28 Juli 2023
JAKARTA – Tidak mengherankan jika Kelompok 20 negara dengan perekonomian besar yang baru-baru ini bertemu mengenai energi bersih di India tidak dapat menyepakati penghapusan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap.
Telah terjadi perubahan arah terhadap batubara secara global sejak perang Rusia-Ukraina, yang menyebabkan Eropa berada di tengah krisis energi.
Sebelumnya pada bulan Februari, para menteri luar negeri Uni Eropa juga tidak setuju dengan seruan untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara global, yang merupakan bagian dari posisi negosiasi blok tersebut dalam Konferensi Iklim PBB (COP28) pada bulan November tahun ini. Kegagalan untuk mencapai konsensus akan menghalangi para delegasi untuk secara resmi mengadopsi teks yang mendukung penghapusan bahan bakar fosil secara bertahap pada pertemuan puncak iklim.
Namun hal ini tidak seharusnya menjadi hal yang normal bagi lambannya pemerintah untuk menunjukkan komitmen yang lebih besar dalam melakukan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil secara signifikan. Dan sebagai mantan tuan rumah G20 yang meluncurkan inisiatif ini tahun lalu, penolakan india terhadap proposal peningkatan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan, yang merupakan proposal utama dalam pertemuan di India, mungkin menunjukkan inkonsistensi dan berkurangnya komitmen terhadap perjuangan iklim.
Dalam dokumen Kontribusi Nasional (NDC) kepada UNFCCC, Indonesia bertujuan untuk mengurangi emisi karbon sebesar 31,9 persen secara mandiri, atau sebesar 43,2 persen dengan bantuan internasional, pada tahun 2030. Pemerintah juga mengumumkan rencana untuk menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap pada tahun 2056 dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060.
Namun dalam lima tahun terakhir, pangsa energi berbasis batu bara meningkat hampir 10 persen, mencapai 67,21 persen bauran energi nasional pada tahun 2022, sementara energi terbarukan hanya tumbuh 1 persen menjadi 14,11 persen. .
Indonesia dapat menggunakan bantuan untuk memperluas energi terbarukannya. Di sinilah pembiayaan swasta dapat memainkan peran yang lebih besar. Ada banyak harapan bagi Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) di akhir masa kepemimpinan Indonesia di G20 tahun lalu. Dalam perjanjian JETP, aliansi pemerintah dan sektor swasta dari negara-negara maju berjanji untuk memobilisasi pendanaan awal sebesar US$20 miliar dari pemerintah dan swasta untuk melakukan dekarbonisasi sektor energi Indonesia.
Sejauh ini belum ada hasil dari janji ini. Meskipun pemerintah Indonesia mengeluhkan lambatnya pencairan dana JETP, negara-negara donor menunggu Indonesia untuk menciptakan lingkungan yang mendukung di mana berbagai program transisi energi dapat dilaksanakan.
Pemerintah sangat ingin menghubungkan JETP dengan ambisi kendaraan listrik (EV), sehingga pemerintah berharap dapat menghubungkan pendanaan tersebut dengan pemberian subsidi dan insentif bagi masyarakat untuk membeli kendaraan listrik.
Namun di sisi lain, misalnya dalam memperbaiki peraturan untuk mendorong investasi di bidang energi surya, panas bumi, dan jenis energi terbarukan lainnya, pemerintah masih belum berbuat banyak. Pemerintah nampaknya enggan melonggarkan cengkeramannya di sektor ketenagalistrikan melalui perusahaan listrik milik negara PT PLN yang sedang melakukan reformasi, apalagi perbaikan iklim investasi di sektor ketenagalistrikan.
Penolakan Indonesia terhadap komitmen yang lebih besar terhadap perluasan energi terbarukan bisa dimengerti. Mengapa pemerintah memberikan janji lagi ketika memperlambat pengembangan sektor energi terbarukan di dalam negeri?
Selain itu, pendanaan dari negara-negara maju terkenal tidak dapat diandalkan. Jangan lupakan Dana Iklim Hijau, sebuah kerangka kerja PBB yang dibentuk pada tahun 2009 di mana negara-negara kaya berjanji untuk menyalurkan $100 miliar setiap tahunnya untuk membantu negara-negara miskin dalam memerangi perubahan iklim. Mereka tidak pernah mencapai target.
Pada tahun 2020, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencatat negara-negara maju mengumpulkan $83,3 miliar, jauh di bawah target.
Sekarang semuanya tampak seperti masalah klasik ayam dan telur. Indonesia tentunya perlu bekerja lebih keras dalam transisi energinya. Hal ini dapat dimulai dengan mereformasi peraturan untuk setiap pasar energi terbarukan, mulai dari tenaga surya hingga panas bumi, dan benar-benar mengatasi permasalahan yang menghambat pengembangan setiap sumber energi.
Jika Indonesia masih gagal memenuhi hal tersebut, apa gunanya memaksa pemerintah membuat janji lain, yang kita tahu tidak akan bisa ditepati?