17 Oktober 2022
JAKARTA – Banyak supermarket di Indonesia menandai produk impor dengan label yang menunjukkan identitas produk tersebut, namun apakah konsumen benar-benar peduli dari mana asal barang yang mereka beli? The Jakarta Post berkeliling kota dan bertanya.
“Saya banyak menggunakan produk impor. Mungkin karena aku sadar kelas tanpa menyadarinya. Dalam benak saya, penggunaan produk impor secara otomatis menempatkan saya dalam komunitas pemilik dan (globalis). Padahal kalau dipikir-pikir sekarang, pandangan itu salah total dan kontraproduktif,” kata Gabriel Alfarizie, mahasiswa data science.
Kaleb Sihombing, lulusan berusia 24 tahun yang tinggal di Jakarta, mengatakan label yang menunjukkan apakah suatu produk impor atau produksi lokal sama sekali tidak relevan dengan konsumsi rutin.
Hanya dalam kasus-kasus tertentu label “impor” menunjukkan kualitas, misalnya pada buah-buahan, tambahnya, sambil bertanya-tanya mengapa Indonesia tidak dapat memproduksi buah-buahan dengan “standar yang sama” karena negara ini adalah negara tropis dan agraris.
“Mungkin saya masih bermental ‘inlander’ yang mengatakan buah impor lebih enak,” kata Kaleb sambil tertawa, sinis menggunakan istilah yang merendahkan zaman penjajahan Belanda untuk menyebut orang Indonesia asli.
Monica Wijaya, seorang pegawai swasta yang tinggal di Jakarta, memiliki pandangan berbeda mengenai makanan. Dia berkata bahwa dia akan memilih produk lokal sesering mungkin karena dia yakin akan menghasilkan jejak karbon yang lebih rendah, harga yang lebih rendah, dan penggunaan bahan pengawet yang lebih sedikit.
“Sayangnya, sebagian besar produk segar seperti buah dan sayur di supermarket tidak diberi label (untuk menunjukkan) dari mana asalnya. Jadi sebagai konsumen saya merasa kurang informasi,” kata Monica usai menjelaskan bahwa umumnya ia lebih memilih produk impor dibandingkan pembelian nonmakanan.
Rifqi, seorang desainer produk, sangat menekankan tempat pembuatan suatu produk, dengan alasan bahwa setiap negara atau daerah memiliki ciri khas tersendiri terhadap barang yang mereka hasilkan.
“Negara-negara di Eropa mengutamakan kualitas dibandingkan kuantitas; ambil contoh Jerman. Mereka memproduksi barang-barang yang lebih maju dari segi teknologi karena industrinya lebih maju, dan mereka tidak terlalu peduli dengan harga jual produknya yang murah,” kata Rifqi, kontras dengan barang-barang Tiongkok.
“Dan lain halnya dengan negara-negara di Asia seperti Jepang misalnya. Meski produk Jepang sekarang lebih maju (dibandingkan dulu), namun tidak secanggih produk Eropa, (karena) yang mereka jual adalah ketahanannya,” tambah desainer produk tersebut.
Baik Gabriel maupun Kaleb mengatakan di mana suatu produk dibuat tidaklah terlalu penting, Gabriel menekankan bahwa meskipun dia lebih menyukai barang impor, produk lokal sering kali bisa dipadukan dengan produk impor, dengan keuntungan tambahan karena lebih murah.
Namun, Kaleb sendiri mengatakan bahwa beberapa negara terkenal membuat barang-barang tertentu, seperti Swiss atau Jepang dengan jam tangan mereka, oleh karena itu dia lebih memilih impor dalam kasus-kasus tertentu.
“Tetapi pandangan itu hanya berlaku untuk kebutuhan sekunder atau tersier. Saya kira untuk produk primer sebaiknya kita tidak terlalu banyak mengonsumsi produk impor,” kata Kaleb. C
Hristie Hutauruk, yang bekerja di sebuah bank swasta, mengaku tidak peduli apakah suatu produk diimpor atau tidak. “Bagi saya, faktor terpenting dalam membeli atau menggunakan suatu produk adalah kualitas dan estetika dari produk itu sendiri, sesuai dengan yang saya butuhkan. Kalau (kriteria) itu terpenuhi, saya akan pakai produknya,” kata Christie.
Naura Nazifah, seorang ibu rumah tangga dan ibu satu anak, mengatakan, dulu ia tidak ambil pusing dengan label karena cenderung membeli apa yang sudah ia alami. Namun semuanya berubah ketika putranya lahir.
“Sekarang saya sudah punya anak, saya lebih memperhatikan labelnya, terutama pada produk makanan untuk anak saya. Kalau dia saya lebih banyak pakai produk lokal seperti Promina, Bumbu Bunda by Elia, Bumboo, dll,” kata Naura.
Aji Septian, seorang pekerja lepas, dan Zafira Ningrum, lulusan kesejahteraan sosial berusia 24 tahun, mengatakan mereka membeli banyak pakaian buatan Indonesia, namun bukan karena asal usulnya sangat penting bagi mereka.
Yang pertama mengatakan dia menilai suatu produk berdasarkan fungsi, desain, kualitas dan harga, sedangkan yang kedua mengatakan dia memperhatikan keberlanjutan, kegunaan, dan apakah produk tersebut mengandung bahan berbahaya yang dapat mencemari lingkungan.
“Saya menggunakan produk impor, (jika) saya tahu umur atau kegunaannya, sama seperti produk lokal. Jadi, bukan soal di mana pembuatannya,” kata Zafira.
“Preferensi konsumsi atau penggunaan saya tergantung pada apa yang saya inginkan, bukan lokal atau impor,” kata Aji.