5 Juli 2023
JAKARTA – Anggota DPR mencoba untuk menyederhanakan sejumlah ketentuan bermasalah dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tahun 2016 yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi kritikus online.
Anggota Komisi I DPR yang membidangi urusan komunikasi dan informasi, serta pemerintah, masih membahas revisi terbaru undang-undang yang diperintahkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo tahun lalu, menyusul serangkaian protes masyarakat atas peraturan tersebut. ketentuan yang kejam. Pasal-pasal tersebut antara lain mengatur tentang pencemaran nama baik secara online, pencabulan, dan ujaran kebencian di internet.
Dua sesi dengar pendapat diadakan pada hari Senin dan Selasa untuk membahas cara-cara untuk menyelaraskannya dengan KUHP baru yang lebih moderat, yang disahkan awal tahun ini dan juga mengatur beberapa pasal yang dipermasalahkan.
“Kami ingin mencegah terulangnya masalah yang sama (penggunaan pasal yang berlebihan untuk mengkriminalisasi kritikus). Mengapa kita harus merevisi undang-undang tersebut jika kita tidak menyelesaikan masalahnya?” kata Anggota Komisi I Dave Laksono dari Partai Golkar di sela-sela sidang Senin.
Dave tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai pembahasan yang sedang berlangsung, namun ia memperkirakan pembahasan di Komisi I akan selesai pada sidang ini sebelum anggota parlemen memasuki masa reses pada 15 Juli. Meski demikian, kajian tersebut tetap akan disahkan DPR dalam rapat paripurna.
Anggota Komisi I Rizki Natakusumah dari Partai Demokrat mengatakan para pembuat kebijakan berupaya memberikan ketentuan yang lebih jelas untuk mencegah “penafsiran ganda” tentang bagaimana menegakkan hukum atau tentang apa yang merupakan kejahatan, “seperti yang terjadi dalam undang-undang yang berlaku pada tahun 2016”.
Usulan amandemen terbatas UU ITE telah diajukan pemerintah ke DPR pada Desember 2021, namun DPR baru memulai pembahasannya pada April tahun ini karena pengambil kebijakan memilih memprioritaskan pembahasan undang-undang privasi yang baru. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi akhirnya disahkan akhir tahun lalu, menandai pertama kalinya Indonesia memperkenalkan undang-undang privasi.
Sebelum adanya rencana revisi UU ITE, pemerintah berupaya mengakhiri kriminalisasi ujaran online dengan menerbitkan pedoman penafsiran undang-undang tersebut.
Keputusan bersama yang ditandatangani oleh Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Menteri Komunikasi dan Informatika pada pertengahan tahun 2021 menyatakan bahwa tuntutan pidana pencemaran nama baik secara online hanya dapat diajukan terhadap orang yang bermaksud mencemarkan nama baik orang lain dengan pernyataannya dan hanya menyatakan pendapat atau pendapat. fakta. bukan merupakan dasar untuk penuntutan.
Dalam surat edaran yang dikeluarkan awal tahun yang sama, Kapolri memerintahkan Jenderal. Personel Polri Listyo Sigit Prabowo menggunakan pendekatan “restorative justice” untuk menegakkan hukum siber. Namun pendekatan ini hanya berlaku pada ujaran kebencian atau diskriminasi terhadap kelompok, ras, dan agama tertentu yang dapat memicu keresahan masyarakat.
Pada tahun 2021 juga, Presiden Jokowi menyebut UU ITE dan ketentuannya yang tidak jelas menjadi “sumber” permasalahannya.
Kajian yang dilakukan oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menemukan bahwa tahun 2022 merupakan tahun terburuk bagi kebebasan berekspresi dalam sembilan tahun terakhir, berdasarkan banyaknya kasus yang menimpa para pengkritik pemerintah dan lembaga negara.