Persidangan dimulai dengan skandal terbesar dalam sejarah kepolisian Indonesia

18 Oktober 2022

JAKARTA – Seiring dengan dimulainya persidangan pembunuhan besar-besaran terhadap jenderal polisi Ferdy Sambo, seruan untuk melakukan tindakan drastis untuk mereformasi Kepolisian Nasional semakin meningkat di tengah serangkaian kontroversi yang menyebabkan krisis kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum.

Mantan Kepala Badan Urusan Dalam Negeri (Propam) Polri itu diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin atas pembunuhan ajudannya sendiri, Brigjen. Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang kematiannya pada bulan Juli awalnya tampaknya akibat baku tembak.

Dalam dakwaan yang dibacakan di persidangan, Jaksa Sugeng Hariadi mendakwa Ferdy menembakkan peluru ke bagian belakang kepala Yosua untuk memastikan dirinya tewas, sementara korban menggeliat kesakitan usai ditembak kaki tangannya.

Pengacara Ferdy menolak mengatakan bagaimana kliennya akan mengajukan permohonan, namun pekan lalu bersikeras bahwa Ferdy memerintahkan Yosua diserang dan tidak ditembak, lapor Reuters.

Kasus ini disebut-sebut oleh para pengamat sebagai salah satu skandal terbesar dalam sejarah kepolisian, dan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada hari Jumat menyebut kasus ini sebagai alasan mengapa masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap kepolisian.

“Saat kejadian ‘FS’ terjadi, semuanya memburuk dan (kepercayaan masyarakat terhadap polisi) turun ke titik terendah. Sebelumnya paling tinggi dibandingkan aparat penegak hukum lainnya,” kata Jokowi kepada ratusan petinggi kepolisian di Istana Negara, Jumat, dalam video yang dirilis sehari kemudian di kanal Youtube Sekretariat Presiden.

Presiden merujuk pada jajak pendapat publik Indikator Politik Indonesia yang menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi turun dari 80,2 persen pada survei November 2021 menjadi hanya 54,4 persen pada jajak pendapat Agustus.

Namun, ingatan keras Jokowi dibayangi oleh penangkapan jenderal bintang dua lainnya, Inspektur Jenderal, pada hari Jumat. Umum Teddy Minahasa, atas tuduhan terkait kasus narkoba.

Beberapa hari sebelumnya, Teddy ditunjuk untuk mengambil alih tampuk Polda Jatim, setelah pendahulunya Irjen. Jenderal Nico Afinta diturunkan jabatannya pasca tragedi Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur.

Polisi dituduh melanggar larangan badan sepak bola dunia FIFA mengenai penggunaan gas air mata di dalam stadion, serta menggunakan kekuatan berlebihan dalam pengendalian massa. Panel pencari fakta yang dipimpin negara menyimpulkan pada hari Jumat bahwa penggunaan gas air mata menyebabkan penyerbuan mematikan yang merenggut nyawa sedikitnya 132 penggemar sepak bola.

Kontroversi ini, ditambah dengan pemberitaan di media sosial mengenai gaya hidup mewah yang dinikmati oleh banyak petugas polisi, telah meningkatkan seruan untuk melakukan reformasi.

“Reformasi kepolisian merupakan salah satu agenda terpenting Era Reformasi, pasca jatuhnya Orde Baru (1998),” kata Bambang Rukminto dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) di Jakarta, Senin. Namun, dalam 20 tahun terakhir, semangat reformasi tersebut belum terwujud.

Lemahnya pengawasan internal polisi dan kurangnya akuntabilitas menjadi penyebab utama terjadinya serangkaian insiden baru-baru ini, kata Bambang, seraya menegaskan peran Ferdy sebagai mantan Kepala Propam.

Ini adalah saat yang menentukan bagi Kapolri Jenderal. Listyo Sigit Prabowo, lanjutnya, sebagai Kapolri harus mengambil alih dan melakukan reformasi agar tidak berisiko kehilangan jabatan.

“(Listyo) harus tegas dan tidak bisa hanya mengandalkan masukan dari anak buahnya. Faktanya, (kasus-kasus baru-baru ini) adalah produk dari kegagalan sistem yang terakumulasi selama bertahun-tahun,” kata analis keamanan tersebut kepada The Jakarta Post.

Prioritasnya adalah memperkuat peran pengawasan eksternal kepolisian, khususnya melalui Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), yang membawahi polisi namun bertanggung jawab kepada Presiden. Bambang mengatakan Kompolnas harus lebih banyak memasukkan anggota sipil dan mengurangi jumlah anggota polisi di antara komisionernya.

Secara terpisah, Poengky Indarti, seorang komisaris sipil Kompolnas, mengatakan badan ad hoc tersebut mendukung seruan “reformasi budaya” di tubuh Polri.

Ia juga mendesak Divisi Propam Polri untuk lebih proaktif dalam membasmi pelanggaran dan melakukan lebih banyak pemeriksaan etik dan bahkan tindakan hukuman jika diperlukan.

Kompolnas mendorong pimpinan dan seluruh anggota Polri untuk mengobarkan kembali semangat reformasi, katanya kepada Post, Senin.

“Kami akan terus melakukan pengawasan terhadap kepolisian dan mengajak seluruh masyarakat untuk membantu kami menjalankan tugas ini.”

By gacor88