23 September 2022
JAKARTA – Seorang ilmuwan Belanda yang termasuk dalam kelompok peneliti yang dilaporkan dilarang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan penelitian di Indonesia karena tulisan-tulisannya yang kritis, mengaku prihatin dengan kondisi kebebasan ilmiah di negara tersebut.
Dalam surat tertanggal 14 September, kementerian mengungkapkan keprihatinannya atas artikel yang diterbitkan tentang satwa liar Indonesia oleh Erik Meijaard dan empat ilmuwan lainnya – Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kuhl dan Serge Wich, yang dikatakan dapat mendiskreditkan pemerintah dan lingkungan serta Kehutanan. Kementerian”.
Oleh karena itu, surat tersebut memerintahkan lembaga konservasi taman nasional dan sumber daya alam (KSDA) untuk “menahan persetujuan atau persetujuan dari lima peneliti tersebut dalam setiap upaya konservasi yang dilakukan di lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan” dan “meminta kerja sama dengan kementerian. lima peneliti”.
Meijaard mengaku belum diberitahu mengenai larangan tersebut oleh kementerian, meski ia mengetahui surat tersebut telah dikirimkan ke berbagai lembaga pemerintah dan LSM.
“Kemarin kami menghubungi (Menteri LHK, Siti Nurbaya) dan meminta penjelasan kenapa kami dilarang masuk kawasan lindung Indonesia, tapi kami belum mendapat jawaban,” ujarnya dalam wawancara email tersebut. kepada The Jakarta Post.
Kementerian belum menanggapi permintaan komentar mengenai surat tersebut hingga hari Rabu. Namun Taman Nasional Komodo mengonfirmasi kepada Post bahwa mereka telah menerimanya.
Mengikis kebebasan
Keputusan kementerian untuk melarang Meijaard dan ilmuwan lainnya adalah yang terbaru dari serangkaian insiden konflik antara kementerian dan anggota komunitas ilmiah, sehingga meningkatkan kekhawatiran mengenai sikap anti-ilmiah di kalangan pejabat pemerintah.
Namun, surat tersebut tampaknya merupakan titik terendah baru.
Selain pada dasarnya menghalangi Erik dan keempat rekannya untuk melakukan penelitian, surat tersebut juga menguraikan pembatasan tambahan bagi peneliti asing selanjutnya yang ingin melakukan penelitian di lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kepala taman nasional dan KSDA kini wajib melapor kepada kementerian atas setiap permintaan peneliti asing, meneruskan laporan penelitian asing apa pun yang dilakukan antara tahun 2017 hingga 2022 kepada kementerian, dan mengawasi peneliti asing dalam pekerjaan mereka dan hasil selanjutnya “untuk menjaga objektivitas. . .”
Meijaard mengaku tidak khawatir dengan kemungkinan dilarang melakukan penelitian di Indonesia, namun yang lebih mengkhawatirkannya adalah apakah ilmuwan Indonesia bisa bebas melakukan pekerjaannya.
“Kalau saya tidak bisa melakukan penelitian di Indonesia, saya masih bisa bekerja di negara lain, tapi ilmuwan Indonesia mungkin tidak punya kemewahan itu. Jadi ini menjadi perhatian para ilmuwan, baik internasional maupun Indonesia, yang bekerja di kawasan lindung yang kini bisa dikaji secara dekat,” ujarnya.
“Ilmu pengetahuan bergantung pada data dan analisis yang obyektif, dan hasilnya harus dilaporkan sebagaimana temuan tersebut ditemukan dan tidak diperiksa potensi dampaknya terhadap pemerintah.”
‘Pendapat yang kontroversial’
Meskipun surat tersebut tidak merinci artikel mana yang dibuat Meijaard yang menyinggung kementerian, diyakini bahwa pelarangan tersebut disebabkan oleh opini yang ditulis bersama Meijaard yang diterbitkan di situs web Post dan di surat kabar pada tanggal 15 September. .
Op-ed yang bertajuk “Konservasi Orangutan Perlu Kesepakatan tentang Data dan Tren” ini menantang pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang mengklaim bahwa “Orangutan Sumatera, Tapanuli, dan Kalimantan masih jauh dari punah dan akan terus memiliki populasi. ”
“Berbagai penelitian ilmiah (…) menunjukkan bahwa ketiga spesies orangutan telah menurun dalam beberapa dekade terakhir dan populasinya tidak bertambah di mana pun,” katanya.
Sebagai tanggapan, kementerian mengirimkan surat tertanggal 19 September ke Post yang membahas tuntutan Meijaard. Data dari 24 lokasi pemantauan Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan peningkatan populasi orangutan, dari 1.441 individu pada tahun 2014 menjadi 2.431 individu pada tahun 2022, katanya.
Kementerian mengklaim bahwa pihaknya secara konsisten berupaya melestarikan orangutan dengan cara yang “sistematis dan masif”.
Fakta ‘memetik ceri’
Berry Juliandi dari Akademi Ilmu Pengetahuan Muda Indonesia (ALMI) mengkritik tindakan kementerian yang terlalu berlebihan, dengan mengatakan bahwa “komunitas ilmiah adalah lembaga yang mampu menentukan objektivitas suatu penelitian dan bukan pejabat pemerintah”.
Keputusan kementerian tersebut, kata dia, menjadi contoh terbaru pemerintah memilih hasil ilmiah sesuai kebutuhannya. “Kalau ada kajian yang sejalan dengan kebijakan pemerintah, semuanya mendukung. Tapi kalau bertentangan dengan keinginan pemerintah, mereka tutup mata atau seperti sekarang, menuduh peneliti melawan pemerintah,” ujarnya.
Sebagai Ketua ALMI, Berry menyayangkan semakin banyaknya politisasi ilmu pengetahuan dalam beberapa tahun terakhir, mengingat Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), kini mengepalai Badan Riset Nasional (BRIN). komite manajemen.
Komunitas ilmiah telah memperingatkan bahwa penunjukannya dapat menghambat independensi peneliti dalam mengejar inovasi ilmiah di negara tersebut.
Ia juga mencontohkan pengetatan pembatasan terhadap peneliti asing sebagaimana diatur dalam Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2019. Undang-undang tersebut, yang mengenakan tuntutan pidana terhadap peneliti asing yang dinyatakan bersalah melanggar peraturan visa, dipandang oleh para akademisi sebagai ancaman terhadap kebebasan akademik. (aww)