara.
“Karena anak saya mengenyam pendidikan formal hingga kelas 2 SD, seperti yang disarankan psikolognya, dia harus fokus melakukan aktivitas sehari-hari,” tambahnya.
Hersinta mengatakan, saat ini Pasha perlu lebih fokus pada keterampilan hidup mandiri seperti memasak, menjaga kebersihan diri, bersih-bersih rumah, kerajinan tangan, bermain musik dan berenang, hobinya.
“Beberapa orang berpikir bahwa autisme bisa diobati, meski tidak dikategorikan sebagai penyakit. Seringkali orang mengatakan anak Anda pasti jenius, tapi setiap orang punya tantangannya masing-masing,” katanya, dan terkadang hal itu memerlukan kompromi.
Mencari pekerjaan
Orang dewasa dengan autisme seringkali mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Sementara itu, orang tua mereka menghadapi berbagai reaksi ketika mereka bertanya-tanya di mana mereka bisa mendapatkan pekerjaan.
Hingga saat ini, belum ada data ketenagakerjaan spesifik mengenai individu autis di Indonesia.
Nadhif Rizky Rahmatullah, 23, yang memiliki gelar sarjana sastra Inggris, mengatakan sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan sampai sepupunya melamarnya di proyek Kouji Genki, yang menyebut dirinya sebagai “kafe khusus yang dikelola oleh neurodiverse ( orang) dipertimbangkan. )”.
“Sulit mencari pekerjaan, dan Anda ingin lebih mandiri. Saya pikir inklusivitas bisa bermanfaat bagi kita untuk melihat prospek kehidupan yang lebih baik,” kata Nadhif, yang kini bekerja sebagai barista di kafe tersebut dari pukul 11.00 hingga 18.00.
Yumiko Hirano, yang putranya Kouji Santoso Eto menderita ASD, menyadari bahwa peluang yang sangat kecil bagi anak-anak berkebutuhan khusus, mendirikan Proyek Kouji Genki untuk berbagi kecintaan putranya terhadap kopi serta orang-orang dengan autisme atau disabilitas lainnya.
“Sehingga orang-orang berkebutuhan khusus juga bisa bekerja,” kata Kouji kepada Post. Kouji pergi ke kafe setiap hari untuk menyapa teman-temannya dan mengajari mereka cara membuat kopi. Meski awalnya dia pemalu, banyak hal yang ingin dia katakan, termasuk hobi mobilnya.
“Jika mereka dilatih, mereka bisa melakukannya karena tidak ada hal yang mustahil,” kata Hirano, sambil menunjuk pada manfaat membangun pendekatan hidup yang optimis.
“Berkomunikasi dengan banyak pengunjung memang menantang,” tambahnya, termasuk menjelaskan menunya, “tetapi anak-anak ini mau belajar.” Hirano juga menekankan pentingnya melibatkan individu dengan kemampuan berbeda.
“Tidak ada hal yang mustahil,” ulangnya.
Representasi yang keliru dan visibilitas
Namun, penderita ASD juga menghadapi kerugian karena adanya gambaran keliru tentang individu autis sebagai orang yang ahli dalam bidang tertentu, seperti musik atau matematika, yang sering kali didorong oleh liputan media.
Hersinta mencatat, media kerap memuji penyandang autisme karena kemampuannya yang tidak biasa. Salah satu contoh yang menonjol adalah drama Korea Selatan Jaksa Luar Biasa Woo, yang dibintangi Park Eun-Bin sebagai pengacara fiksi Woo Young-Woo, yang memiliki autisme fungsional tinggi.
Dimas mengatakan, banyak orang yang bertanya kepadanya mengapa ia tidak jenius, seperti bagaimana media menggambarkan individu autis. “Cukup menyakitkan ketika mereka mengatakan hal itu,” katanya, dan diperlukan lebih banyak upaya untuk menciptakan visibilitas dan inklusi sosial yang lebih besar bagi orang-orang autis.
Ia juga berharap agar tempat kerjanya nantinya bisa menerima karyawan autis dengan menyediakan pod atau bilik tersendiri untuk membantu konsentrasi mereka. “Hal sederhana seperti itu akan membantu individu (autis) berintegrasi lebih baik ke dalam masyarakat,” ujarnya.
Secara terpisah, Maisie mencatat bahwa penting bagi komunitas autis untuk saling mendukung terlepas dari perbedaan mereka, karena bahkan individu autis yang paling cakap pun mungkin memerlukan waktu untuk memproses informasi dan mengambil keputusan. “Tanpa akomodasi yang layak, kita pada akhirnya akan menemui jalan buntu,” katanya.
Maisie juga mendorong orang tua yang memiliki anak autis dan non-autis untuk lebih banyak berdiskusi di rumah tentang inklusivitas dan apa arti sebenarnya: bahwa orang bersedia melakukan lebih dari sekedar memperhatikan ketika seseorang membutuhkan bantuan. Apakah seseorang didiagnosis menderita ASD, sindrom Down, penyakit mental, atau disleksia, mereka semua berhak mendapatkan rasa memiliki, katanya.
“Kami hanya ingin diperlakukan setara,” tegas Dimas.