30 Agustus 2023
DHAKA – Sebanyak 70 persen responden dalam survei terbaru berpendapat bahwa perekonomian Bangladesh sedang menuju ke arah yang salah, dan mereka menyebut tingginya harga produk sebagai dasar pendirian mereka.
Pengungkapan tersebut terungkap dalam penelitian bertajuk ‘The State of Bangladesh Political Governance, Development and Society: Menurut Its Citizens’ yang dilakukan bersama oleh The Asia Foundation di Bangladesh dan Brac Institute of Governance and Development.
Laporan terbaru yang diluncurkan kemarin memanfaatkan survei section-representative yang dilakukan dari November 2022 hingga Januari 2023 di 64 kabupaten dengan jumlah sampel 10.240 laki-laki dan perempuan.
Survei serupa dilakukan pada tahun 2017, 2018 dan 2019.
Persentase masyarakat yang berpendapat bahwa negara ini sedang menuju ke arah yang benar di ketiga aspek kehidupan masyarakat, jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2019. Hal ini menunjukkan penurunan persepsi masyarakat yang signifikan mengenai masa depan negara.
Misalnya, pada tahun 2019, 28 persen mengatakan negara ini menuju ke arah yang salah dari sudut pandang ekonomi.
Meskipun mayoritas responden dari semua kelompok pendapatan mengatakan bahwa Bangladesh sedang menuju ke arah perekonomian yang salah, responden dari kelompok pendapatan tertinggi adalah yang paling pesimistis.
Sebanyak 87 persen responden dari kelompok berpendapatan tertinggi mengatakan Bangladesh mengambil arah yang salah dari sudut pandang ekonomi.
Bagi 70 persen responden yang mengatakan bahwa perekonomian Bangladesh sedang menuju ke arah yang salah, alasannya adalah: tingginya harga produk (84 persen), kondisi ekonomi yang buruk (35 persen), meningkatnya kelangkaan barang-barang kebutuhan (25 persen), kurangnya pekerjaan (16 persen), gaji yang lebih rendah dibandingkan dengan beban kerja (10 persen), pekerjaan yang layak (8 persen), dan bisnis yang sedang lesu (8 persen).
Untuk seperempat responden yang mengatakan bahwa negara ini sedang menuju ke arah yang benar, alasan terpentingnya mencakup kondisi ekonomi yang baik (46 persen), pembangunan secara keseluruhan (36 persen), infrastruktur yang baik (27 persen), peningkatan lapangan kerja (16 persen), peningkatan kualitas hidup (14 persen), tidak ada kekurangan (14 persen), peningkatan dunia usaha (11 persen), penawaran berbagai hibah pemerintah (10 persen), perbaikan sistem komunikasi (9 persen), peningkatan sistem ketenagalistrikan (7 persen ), kenaikan gaji untuk pekerjaan pemerintah (4 persen).
Para responden diminta untuk mengidentifikasi tantangan utama yang dihadapi negara ini, dan sekitar 44 persen dari mereka mengatakan masalah terbesar di Bangladesh adalah ‘kenaikan harga’.
Permasalahan lain yang disebutkan oleh para responden adalah kemerosotan dunia usaha (11 persen), pengangguran (10 persen), ketidakstabilan politik (8 persen) dan korupsi (3 persen).
Responden ditanyai tentang arah politik negara tersebut, dan apakah menurut mereka Bangladesh sedang menuju ke arah yang benar atau salah. Hampir separuh responden (48 persen) mengatakan Bangladesh menuju ke arah yang salah, naik dari 31 persen pada tahun 2019.
Persentase responden yang ragu arah negara juga meningkat dari 5 persen pada tahun 2019 menjadi 11 persen pada tahun 2022.
Dalam pertanyaan lanjutan, 39 persen responden yang mengatakan bahwa Bangladesh bergerak ke arah yang benar menjelaskan mengapa mereka berpendapat demikian. Lebih dari setengahnya, 51 persen, menyebutkan stabilitas politik sebagai alasan mengapa Bangladesh bergerak ke arah yang benar.
