13 Desember 2022
JAKARTA – Setelah bertahun-tahun atau puluhan tahun tinggal di Indonesia, ribuan pensiunan asing diperkirakan akan mengetahui apakah mereka bisa tinggal di negara tersebut beberapa hari sebelumnya.
Pada akhir bulan Oktober, pemerintah memperkenalkan jenis izin tinggal baru, visa rumah kedua, dengan tujuan “menarik wisatawan asing untuk datang ke Bali dan berbagai destinasi lainnya”.
Di sinilah kebingungan dimulai, ketika pihak berwenang mengacaukan orang asing yang menghabiskan liburan di negara tersebut dengan mereka yang menghabiskan sisa hidup mereka di sini.
Direktorat Jenderal Imigrasi merayakan langkah tersebut dengan membunyikan gong di Bali, namun banyak orang asing yang menghabiskan masa pensiun mereka di pulau tersebut tidak merasa ingin merayakannya karena visa baru tidak akan banyak membantu mereka setelah izin tinggal mereka saat ini dibatalkan.
“Orang asing dapat dengan mudah mengajukan visa rumah kedua melalui aplikasi berbasis situs web,” demikian siaran pers berbahasa Inggris di situs web Direktorat Jenderal.
Itu semua baik dan bagus, namun di antara persyaratan yang tidak berbahaya seperti paspor dan foto berwarna terbaru, disebutkan perlunya memiliki Rp 2 miliar (US$128.000) di bank milik negara di Indonesia, atau aset yang setara.
Peraturan tersebut mengharuskan pemegang izin tinggal sementara (KITAS) atau izin tinggal tetap (KITAP) lansia untuk beralih ke visa rumah kedua, atau memenuhi persyaratan bukti aset yang sama, namun persyaratan finansial membuat hal ini tidak mungkin dilakukan bagi sebagian besar dari mereka.
Tidak ada yang salah dengan sebuah negara yang berusaha menarik orang-orang kaya ke negaranya. Negara-negara lain juga membuka pintu lebar-lebar bagi orang-orang kaya dari seluruh dunia. Misalnya, Malaysia menawarkan program Malaysia My Second Home kepada orang asing yang ingin tinggal di sana selama 10 tahun, dengan syarat mereka mendapat penghasilan 40.000 ringgit ($9.000) sebulan dan membayar deposit sebesar 1 juta ringgit.
Bagi banyak orang asing yang mempertimbangkan untuk menetap di negara tropis dengan biaya hidup yang relatif rendah seperti Indonesia, hal ini tetap menjadi tawaran yang menarik, meskipun diperlukan bukti dana. Jelas bahwa visa rumah kedua dirancang dengan mempertimbangkan mereka.
Bukanlah sebuah rencana jahat untuk menyingkirkan para pensiunan asing yang saat ini tinggal di Indonesia. Sebaliknya, kebijakan tersebut tidak terdeteksi ketika pemerintah merancang peraturan baru.
Meskipun secara umum tidak kaya, banyak dari para pensiunan yang tinggal di Bali, Lombok, Jakarta dan tempat-tempat lain telah lama tinggal, mencintai dan berkontribusi di negara pilihan mereka.
Komitmen mereka terhadap negara tidak hanya sekedar pertimbangan finansial, namun bahkan jika pemerintah menilai nilainya hanya dari segi moneter, mari kita hitung angka-angkanya:
Jika seseorang telah tinggal di negara ini selama dua dekade dan mengeluarkan uang yang relatif kecil yaitu Rp 100 juta per tahun, maka jumlah tersebut sudah mencapai jumlah Rp 2 miliar yang dibutuhkan oleh visa baru tersebut. Dan di sini bukan uang yang sekadar diparkir di bank, melainkan uang yang benar-benar digunakan untuk kepentingan perekonomian masyarakat setempat.
Rasa panik mencengkeram komunitas pensiunan asing hanya beberapa hari sebelum batas waktu penerapan kebijakan baru pada tanggal 24 Desember. Mereka dengan cemas menunggu tanggapan dari pemerintah untuk membiarkan mereka tinggal di negara yang tidak mereka anggap sebagai rumah kedua, namun satu-satunya rumah mereka.