Mengapa Indonesia masih belum bisa menghadapi momok komunisme

3 Oktober 2022

JAKARTA – Di Indonesia, gagasan spektral tentang “kehadiran komunis” mencapai puncaknya pada bulan September, terlepas dari fakta bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) menghilang hampir enam dekade lalu selama pembersihan berdarah pada tahun 1965-1967. Namun mitos tentang kebangkitan komunis yang berbahaya sering kali dimunculkan, mendapatkan perhatian yang besar, dan dipercaya oleh jutaan orang.

Klaim tentang dugaan kebangkitan kembali jutaan komunis setelah mereka dimusnahkan secara fisik dan dilarang secara hukum beberapa tahun yang lalu benar-benar konyol dan tidak didasarkan pada bukti apa pun. Namun, kisah-kisah ini selalu hidup dalam ingatan kita, terutama menjelang peringatan G-30S pada 30 September.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang dilanda tren ancaman ilusi yang mengkhawatirkan dari hantu komunis. Momok komunis baru-baru ini melanda banyak negara, menunjukkan bahwa gelombang besar konservatisme sedang berlangsung.

Thailand layak untuk disebutkan, bukan hanya karena kesamaan sejarahnya dengan partai komunis di masa lalu, namun juga karena sisa-sisa yang ditinggalkannya dalam imajinasi politik saat ini. Pada tahun 2019, para elit, jenderal, dan politisi Thailand mempromosikan berita palsu tentang konspirasi komunis sebagai ancaman berbahaya.

Pola serupa juga terjadi di negara-negara demokrasi Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang mengeksploitasi rasa takut akan ancaman komunis selama pemilu. Selain itu, kebangkitan populisme di Brazil memicu gelombang besar sentimen antikomunis.

Penelitian menunjukkan bahwa kita terus-menerus menghadapi kecemasan atas rumor ancaman komunis. Dalam sebuah studi mengenai aktor-aktor politik dan persepsi mereka terhadap kebangkitan komunis, sebuah survei terhadap para politisi pada akhir tahun 2017 dan awal tahun 2018 menghasilkan hasil yang luar biasa: 43 persen anggota DPRD provinsi percaya bahwa PKI sedang mengalami kebangkitan. Bayangan PKI menghantui imajinasi kolektif, sebagaimana terlihat dalam penelitian lain yang dilakukan oleh banyak pakar, yang menunjukkan bahwa angka ini merupakan indikasi semakin tidak tolerannya dan konservatif pemegang kekuasaan terhadap isu-isu sensitif seperti komunisme.

Haruskah kita menerima ciri antikomunisme yang berulang ini sebagai fakta kehidupan yang tidak bisa dihindari di Indonesia modern?

Pertama, ketidakjelasan dan kurangnya informasi adalah salah satu kuncinya di sini. Semakin tidak akurat data mengenai kekacauan tahun 1965, semakin banyak keuntungan yang dapat diperoleh kelompok elite. Berbagai penafsiran yang saling bertentangan mengenai peristiwa 1965 muncul, bukan sebagai pemaparan akademis, namun sebagai tuduhan provokatif dan tidak berdasar yang membuat elit dan pemegang kekuasaan konservatif terlihat baik.

Ancaman imajiner ini tidak hanya memobilisasi serangkaian mimpi buruk dan kecemasan, namun juga menghidupkan kembali kenangan akan kesedihan masa lalu: Mimpi tentang seorang pemimpin yang cukup kuat untuk menghadapi ancaman nyata dari kebangkitan komunis dan kecemasan yang diperkirakan akan terseret kembali ke dalam konflik. dan kekacauan yang disebabkan oleh komunis pada tahun 1960-an.

Hal ini juga sering melanggengkan skenario apokaliptik dimana Indonesia sekali lagi terjebak dalam perangkap pengambilalihan kekuasaan oleh komunis, sebuah potensi kudeta yang bisa dikritik. Penyebaran antagonisme terhadap komunisme dimaksimalkan dengan menggunakan kekuatan paramiliter dan khotbah keagamaan.

Hal ini juga didukung secara aktif oleh para elit politik yang mengikuti gaya Suharto dalam mengeksploitasi citra komunis. Meskipun sepenuhnya dibuat-buat, narasi-narasi ini tetap tidak dapat disangkal.