Alasan lainnya termasuk: pembangunan secara keseluruhan (22 persen), peningkatan situasi hak asasi manusia (20 persen), berkurangnya kekerasan politik (15 persen), berkurangnya aktivitas terorisme (10 persen) dan pembangunan infrastruktur (2 persen).
Sebanyak 48 persen responden mengatakan Bangladesh sedang menuju ke arah yang salah secara politik, alasannya antara lain ketidakstabilan (46 persen), dominasi satu partai politik (25 persen), kenaikan harga (20 persen), tidak ada demokrasi (10 persen), pemilu melakukan tindakan tanpa izin (12 persen), politik sepihak (10 persen), dan kurangnya kesempatan menyampaikan pendapat (9 persen).
Temuan menunjukkan bahwa 96 persen berniat untuk memilih pada pemilu mendatang.
Survei ini mengkaji persepsi terhadap demokrasi dan prinsip-prinsip demokrasi.
Ketika ditanya apa yang mereka pahami tentang demokrasi, lebih dari sepertiga responden mengaku “tidak tahu” (36 persen). Hampir seperlima mengatakan “hak yang sama untuk semua” (18 persen), kebebasan rakyat (17 persen), pemerintahan oleh rakyat (15 persen), kesempatan untuk memilih dengan bebas (15 persen), kebebasan berpendapat (11 persen) dan kebebasan berekspresi di masyarakat. partisipasi dalam semua kegiatan (7 persen) adalah apa yang mereka pahami sebagai demokrasi.
Perbedaan besar muncul berdasarkan tingkat pendidikan, karena responden dengan gelar sarjana atau lebih tinggi cenderung menggambarkan demokrasi sebagai kesempatan untuk memilih secara bebas (16 persen), persamaan hak untuk semua (14 persen) dan kebebasan masyarakat (12 persen).
Sebaliknya, 48 persen responden yang tidak berpendidikan formal menyatakan “tidak tahu”. Ketika tingkat pendapatan menurun, responden cenderung mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui apa arti demokrasi.
Persentase responden yang yakin bahwa Bangladesh bergerak ke arah yang benar telah menurun dari 77 persen pada tahun 2019 menjadi 58 persen pada tahun 2022.
Bagi mereka yang mengatakan bahwa negara ini sedang menuju ke arah yang salah, alasannya adalah: memburuknya hukum dan ketertiban (64 persen), meningkatnya korupsi (23 persen), sistem pendidikan yang buruk (16 persen), meningkatnya penggunaan narkoba ( 16 persen), penyiksaan terhadap orang yang tidak bersalah (11 persen), meningkatnya kekerasan terhadap perempuan (9 persen) dan kekuasaan terkonsentrasi di kalangan orang kaya (7 persen).
Sebanyak 73 persen mengatakan tidak pernah atau sering kali aman untuk mengunggah opini politik di Facebook, sementara 63 persen mengatakan hal yang sama mengenai isu-isu sosial.
Mayoritas responden mengikuti berita melalui Facebook dan mengonsumsi berita melalui saluran TV swasta. Hanya 25 persen mengatakan mereka membaca koran.
Responden yang memiliki setidaknya gelar sarjana lebih cenderung mendapatkan berita melalui Facebook (84 persen) dibandingkan mereka yang tidak memiliki pendidikan (64 persen).
Kepercayaan secara keseluruhan terhadap berita di Facebook lebih tinggi (55 persen) dibandingkan kepercayaan terhadap surat kabar (27 persen).
Mengenai pembangunan Jembatan Padma, 72 persen peserta menganggapnya sebagai keberhasilan paling penting di Bangladesh.
Laporan tersebut menyatakan bahwa 47 persen responden memuji Perdana Menteri Sheikh Hasina yang membangun jembatan tersebut, sementara 28 persen memberikan pujian kepada pemerintah.