Pensiun Dini Pembangkit Listrik Tenaga Batubara: Siapkah Indonesia?

19 Oktober 2022

JAKARTA – Krisis energi global yang berkepanjangan telah menjadi titik kritis bagi negara-negara di dunia untuk meninjau kembali rencana transisi energinya. Banyak yang percaya bahwa transisi energi telah menjadi prioritas kedua seiring dengan upaya negara-negara untuk meningkatkan ketahanan energi mereka di tengah kenaikan harga bahan bakar fosil.

Rencana untuk mengalihkan sumber energi dunia dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan semakin diperdebatkan setelah sebagian besar negara Uni Eropa, yang merupakan penggerak rencana transisi energi dunia, meningkatkan konsumsi batu bara untuk mengatasi krisis energi global, seperti batu bara. masih relatif merupakan bahan bakar termurah di tengah kenaikan harga energi.

Bagi Indonesia, kenaikan biaya energi tidak terlalu mempengaruhi perekonomian dan rencana transisi energi. Ketahanannya terutama didukung oleh posisi Indonesia sebagai eksportir batubara utama. Namun, dampaknya masih terasa karena kita menghadapi koreksi kenaikan harga minyak.

Ketika dunia mulai mempertanyakan kelayakan transisi energi dalam jangka pendek dan menengah, Indonesia baru-baru ini mengumumkan akan menutup beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) paling cepat pada akhir tahun 2022. Meskipun keputusan besar namun mendadak ini sejalan dengan rencana besar Indonesia untuk melakukan transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, kami menyadari ada tiga perselisihan mengenai penerapan kebijakan ini yang patut didiskusikan.

Pertama, keamanan energi harus menjadi prioritas dibandingkan transisi energi. Sungguh mengejutkan melihat kebijakan ini diambil ketika dunia sedang menderita akibat kenaikan harga energi akibat krisis energi yang sedang berlangsung. Pertanyaannya adalah bagaimana Indonesia dapat melaksanakan rencana pensiun dini PLTU-nya tanpa membahayakan ketahanan energinya.

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bauran listrik Indonesia pada tahun 2021 masih didominasi oleh PLTU yang menyumbang 50 persen dari total kapasitas terpasang (37 gigawatt dari 74 GW). Kita harus sadar bahwa penghentian PLTU tidak serta merta meningkatkan kapasitas energi pengganti yang diinginkan, yaitu energi terbarukan. Oleh karena itu, tindakan ini akan membuat Indonesia menghadapi risiko ketahanan energi hingga kapasitas energi terbarukan dapat menyamai kapasitas PLTU yang digantikan.

Di sisi lain, kami juga meyakini keputusan pemerintah yang memulai penutupan dini beberapa PLTU dapat menjadi landasan bagi kebijakan-kebijakan lain di masa mendatang guna mempercepat pengembangan energi terbarukan.

Kedua, tidak ada urgensi bagi Indonesia untuk secara drastis menghentikan penggunaan batu bara pada tahap awal transisi energi dunia. Berdasarkan data tinjauan statistik BP, kami yakin bahwa Indonesia bukanlah salah satu negara yang banyak mengonsumsi batubara.

Pada tahun 2021, Indonesia hanya mengonsumsi sekitar 111,97 juta ton batu bara, hanya 2 persen dari konsumsi batu bara dunia. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara konsumen batu bara lainnya seperti Tiongkok, India, dan bahkan Amerika Serikat.

Pada saat yang sama, kami memahami bahwa menjadi negara yang memberikan contoh upaya berkelanjutan untuk beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan akan menghasilkan reputasi yang baik di seluruh dunia. Namun, apakah hal tersebut sepadan dengan risikonya masih merupakan pertanyaan besar yang perlu dijawab.

Ketiga, batu bara terancam menjadi aset terbengkalai dalam waktu dekat. Menurut data kementerian, sekitar 84,3 persen kewajiban pasar domestik (DMO) batubara pada tahun 2021 dialokasikan dan digunakan oleh sektor ketenagalistrikan. Oleh karena itu, kami memperkirakan konsumsi batubara oleh sektor ini akan berkurang seiring dengan ditutupnya beberapa PLTU.

Selain itu, sulit untuk berargumentasi bahwa jumlah batubara yang sebelumnya dikonsumsi oleh sektor ketenagalistrikan dapat direalokasikan untuk penggunaan lain. Misalnya, realokasi jumlah batubara untuk ekspor mungkin tidak praktis dalam jangka panjang karena kami memperkirakan peningkatan permintaan batubara impor hanya bersifat sementara. Dan kami juga ragu apakah proyek hilirisasi batubara siap mengolah seluruh batubara yang terdampar tersebut.

Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa mempercepat penghentian PLTU bukanlah cara yang ideal untuk menangani rencana transisi energi, terutama ketika ketahanan energi mulai menjadi perhatian utama dalam permasalahan energi saat ini. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa ada beberapa kekhawatiran yang perlu diatasi sebelum pensiun dini PLTU meningkat.

Pertama, pemerintah harus merumuskan insentif yang lebih baik bagi investor energi terbarukan agar pengembangan energi terbarukan bisa mengimbangi pensiunnya PLTU.

Kita tahu, pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan. Namun, kami merasa bahwa sebagian besar tujuan dari peraturan harga (yaitu harga maksimum listrik dari pembangkit listrik terbarukan) dibuat untuk secara tidak langsung melindungi perusahaan listrik milik negara, PLN.

Kami berpendapat bahwa tidak boleh ada peraturan harga yang maksimal di pasar yang hanya terdapat satu pembeli yaitu PLN. Selain itu, kami menyarankan agar pemerintah menaikkan harga pembelian listrik energi terbarukan untuk jangka waktu tertentu hingga mencapai tingkat dimana investor bersedia berinvestasi.

Kedua, kami juga percaya bahwa terkadang lebih baik menunggu, melihat, dan berasumsi apa yang dilakukan negara lain agar tetap sejalan dengan rencana transisi energinya sambil tetap menjaga keamanan energinya.

Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, Indonesia bukanlah salah satu negara yang mengonsumsi batu bara terbanyak. Sehingga akan ada cukup waktu secara psikologis untuk belajar dan mengadopsi, misalnya, teknologi dari negara-negara konsumen batu bara terbesar. Teknologi yang menjadikan energi terbarukan lebih terjangkau, dan mencegah batu bara menjadi aset yang terbengkalai.

Dan yang terakhir, kami percaya bahwa jika pemerintah tetap menerapkan kebijakan ini, pemerintah harus memanfaatkan keuntungan komoditas yang ada saat ini untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan. Misalnya saja, pemerintah dapat memberlakukan kewajiban penggunaan royalti ekspor batu bara untuk mendukung investasi pada pembangkit listrik energi terbarukan.

pragmatic play

By gacor88