13 Juni 2023
JAKARTA – Ketika perusahaan dan masyarakat umum semakin banyak menggunakan kecerdasan buatan (AI), para pelaku industri kreatif secara umum tetap optimis dan memandang teknologi baru lebih sebagai alat, bukan ancaman.
Selain penyertaan pembelajaran mesin AI dari industri teknologi hingga keuangan, kemajuan terbarunya juga telah memunculkan model yang lebih canggih dan lebih baik, seperti perangkat lunak konversi suara yang meniru vokal orang lain atau chatbot pemrosesan bahasa ChatGPT.
“Dalam pekerjaan saya sebelumnya (di sebuah agensi merek), ada proyek terbaru untuk skrip dan teks TikTok, dan agensi tersebut memilih untuk menggunakan AI untuk satu merek tertentu daripada copywriter,” kata copywriter kreatif yang berbasis di Bandung, Nadya Khoyron. dikatakan Jakarta Post Sabtu ini.
“Tetapi kemudian mereka memutuskan untuk menggunakan seorang penulis karena mereka akhirnya membutuhkannya,” tambahnya.
Nadya menceritakan bahwa dia telah melihat pola pikir serupa di banyak perusahaan dan non-penulis. Namun berdasarkan pengalamannya, lebih baik penulis membekali diri mereka dengan AI untuk hasil akhir yang lebih baik.
“Saya masih percaya bahwa kreativitas manusia lebih baik daripada AI. AI memang membantu, tapi tidak semua hasilnya bisa menyamai sentuhan manusia dalam menulis,” ujarnya.
Ilustrator lepas Husnunnisa “Nunu” juga memiliki sentimen yang sama.
“Saat itu seni digital juga dianggap ‘mengancam’ seni tradisional, tapi itu tidak (terjadi),” kata Nunu kepada wartawan. Pos Sabtu ini.
Karya seni yang dihasilkan oleh AI sering kali menjadi heboh di internet akhir-akhir ini. Misalnya, keseluruhan cuplikan film Star Wars dibuat dengan gaya pembuat film Wes Anderson oleh bot seni AI Midjourney, yang ditonton lebih dari 2 juta kali dan membagi pendapat pengguna.
Namun Nunu percaya bahwa penyertaan AI dalam seni dapat membantu para seniman, seperti mencari gaya dan referensi berbeda untuk karya seni seseorang.
“Saat teknologi berkembang, Anda juga harus berkembang. Tentu saja sulit untuk mengimbangi kecepatan, tapi itulah yang harus Anda lakukan untuk bertahan,” kata pemain berusia 23 tahun itu.
Dalam industri musik, semakin banyak perangkat lunak AI yang digunakan untuk menghasilkan suara orang lain pada sebuah lagu artis, misalnya ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyanyikan lagu cover lagu pop hit Soegi Bornean “Asmalibrasi”.
Ia bahkan dapat menghasilkan vokal palsu pada lagu baru, seperti lagu hip-hop viral “Heart on My Sleeve”, yang diproduksi oleh pengguna TikTok penulis bayangan977 namun dengan suara yang mirip dengan penyanyi pop Drake dan The Weeknd. Lagu ini mengumpulkan 600.000 streaming di Spotify dan jutaan di layanan streaming lainnya sebelum dihapus oleh Universal Music Group (UMG).
“Gangguan sudah dimulai. Kucing itu diluar kantung. Jadi, tantangan bagi para seniman adalah untuk tetap selangkah lebih maju dalam melindungi hak-haknya dan terus berkarya dengan cara yang tidak bisa ditiru oleh program komputer,” kata penulis musik Hasief Ardiasyah.
Band rock asal Jakarta Alpha Mortal Foxtrot juga tidak mengambil sikap negatif terhadap penggunaan AI, terutama oleh artis-artis pendatang baru.
“Jauh lebih mudah bagi kita untuk menyambut era ini, mungkin karena latar belakang (kelompok) yang beragam dalam bidang start-up, konsultasi hukum dan manajemen acara. Jika AI membuat hidup Anda lebih mudah ketika menulis lirik, misalnya, maka lakukanlah,” kata grup tersebut dalam sebuah pernyataan kepada The Verge Pos Sabtu ini.
Pada akhirnya, sudut pandang pendengar juga akan menjadi pendorong. Band ini percaya bahwa pendengar selalu memiliki kemampuan untuk merasakan ketika ada sesuatu yang dibuat-buat atau “kurang orisinalitas”.
Bagian tersulitnya saat ini adalah mengaturnya, kata mereka.
“Mengklaim hak cipta atas karya yang dihasilkan AI akan menjadi tantangan dan dapat menimbulkan masalah hukum lainnya karena kurangnya peraturan mengenai aspek ini,” tambah kelompok tersebut.