30 Mei 2023
JAKARTA – Pemerintah bulan ini mencabut larangan ekspor pasir keruk yang telah diberlakukan selama lebih dari 20 tahun, dalam suatu langkah yang diklaim akan menghasilkan pendapatan yang sangat dibutuhkan, tetapi menurut para aktivis akan semakin merusak ekosistem laut penting negara itu .
Peraturan tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 15 Mei dan mulai berlaku pada tanggal yang sama. Hal ini memungkinkan pemegang izin pertambangan untuk mengumpulkan dan mengekspor pasir laut asalkan kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
Pemanfaatan pasir yang disetujui termasuk reklamasi tanah dan pembangunan infrastruktur swasta dan pemerintah.
Sementara para penambang menyambut baik keputusan tersebut, para pecinta lingkungan mengecam kebijakan tersebut, memperingatkan bahwa hal itu akan mengarah pada peningkatan penambangan pasir, yang menurut mereka akan merugikan penduduk pesisir yang bergantung pada ekosistem laut.
“Ini mengungkapkan wajah asli Presiden Joko Widodo yang tidak terlalu peduli dengan perlindungan laut dan nelayan,” kata Parid Ridwanuddin, juru bicara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Jakarta Post Senin.
Baca juga: Indonesia izinkan Freeport, Amman Mineral mengapalkan konsentrat tembaga hingga 2024
Parid mengatakan pengerukan pasir telah menyebabkan sejumlah pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu di utara Jakarta dan Kepulauan Riau menghilang di bawah air, selain 0,8 hingga 1 meter yang hilang setiap tahun karena naiknya air laut. Lebih banyak pulau sekarang berisiko tinggi karena peraturan baru itu, tambahnya.
Penambangan laut juga telah merusak ekosistem laut dan mengusir ikan dari perairan sekitarnya, memaksa nelayan lokal untuk berlayar lebih jauh, yang akan lebih mahal dan berbahaya, kata Parid.
Dia berharap Singapura menjadi salah satu negara yang paling diuntungkan dari kebijakan tersebut, karena permintaan pasir untuk proyek daur ulang masih cukup tinggi di negara kota tersebut.
Seorang nelayan menebar jaring saat matahari terbenam di muara Cunda di Lhokseumawe, Aceh, pada 15 Juli 2022.
(AFP/Azwar Ipank)
Sebelum larangan diberlakukan pada awal 2007, lebih dari 90 persen impor pasir Singapura berasal dari Indonesia, yang pada saat itu memasok negara kota tersebut dengan antara 6 dan 8 juta ton pasir, menurut pemerintah Singapura.
Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, menulis di Twitter bahwa pemerintah harus mencabut kebijakan tersebut karena akan memperburuk kerusakan lingkungan akibat perubahan iklim.
Baca juga: Kami tidak akan berhasil: Industri mempertanyakan larangan ekspor bauksit pada pertengahan 2023
Ketua Asosiasi Penambang Pasir Laut (APPL) Kepulauan Riau, Heri Tosa, mengatakan Pos Senin, Singapura memang menjadi pasar ekspor pasir utama asosiasi itu.
Sementara ekspor Indonesia terhenti, katanya, Singapura mengimpor pasir dari Johor Baru, Malaysia, dengan harga S$15 per meter kubik.
Hong Kong juga mencoba mengimpor pasir untuk proyek reklamasi bandaranya, tambahnya. Proyek ini diperkirakan membutuhkan sekitar 80 juta meter kubik pasir.
Menurut APPL, 80 anggotanya telah memegang izin penambangan pasir dan siap untuk segera terjun kembali ke bisnis tersebut begitu pemerintah mengklarifikasi rincian perubahan kebijakan tersebut.
“Mari kita kesampingkan politik di balik kebijakan ini. Kami tahu negara ini membutuhkan uang dan cadangan devisa,” kata Heri, seraya menambahkan bahwa dia yakin pemerintah telah menyelesaikan sengketa perbatasan dengan Singapura, yang dianggap sebagai bagian dari motivasi di balik larangan sebelumnya.
Afdillah, juru kampanye laut Greenpeace Indonesia, mengatakan Pos Senin, peraturan itu merupakan upaya greenwashing, karena pemerintah memperlakukan ekspor pasir sebagai kegiatan konservasi untuk mengendalikan sedimentasi laut.
Afdillah mengatakan “jalan pintas yang cepat dan mudah” menuju pendapatan ini akan “melanggar hak ekosistem, masyarakat pesisir, dan nelayan”.
Kurangnya pengawasan pemerintah yang tepat akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih besar, tambahnya.
Menurut laporan tahun 2002 oleh Kompassandblasters secara rutin memalsukan angka yang mereka serahkan kepada pemerintah, termasuk mengklaim menjual pasir dengan tarif yang disyaratkan S$4 per meter kubik, padahal harga sebenarnya sekitar S$1,3 per meter kubik, yang mengakibatkan kerugian sekitar 540. juta dolar Singapura per tahun.
Wahyu Muryadi, staf khusus Kementerian Kelautan dan Perikanan, membela kebijakan tersebut. Pada Senin, dia mengatakan kebijakan itu akan membawa keuntungan bagi negara berupa pemasukan, seperti dikutip dari tirto.id.
Dia juga mengklaim peraturan tersebut akan memastikan bahwa penambangan pasir dan sedimen laut lainnya dilakukan dengan alat yang jauh lebih aman bagi lingkungan daripada di bawah rezim peraturan pra-larangan.