7 Juni 2023
DHAKA – Krisis Rohingya masih meninggalkan jejak penderitaan dan ketidakadilan yang sangat tragis. Sebagai kelompok minoritas yang teraniaya, masyarakat Rohingya telah mengalami penindasan, pengungsian dan kekerasan selama puluhan tahun, meninggalkan bekas luka yang tak terhapuskan pada kemanusiaan. Perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan dan repatriasi telah dirusak oleh hambatan-hambatan, janji-janji palsu dan manuver politik, yang memperpanjang penderitaan mereka dan menghalangi solusi terhadap krisis kemanusiaan ini.
Masyarakat Rohingya, yang telah menghadapi diskriminasi dan penganiayaan sistemik di Myanmar selama beberapa dekade, tidak diberi hak asasi manusia dan menjadi sasaran kampanye propaganda yang mencap mereka sebagai orang asing dan berpotensi menjadi ancaman terhadap stabilitas negara. Konstitusi tahun 1982 mencabut kewarganegaraan mereka dan menjadikan mereka tidak memiliki kewarganegaraan, yang secara efektif menghapus identitas mereka dan menolak akses terhadap pendidikan, pekerjaan dan kebebasan bergerak.
Meskipun ada seruan internasional untuk memulangkan dan memulihkan hak-hak mereka, pemerintah Myanmar tidak menunjukkan komitmen yang tulus untuk menyelesaikan krisis ini. Sebaliknya, mereka terlibat dalam proses repatriasi yang menipu dan dirancang untuk menghindari pengawasan internasional dan memenuhi tuntutan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Pembangunan gedung-gedung pemerintah dan pemukiman di tanah Rohingya, serta penghancuran desa-desa mereka, semakin mengungkap motif tersembunyi dan kurangnya ketulusan pemerintah.
Meskipun ada seruan internasional untuk memulangkan dan memulihkan hak-hak mereka, pemerintah Myanmar tidak menunjukkan komitmen yang tulus untuk menyelesaikan krisis ini. Sebaliknya, mereka terlibat dalam proses repatriasi yang menipu dan dirancang untuk menghindari pengawasan internasional dan memenuhi tuntutan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Junta militer Myanmar memainkan peran sentral dalam melanggengkan penderitaan masyarakat Rohingya. Kampanye kekerasan brutal mereka pada tahun 2017, yang ditandai dengan pembunuhan massal, pemerkosaan dan pembakaran, menyebabkan ratusan ribu warga Rohingya mengungsi ke negara tetangga Bangladesh. Kehadiran militer yang terus berlanjut di Negara Bagian Rakhine dan penolakan mereka untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi warga Rohingya melemahkan prospek proses repatriasi yang berarti.
Keterlibatan Tiongkok dalam proses repatriasi telah menimbulkan kecurigaan dan kekhawatiran di kalangan penduduk Rohingya. Tiongkok, yang terkenal dengan kebijakan kontroversialnya terhadap minoritas Muslim Uighur, secara konsisten menggunakan hak vetonya untuk mencegah resolusi internasional mengenai krisis pengungsi Rohingya. Hal ini memicu spekulasi bahwa keterlibatan Tiongkok dalam proses repatriasi didorong oleh motivasi politik, bukan kepedulian yang tulus terhadap kesejahteraan masyarakat Rohingya.
Kurangnya kepercayaan dan keamanan di wilayah Arakan, tempat pengungsi Rohingya berpotensi dipulangkan, menambah kompleksitas krisis ini. Wilayah tersebut saat ini berada di bawah kendali Tentara Arakan (AA), sebuah kelompok bersenjata yang ingin mendirikan negara Rakhine. Penentangan AA terhadap pengakuan etnis Rohingya sebagai sebuah kelompok etnis dan perlakuan buruk yang mereka lakukan terhadap penduduk Rohingya telah menciptakan lingkungan ketakutan dan ketidakamanan. Masyarakat Rohingya terjebak di antara kebijakan represif yang dilakukan oleh AA dan junta militer Myanmar, sehingga mereka menghadapi pembatasan terhadap kebebasan bergerak, penghidupan, dan bahkan identitas mereka.
Keterlibatan AA dalam perdagangan narkoba memperburuk penderitaan komunitas Rohingya. Dipaksa menjadi kuli angkut dan dikenakan hukuman jika tidak mematuhinya, warga Rohingya terjebak dalam siklus eksploitasi dan pelecehan. Sistem perpajakan AA yang menindas semakin membebani penduduk Rohingya yang sudah miskin, sehingga membuat kehidupan sehari-hari mereka semakin menantang.
Meskipun beberapa orang berharap bahwa mengikuti peraturan AA dapat mengarah pada Arakan yang lebih inklusif dan toleran, sentimen yang ada secara keseluruhan masih berupa ketakutan dan skeptisisme. Pengabaian AA terhadap identitas etnis Rohingya dan perlakuan buruk mereka terhadap masyarakat melemahkan prospek hidup berdampingan secara damai.
Mengingat tantangan-tantangan tersebut, jelas bahwa proses repatriasi penuh dengan hambatan dan ketidakpastian. Karena trauma akibat penganiayaan selama beberapa dekade, masyarakat Rohingya khawatir bahwa kembali ke Myanmar dalam kondisi seperti ini akan membuat mereka mengalami kekerasan dan penindasan lebih lanjut. Komunitas internasional harus memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Rohingya, dan memastikan bahwa setiap upaya repatriasi disertai dengan jaminan hak, keamanan, dan keadilan mereka.
San Thai Shin adalah seorang pengungsi Rohingya di Bangladesh yang merupakan peneliti berbasis komunitas dan jurnalis lepas.