10 Februari 2022
JAKARTA – Tidak kurang dari 2,7 juta warga Indonesia yang tidak memiliki keterampilan dan tidak memiliki keterampilan, sebagian besar dari mereka juga tidak memiliki dokumen, telah mempertaruhkan nyawa mereka untuk bekerja di Malaysia yang sangat mereka perlukan untuk menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga mereka di kampung halaman. Lusinan orang tenggelam atau hilang di laut dalam perjalanan mereka ke negara tetangga, sementara banyak lainnya mencapai daratan hanya untuk jatuh ke dalam perangkap perbudakan modern.
Mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan untuk menunjang penghidupan mereka di dalam negeri, sehingga mereka dengan mudah tergiur dengan janji-janji akan mendapatkan banyak uang dari luar negeri yang akan mengangkat mereka keluar dari kemiskinan.
Malaysia merupakan negara tujuan pilihan bagi para pekerja migran karena berbagai alasan, termasuk kedekatannya, kesamaan bahasa, dan beragamnya pekerjaan kerah biru yang ditawarkan, seperti pekerja rumah tangga, konstruksi, dan perkebunan kelapa sawit. Negara tujuan lain seperti Timur Tengah, Taiwan, Hong Kong dan Singapura sebagian besar menawarkan pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga.
Oleh karena itu sungguh luar biasa bahwa Indonesia dan Malaysia, tetangga dekat dan anggota terkemuka ASEAN, tidak mampu atau tidak mau memperbarui perjanjian perlindungan pekerja migran Indonesia, khususnya pekerja rumah tangga di Malaysia, setelah lebih dari lima tahun melakukan perundingan. Nota kesepahaman (MoU) antara kedua negara mengenai hal ini telah berakhir pada tahun 2016.
Kedua belah pihak nampaknya lebih mengutamakan kepentingan dalam negeri. Indonesia ingin menjamin perlindungan bagi warga negaranya, para pekerja rumah tangga, sementara Malaysia wajib melindungi warganya sendiri, yaitu majikan mereka. Sayangnya, kedua belah pihak nampaknya enggan mencari solusi win-win yang dapat memberikan kepastian hukum baik bagi pekerja Indonesia maupun majikan mereka di Malaysia.
Ketiadaan payung hukum akan menguntungkan pemberi kerja dan merugikan ratusan ribu pekerja migran Indonesia yang tidak memiliki keterampilan dan pelatihan, yang sebagian besar adalah perempuan.
Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk melindungi warga negaranya yang bekerja di luar negeri sebagaimana diatur dalam UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran diinstruksikan. Undang-undang tahun 2017 secara tegas mendefinisikan hak dan kewajiban pekerja migran Indonesia dalam amandemen undang-undang lama yang diperkenalkan pada tahun 2004.
Tidak mungkin pemerintah menegakkan hukum di negara lain; dalam hal ini Malaysia. Pada akhirnya, mekanisme pasarlah yang berlaku dan yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengurangi risiko tersebut karena pekerja migran Indonesia tidak mempunyai daya tawar dibandingkan dengan majikan mereka di Malaysia.
Indonesia dan Malaysia dijadwalkan menandatangani MoU baru di Bali minggu ini tentang perlindungan pekerja migran.
Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia M. Saravanan dan Menteri Dalam Negeri Hamzah Zainudin mengadakan pertemuan terpisah dengan Menteri Tenaga Kerja Indonesia Ida Fauziyah pada bulan Januari untuk menyelesaikan kesepakatan tersebut, dan sebagian besar perbedaan pendapat dilaporkan telah diklarifikasi. Namun tidak ada kemajuan yang terlihat sejak saat itu.
The Jakarta Post melaporkan pada hari Senin bahwa Indonesia menuntut penghapusan sistem Maid Online, sebuah platform perekrutan langsung yang memungkinkan pekerja migran memasuki Malaysia tanpa mematuhi semua persyaratan dan prosedur hukum. Jakarta juga menyerukan fasilitas konversi visa yang memungkinkan migran Indonesia mengubah visa turis mereka menjadi visa kerja, untuk melindungi migran Indonesia dari perdagangan manusia dan perbudakan modern, yang masih merajalela.
Setidaknya empat perahu yang membawa pekerja migran Indonesia tidak berdokumen terbalik di lepas pantai Johor Bahru Malaysia dalam dua bulan terakhir, menewaskan 30 orang. Tragedi ini akan terulang kembali jika Indonesia hanya mampu menyuplai pasar luar negeri dengan tenaga kerja yang tidak terampil dan berpendidikan rendah.
Diharapkan tercapai kesepakatan yang saling menguntungkan untuk mengakhiri perbudakan modern.