23 Desember 2022
JAKARTA – Waktunya sudah dekat bagi Indonesia untuk memulai wacana jujur mengenai perannya dalam memungkinkan terjadinya perbudakan pada masa kolonial, kata para ahli setelah pidato permintaan maaf Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengenai peran historis negara Belanda dalam perbudakan.
Perdagangan budak Belanda menimbulkan penderitaan besar bagi masyarakat Indonesia, kata mereka, terutama puluhan ribu budak yang dikirim ke negara lain yang dikuasai Belanda seperti Suriname. Namun fakta bahwa para budak pertama kali dimediasi oleh kerajaan lokal seperti Bali dan Lombok menunjukkan adanya kebutuhan nyata akan rekonsiliasi dan pendidikan nasional, kata mereka.
Dalam pidatonya selama 20 menit pada Senin malam, Rutte meminta pengampunan dari bekas jajahannya, khususnya tujuh negara bagian Karibia: Suriname, Curaçao, St Maarten, Aruba, Bonaire, Saba dan St Eustatius. Menyebut perdagangan budak Belanda sebagai “sistem kriminal (…) yang sangat tidak manusiawi dan tidak adil” yang tak terbayangkan, Rutte mengumumkan dana untuk inisiatif sosial di Curaçao, St Maarten, Aruba dan Suriname.
Indonesia, yang merupakan bekas jajahan Belanda di mana perbudakan dipraktikkan, tidak disebutkan secara spesifik, kecuali pengakuan bahwa “antara 660.000 hingga lebih dari 1 juta orang (…) diperdagangkan di wilayah kekuasaan Perusahaan Hindia Timur Belanda.” (VOC)”. Meskipun beberapa media melaporkan bahwa hal ini mengindikasikan adanya permintaan maaf kepada Indonesia, para sejarawan berpendapat bahwa hal tersebut tidak terjadi karena komplikasi yang berakar pada keterlibatan Indonesia dalam masalah tersebut.
“Kerajaan Indonesia lah yang menjual budak. Belanda menganggapnya sebagai peluang dan menikmati apa yang tersedia bagi mereka. Ceritanya berbeda di Karibia, di mana Belanda mengangkut budak dan memperbudak penduduk lokal,” Andi Achdian, pakar kolonialisme di Universitas Nasional Indonesia (UNAS) mengatakan kepada The Jakarta Post.
“Sisi gelap sejarah kita harus dilihat secara nyata.”
Kenangan yang menyegarkan
Terkait perbudakan, Indonesia perlu mengakui sejarah buruknya sebelum meminta maaf, kata para ahli.
Pada abad ke-16, VOC merupakan salah satu pedagang budak terbesar di dunia, memperdagangkan manusia melintasi Atlantik dan Asia. Di india, budak dijual ke dan dari Afrika Selatan, India dan Sri Lanka, dengan “barang unggulan” termasuk budak dari Ambon, Ternate, Bali dan Kalimantan.
Sebagian besar budak adalah mereka yang kalah dalam perang etnis dan kemudian dijual oleh kerajaan yang menang, jelas para sejarawan.
Namun fakta-fakta di atas tidak diketahui secara luas di Indonesia, dan terdapat keterputusan yang jelas antara generasi muda dan sejarah nenek moyang mereka, kata mereka dengan prihatin.
“Banyak laporan mengenai praktik perbudakan pada masa kolonial disimpan di arsip nasional. Hal-hal tersebut tidak dapat diakses oleh siapa pun, yang berarti para peneliti dan pakar hanya mempunyai sedikit hal untuk diajak bekerja sama,” tambah Bondan Kanumoyoso, dekan fakultas ilmu budaya Universitas Indonesia (UI).
Begitu terbatasnya data resmi, kata Bondan, sehingga angka-angka yang digunakan Rutte dalam pidatonya pun memerlukan pengawasan yang cermat.
“Kita harus mendekati masalah ini dengan sangat jelas. Narasi mengenai perbudakan Belanda di Indonesia belum sepenuhnya diteliti. Harus ada wacana yang jujur tentang praktik gelap ini,” Purnawan Basundoro, dekan fakultas ilmu budaya Universitas Airlangga, mengatakan kepada Post.
Sebuah kemungkinan manuver
Pidato Rutte, yang disampaikan sebelum kunjungan menteri ke Karibia, mendapat banyak kritik, baik di kalangan warga Belanda maupun mereka yang menerima permintaan maaf. Para ahli berpendapat bahwa teks tersebut sarat dengan “nuansa kolonial”, yang berasal dari kurangnya konsultasi perdana menteri dengan negara-negara Karibia. Sebaliknya, banyak warga yang skeptis bahwa permintaan maaf tersebut tulus dan menduga itu hanyalah manuver politik belaka.
Meskipun 200 juta euro (US$12.830,29) dijanjikan untuk proyek peningkatan kesadaran dan tambahan 27 juta euro dialokasikan untuk museum perbudakan, para ahli sepakat bahwa penolakan Rutte untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan bekas koloni menunjukkan bahwa dia menghindari membahas kemungkinan perbaikan.
Pemerintah Indonesia – Dewan Perwakilan Rakyat dan Kementerian Luar Negeri – juga memandang pidato Rutte terutama untuk agenda politik dalam negerinya, kata perwakilan Komisi I TB Hasanuddin pada hari Rabu.
Sebelumnya, Belanda dua kali meminta maaf kepada Indonesia, satu kali atas kebrutalan sistemik yang menimpa militer Belanda pasca kemerdekaan Indonesia, dan satu lagi atas rasisme. Jakarta tidak menanggapi permintaan maaf tersebut karena tidak ada pernyataan yang merupakan komunikasi diplomatik resmi, kata TB Hassanudin.