15 Juni 2023
JAKARTA – Setelah pemerintah memberlakukan larangan ekspor bauksit pada hari Sabtu, perusahaan pertambangan meminta pemerintah memberikan solusi untuk meringankan dampak larangan tersebut, dan memperingatkan bahwa penurunan produksi dapat mengakibatkan ratusan penambang kehilangan pekerjaan.
Para produsen mengatakan penerapan harga dasar untuk mengendalikan berapa banyak pabrik peleburan harus membayar bauksit, serta dorongan kepada bank-bank lokal untuk menyediakan lebih banyak pembiayaan untuk pengembangan smelter, dapat meringankan penderitaan mereka.
Para pelaku industri selama berbulan-bulan telah menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara keluaran bauksit nasional dan kapasitas masukan smelter yang ada, dan bahwa pelarangan ekspor pada tingkat produksi saat ini akan menghasilkan sekitar 17 juta ton bauksit yang belum diolah.
Pemerintah mengakui masalah ini, dan Irwandy Arif, penasihat khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan bahwa produksi bauksit dalam negeri bisa mencapai 31 juta ton tahun ini dibandingkan kapasitas smelter yang ada saat ini yang hanya 14 juta ton.
Namun hal ini tidak akan mengakibatkan penimbunan bauksit berlebih karena para penambang mungkin akan membatasi produksinya. Apalagi, smelter yang ada saat ini belum beroperasi dengan kapasitas penuh, ujarnya.
“Para penambang itu masih bisa menjual (lebih banyak) bauksit ketika smelter yang beroperasi meningkatkan kapasitas (pemanfaatannya),” kata Irwandy, Senin.
Asisten Menteri menyampaikan harapannya agar delapan perusahaan yang sedang membangun smelter dapat mencapai “kemajuan yang baik” untuk mempersempit kesenjangan antara output penambang bauksit dan input smelter.
“Pendanaan mungkin menjadi tantangan terbesar (untuk membangun smelter), namun ada beberapa perusahaan yang mempunyai niat buruk. Ada dugaan itu,” kata Irwandy tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Ronald Sulistyanto, Plt Ketua Asosiasi Perusahaan Bauksit dan Bijih Besi (APB3I), mengatakan membangun smelter tidaklah mudah.
Dia mencontohkan, pada tahun 2014, ketika pemerintah pertama kali memberlakukan larangan ekspor bauksit, lebih dari 70 perusahaan memiliki izin usaha pertambangan (IUP). Namun baru satu perusahaan, anak perusahaan Harita Group, PT Well Harvest Winning (WHW) Alumina Refinery, yang membangun smelter setelah larangan tersebut dicabut.
“Ini menunjukkan betapa sulitnya mendapatkan investor saat itu, karena investasi (yang dibutuhkan) cukup besar, sekitar US$1,2 miliar,” kata Ronald dalam webinar online, 31 Mei.
Menurut Ronald, tingginya kebutuhan pembiayaan ini disebabkan oleh besarnya nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan bauksit menjadi alumina, sebelum akhirnya diubah menjadi aluminium. Hal ini berbeda dengan pengolahan nikel yang menghasilkan berbagai produk antara sebelum menjadi hasil akhir.
Perbedaan lain antara smelter bauksit dan nikel adalah smelter nikel menawarkan laba atas investasi (ROI) yang lebih cepat.
“Contoh saja, lini pertama smelter WHW sudah hampir sepuluh tahun beroperasi, namun (ROI-nya) belum terjadi karena ada cost overrun akibat perubahan teknologi dan (faktor) lainnya,” Ronald menjelaskan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyadari bahwa tantangan pembangunan smelter sebagian besar terkait dengan pendanaan dan pasokan listrik, kata Irwandy. Oleh karena itu, pihaknya mengadakan pertemuan dengan produsen bauksit, bank lokal, dan perusahaan listrik milik negara PLN mengenai masalah ini, namun pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan khusus.
Ronald juga mengatakan larangan ekspor terbaru ini tidak hanya berdampak pada pemilik perusahaan tambang, tapi juga karyawannya yang berpotensi terkena PHK akibat pengurangan produksi. Kebijakan tersebut juga akan berdampak pada kontraktor dan pemasok, serta bank yang memberikan pinjaman untuk pembelian alat berat.
“Nantinya, setelah dampak ekonominya sudah dirasakan dan didiskusikan secara publik, pemerintah bisa mengizinkan ekspor lagi. Mengapa mengganggu mereka (dengan larangan)?” dia menambahkan.
Ia mengenang, saat masih bekerja di Harita Group pada tahun 2014, perusahaan tersebut harus memberhentikan sekitar 2.000 pekerja akibat larangan ekspor bauksit.
Panggilan untuk menghilangkan rasa sakit
A. Rizqi Darsono, Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Mineral dan Batubara, mengatakan larangan ekspor dapat menyebabkan hilangnya lebih dari 1.000 lapangan kerja di industri pertambangan bauksit. Sebagian besar PHK ini terjadi di Kalimantan Barat, yang merupakan pusat produksi bauksit, serta di Kalimantan Tengah dan Kepulauan Riau.
“Tidak mungkin melanjutkan penambangan jika produknya tidak bisa dijual. Jadi, (PHK) akan dilakukan untuk mengurangi biaya,” kata Rizqi kepada The Jakarta Post pada hari Selasa, meskipun ia dengan cepat menyatakan bahwa ini hanyalah dugaan belaka dan ia belum mendengar adanya PHK yang sebenarnya.
Rizqi menambahkan, sektor ini membutuhkan bantuan untuk mendapatkan pinjaman perbankan dengan suku bunga terjangkau untuk pengembangan smelter.
Selain itu, proyeksi penurunan permintaan bauksit karena larangan ekspor akan menurunkan harga, sehingga perusahaan pertambangan memerlukan harga dasar untuk “melindungi penambang yang terkena dampak kebijakan ini”, katanya.