Kedua, masyarakat yang terpolarisasi memudahkan tersebarnya gagasan spektral kebangkitan PKI. Dalam konteks pasca-Suharto, Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi berada dalam tahap polarisasi menghadapi polarisasi terus-menerus antara koalisi Joko “Jokowi” Widodo dan pendukung Prabowo Subianto. Hal ini memperkuat nada sentimen anti-komunis yang kuat dan menyoroti kecenderungan yang berkembang untuk menyebarkan momok komunis sebagai sumber politik yang penting.

Ketiga, munculnya disinformasi politik sebagai “teknologi politik” yang efektif. Seperti yang terlihat pada pemilu presiden tahun 2014 dan tahun 2019, serta pemilu gubernur Jakarta tahun 2017, industri disinformasi bermunculan mempromosikan gagasan bahwa PKI yang sudah lama dilarang dan tidak ada lagi masih menjadi ancaman bagi keamanan nasional.

Meskipun disinformasi yang terlihat jelas ini terutama direkayasa oleh para elit, gambaran-gambaran tersebut, yang sudah mengakar kuat dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia, memberikan dasar yang kuat bagi pemalsuan lebih lanjut di lembaga-lembaga pemilu. Hal ini memberikan jalan yang aman bagi para elit untuk memperkenalkan kembali konservatisme kelompok garis keras.

Di tengah gelombang anti-komunis yang tak ada habisnya ini, ironisnya, Jokowi sendiri pada akhirnya terpaksa hanya berbasa-basi terhadap ancaman komunis yang sama. Jokowi mungkin telah menderita akibat narasi ini sepanjang siklus pemilu tahun 2014, namun pada tahun 2019, Jokowi telah berupaya untuk mengubah ancaman komunis demi keuntungan politiknya sebagai petahana, menghilangkan segala kebohongan yang dimiliki mengenai dirinya sebagai keturunan kader PKI.

Pemerintahannya secara efektif bersekutu dengan faksi militer dan paramiliter tertentu, sementara Jokowi sendiri telah menunjukkan religiusitasnya untuk menggalang dukungan dan mendukung konstituen konservatif.

Jokowi meluncurkan citra progresifnya yang menjanjikan dalam menyelesaikan pembunuhan massal tahun 1965-1967 dalam kampanyenya sejak pemilu tahun 2014, namun kemudian menghindari retorika progresifnya dan menjadi anti-komunis. Banyak buku, seminar, dan acara publik dituduh mempromosikan ide-ide komunis, dan Presiden tetap bungkam mengenai masalah ini selama masa kepresidenannya.

Kontrol pemerintah dan elit terhadap wacana anti-komunis dan peran mereka dalam memperkuat ancaman otoriter memiliki beberapa implikasi terhadap spektrum politik tahun 2024. Gagasan untuk terlibat lebih dalam dengan sentimen anti-komunis telah mendominasi pola pikir politik saat ini dan kemungkinan besar akan mempengaruhi pemilu mendatang.

Ironisnya, otoritarianisme ini mendapatkan momentum terkuatnya di bawah kepemimpinan sipil Jokowi, yang didukung oleh partai nasionalis reformis, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Maka jelaslah bahwa sikap anti-komunis tidak ada kaitannya dengan latar belakang apapun (sipil atau militer) atau kesamaan ideologi (kelompok nasionalis atau Islam).

Jokowi menyadari tren yang mengkhawatirkan seputar upayanya untuk terpilih kembali dan mengubah citranya menjadi pemimpin yang lebih konservatif.

Penggunaan sentimen antikomunis saat ini sebagai proksi kemungkinan besar tidak akan berubah di masa depan. Mengingat bahwa baik Jokowi maupun Prabowo memiliki pemikiran yang sama dan mereka (atau tim kampanye mereka) mendapatkan manfaat atau manfaat dengan secara selektif dan strategis mengatasi ancaman ini, maka ancaman komunis yang dibayangkan akan tetap kuat.

Kuatnya dan efektivitas ancaman komunis akan berkontribusi pada tertundanya keadilan transisional terkait pembunuhan massal tahun 1965-1967, meskipun banyak bukti dan penelitian yang menunjukkan keterlibatan militer dan perlunya keadilan hukum.

*** Penulis adalah peneliti politik, University of Leeds, Inggris.

Singapore Prize

By gacor88