23 September 2022
JAKARTA – Pada akhir bulan Juli, Majelis Umum PBB merayakan diadopsinya sebuah “resolusi bersejarah” setelah lebih dari satu dekade penyusunannya. Hal ini didukung oleh 161 negara – termasuk Indonesia – dengan delapan abstain dan tidak ada yang menentang.
Dokumen “landmark” tersebut, sebagaimana dicanangkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres, menyatakan bahwa hidup dalam lingkungan yang bersih dan sehat adalah “hak asasi manusia universal”. Pertemuan ini meminta negara-negara anggota dan dunia usaha untuk mengatasi perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
“Komunitas internasional telah memberikan pengakuan universal terhadap hak ini dan membawa kita lebih dekat untuk mewujudkannya menjadi kenyataan bagi semua orang,” kata Gutteres.
Saat menandatangani resolusi tersebut, Indonesia mengakui bahwa mereka mempunyai “kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memajukan hak asasi manusia, termasuk dalam semua tindakan yang dilakukan untuk mengatasi tantangan lingkungan hidup”.
Negara ini juga sepakat bahwa perubahan iklim telah memberikan dampak yang tidak proporsional terhadap kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak dan penyandang disabilitas.
Namun hampir tiga bulan kemudian, dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh Ocean Justice Initiative (IOJI), sebuah wadah pemikir dan kelompok advokasi, para ahli memberikan peringatan.
Meskipun mereka memuji penerimaan Indonesia terhadap resolusi tersebut, mereka juga menyatakan bahwa para pembuat undang-undang masih harus memahami prinsip-prinsip resolusi tersebut.
“Keputusan ini merupakan sebuah prestasi. Masalahnya ada pada penerjemahannya (dalam undang-undang). Seringkali (resolusi) hilang dalam terjemahan,” kata Todung Mulya Lubis, salah satu pendiri IOJI dan utusan Indonesia untuk Norwegia dan Islandia, Selasa.
“Resolusi tersebut tidak mengikat, artinya akibat hukumnya hanya dapat terjadi setelah resolusi tersebut diubah menjadi undang-undang nasional. (…) Tapi ini bukan hanya tantangan bagi Indonesia, ini adalah pertanyaan bagi semua negara di semua benua.”
Sama tua, sama tua?
Meskipun resolusi tersebut dianggap “bersejarah” dalam melestarikan iklim perkawinan dengan hak asasi manusia, konsep tersebut bukanlah hal baru di Indonesia, kata Mas Achmad Santosa, salah satu pendiri IOJI.
Ia mencatat bahwa negara tersebut menguraikan konsep serupa dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup tahun 1982.
Undang-undang tersebut mengakui bahwa “setiap orang berhak atas lingkungan yang sehat dan berkualitas”, katanya, seraya menambahkan bahwa konservasi lingkungan adalah cara praktis untuk “melestarikan kehidupan dan kesejahteraan manusia”.
“Resolusi ini tidak hanya tidak mengikat, tapi juga bukan hal baru. Itu sudah menjadi bagian dari undang-undang kami sejak tahun 1982,” kata Mas Achmad seraya menekankan bahwa pengakuan hukum atas sebuah konsep saja tidak cukup untuk mempraktekkannya.
Todung mengatakan krisis energi akibat invasi Rusia ke Ukraina semakin mengancam tujuan iklim global.
Di Norwegia, tambang batu bara yang sudah lama ditutup telah dibuka kembali sebagai respons terhadap krisis ini, katanya, seraya menambahkan bahwa beberapa negara Skandinavia telah mengakui bahwa mereka tidak mungkin dapat mencapai tujuan netralitas karbon pada tahun 2050.
Indonesia mengklaim bahwa mereka berupaya tidak hanya untuk menjadi netral karbon, namun juga menjadi penyerap karbon pada tahun 2030.
“Melihat pandemi ini dan sekarang di Ukraina, saya harus mengatakan dengan jujur bahwa saya khawatir dengan tujuan kami. Saya kira tidak ada jaminan bahwa kita akan menjangkau mereka. Ini akan menjadi sangat sulit,” katanya.
Meskipun terdapat ketidakpastian dalam kebijakan iklim Indonesia, Todung mengatakan, resolusi baru ini mempunyai beberapa manfaat. Misalnya, laporan ini memberikan referensi terkini untuk kasus-kasus di masa depan yang melibatkan lingkungan hidup dan akan menjadi acuan dalam gugatan kelompok (class action).
“Meski tidak menjadi undang-undang dalam negeri, namun dapat menjadi acuan bahwa lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah hak universal. Apalagi mengingat sudah disepakati banyak negara, kuat secara moral,” kata Todung.
“Sama sekali tidak ada dasar bagi negara mana pun untuk memutuskan (menentang) deklarasi tersebut.”
Kelompok yang beranggotakan 20 orang Sherpa Dian Triansyah Djani mengatakan pada hari Kamis bahwa masalah lingkungan hidup “menjadi fokus” negara-negara anggota kelompok tersebut di bawah kepemimpinan Indonesia.
Pada pertemuan para menteri lingkungan hidup dan iklim G20, kata Dian, para delegasi menyusun dokumen hasil mengenai topik-topik yang melibatkan iklim.
“Banyak menteri lain yang datang menghadiri pertemuan itu karena, sejujurnya, masalah ini ada di pikiran kami,” ujarnya.
Namun, para delegasi pertemuan tidak dapat mengeluarkan komunikasi bersama yang diharapkan karena kurangnya konsensus.