20 Juni 2023
JAKARTA – Para pakar lingkungan hidup telah memperingatkan bahwa pemilu tahun 2024 dapat menentukan nasib hutan negara ini, mengingat peningkatan deforestasi yang terjadi sebelumnya setelah pergantian rezim serta rapuhnya janji dan pencapaian pemerintah dalam bidang lingkungan hidup.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani, mengatakan tahun 2024 akan menjadi momen yang menentukan bagi Indonesia, tidak hanya karena pemilihan presiden, legislatif, dan daerah, tetapi juga karena krisis iklim dan fenomena klimaks El Niño yang sedang berlangsung.
“Kita saat ini menghadapi krisis iklim yang akan lebih mengkhawatirkan jika kita tidak melakukan apa pun,”
“Inilah saatnya untuk memilih pemimpin yang mampu melaksanakan agenda perlindungan lingkungan hidup terhadap bencana alam dan perubahan iklim yang kita hadapi saat ini,” kata Nadia dalam diskusi yang dipandu Madani, Kamis.
Dia menambahkan bahwa pemerintahan baru harus menindaklanjuti komitmen lingkungan pemerintahan saat ini, seperti Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) tahun 2030 terhadap pengurangan emisi global dan tujuan net-zero tahun 2060 yang ditetapkan dalam Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon. dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR). .
Namun, pemerintahan baru juga harus menyelaraskan janji-janji lingkungan hidup tersebut dengan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan semangat perlindungan lingkungan hidup, seperti Undang-Undang Cipta Kerja.
Mufti Fathul Barri, direktur eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), menyatakan keprihatinannya bahwa deforestasi cenderung meningkat segera setelah pergantian rezim di Indonesia, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh FWI dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ia menunjukkan bahwa sekitar 3,51 juta hektar hutan digunduli setiap tahunnya antara tahun 1996 hingga 2000, menurut data pemerintah. Periode ini bertepatan dengan peralihan dari masa Orde Baru ke masa Reformasi.
Bahkan pada masa Reformasi yang tampaknya lebih demokratis, tren ini terus berlanjut. Dari tahun 2003 hingga 2006, termasuk peralihan dari Presiden Megawati Soekarnoputri ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sekitar 1,17 juta hektar hutan mengalami deforestasi setiap tahunnya di negara ini.
Sementara itu, pada tahun 2014 hingga 2015, saat Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjabat sebagai presiden, pemerintah mencatat deforestasi sebesar 1,09 juta hektar per tahun.
Pada tahun 2020 hingga 2021, pemerintah mencatat deforestasi sebesar 113.534 ha, sedangkan periode sebelumnya pada tahun 2019 hingga 2020 sebesar 115.459 ha, turun tajam dari tahun 2018 ke tahun 2019 sebesar 462.400 ha.
Karena pemilu dijadwalkan pada Februari 2024, kata Mufti, November 2023 hingga Januari 2024 akan menjadi periode penting karena kawasan hutan dapat diperdagangkan sebagai bagian dari kesepakatan politik pemilu, yang dapat menyebabkan deforestasi.
“Kami berharap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini tidak mengulangi kesalahan menteri sebelumnya yang melepas kawasan hutan sebelum pergantian rezim,” kata Mufti, Kamis.
Sementara itu, Ferdian Yazid, Manajer Program Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ekonomi Transparency International Indonesia, mengatakan jika pemilih menginginkan pemimpin yang peduli lingkungan, maka keterlibatan pemilih dalam politik tidak boleh berhenti di kotak suara saja.
Ferdian mengatakan bahwa politik Indonesia tidak mudah terpecah menjadi kelompok kiri dan kanan serta mengabaikan asumsi umum bahwa kelompok kiri akan pro lingkungan hidup dan kelompok sayap kanan akan pro pasar.
Sebaliknya, politik negara cenderung ke arah dinamika kartel, di mana kantor-kantor pemerintah sering digunakan untuk mendapatkan kekuasaan, katanya.
Ferdinand mengatakan, pihak yang membiayai politisi sama pentingnya dengan politisi itu sendiri, apalagi aturan pendanaan partai politik di Indonesia belum sepenuhnya transparan.
“Seorang calon presiden bisa mengaku peduli lingkungan, tapi kalau kita telusuri pemodalnya, dia (mungkin) bisa didukung oleh pihak yang mengeksploitasi sumber daya alam,” kata Ferdian.
Ia juga mengatakan bahwa mengingat fleksibilitas koalisi politik, bahkan kandidat yang berkampanye dengan platform pro lingkungan hidup dapat mencapai kesepakatan dengan lawan politik mereka yang membahayakan kebijakan lingkungan hidup mereka.
Dia mengatakan, terserah kepada para pemilih untuk memantau politisi guna memastikan mereka menepati janji politiknya setelah menjabat.
“Kalau tidak, suara dan partisipasi politik kita berhenti di kotak suara,” kata Ferdian.