14 Desember 2022
JAKARTA – Sejak Bank Indonesia (BI) mengumumkan niatnya untuk menciptakan mata uang digital bank sentral (CBDC) pada bulan Juli, semua orang telah menyatakan kekhawatirannya mengenai risiko otoritas moneter menjadi pesaing layanan dompet digital. Pekan lalu, bank sentral akhirnya menerbitkan buku putih tentang bagaimana mereka akan menerapkan rupiah digital baru, serta mengatasi kekhawatiran dari dunia usaha dan konsumen.
Dalam white paper tersebut, BI menyatakan akan beroperasi dengan prinsip “do no damage” artinya tidak ingin mengganggu ekosistem uang elektronik yang ada saat ini. Untuk mencapai hal tersebut, mereka akan membuat dua kategori rupiah digital, yaitu rupiah digital grosir (w-Digital) dan rupiah digital ritel (r-Digital). Rencananya konsumen hanya bisa mengakses r-Digital rupiah, namun r-Digital harus dikonversi dari w-Digital yang hanya bisa diterbitkan BI kepada lembaga keuangan yang disetujui. Sistem tersegmentasi ini dimaksudkan untuk meniru sistem moneter konvensional sehingga meminimalkan dampak peluncuran rupiah digital.
Namun, buku putih CBDC masih belum membahas masalah yang ada di dalam ruangan. Terakhir, rupiah digital terus memperkenalkan sistem pembayaran baru di pasar. Uang elektrik yang saat ini sudah beredar di layanan gateway seperti GoPay, OVO dan Link Aja dikecualikan menjadi rupiah digital, karena r-Digital rupiah harus dikonversi dari w-Digital.
Saat ini, sudah ada tingkat kesulitan bagi konsumen untuk mengubah uang di dompet digital menjadi uang tunai, dan rupiah digital hanya akan menambah kendala lainnya. Meskipun tingkat literasi digital di Indonesia tinggi, namun literasi keuangan masyarakat Indonesia masih tergolong kurang. Tingkat inklusi keuangan yang tinggi dapat ditemukan di kota-kota besar, namun kota-kota kecil dan pedesaan masih sering bertransaksi dengan uang tunai.
Gubernur BI Perry Warjiyo berpendapat manfaat penerapan rupiah digital akan lebih besar dibandingkan kendala penerapannya. Pertama, integrasi rupee digital dengan infrastruktur BI FAST dan QRIS akan secara efektif mengurangi biaya transaksi hingga nol. Kedua, rupiah digital terhubung dengan web3 yang memudahkan pembelian aset digital seperti metaverse atau cryptocurrency tertentu. Terakhir, teknologi buku besar terdistribusi (DLT) yang digunakan oleh CBDC menjamin keamanan mutlak dalam bertransaksi.
Di sisi lain, manfaat rupiah digital juga dianggap merugikan kondisi keuangan saat ini. Biaya transfer 0 berarti bank akan kehilangan pendapatan yang biasanya diperoleh dari biaya transfer. Demikian pula, integrasi dengan web3 berarti bahwa pembelian metaverse digital atau aset kripto tidak lagi menimbulkan biaya konversi apa pun bagi penyedia layanan. Namun, salah satu permasalahan yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana sebenarnya rupiah digital dapat menjamin keamanan finansial.
Menerbitkan w-Digital dan mengkonversi ke r-Digital rupiah menggunakan DLT berarti akan ada buku besar seluruh transaksi yang dicatat oleh setiap perangkat yang terhubung ke jaringan. Artinya, BI akan mencatat setiap transaksi rupiah digital tanpa kecuali. Di satu sisi, ia memiliki keuntungan karena dapat dengan mudah menggagalkan skema pencucian uang atau pendanaan tindakan ilegal seperti terorisme. Namun di sisi lain, hal tersebut merupakan pelanggaran privasi yang ekstrim baik bagi konsumen maupun perantara keuangan yang mentransfer atau mengkonversi rupiah digital. Selain menemukan dana ilegal dan tidak diketahui, buku besar baru ini dapat digunakan untuk mengungkap rahasia dagang bisnis penting yang biasanya secara hukum dikecualikan dari laporan keuangan.
Apalagi
BI mengakui manfaat penggunaan uang elektronik, namun mereka juga berpendapat bahwa tingkat adopsi yang sangat tinggi berpotensi mengganggu transmisi kebijakan moneter. Kasus ini terjadi dalam waktu singkat di Tiongkok, di mana layanan seperti Alipay dan WeChat Pay tumbuh cukup besar sehingga berada di luar jangkauan kendali moneter.
Keputusan penerbitan CBDC terkait dengan tingginya tingkat adopsi uang elektronik di Indonesia pasca pandemi COVID-19. Oleh karena itu, BI perlu memperkenalkan alat yang akan memulihkan kedaulatan kebijakan moneter di era digital. Di sinilah peran rupiah digital.
Tahap pertama pengenalan CBDC akan mencakup penerbitan w-Digital Rupiah. Bergantung pada bagaimana fase pertama ini berkembang, BI akan menyesuaikan rencana mereka mengenai bagaimana rupiah digital akan digunakan sebagai alat kebijakan moneter pada fase kedua. Tahap ketiga dan terakhir adalah BI akan mengesahkan konversi w-Digital menjadi r-Digital rupiah dalam pengujian terbatas.
Transaksi uang elektronik triwulanan di Indonesia
Apa yang kami dengar
Beberapa sumber pemerintah menyebutkan Bank Indonesia dihadapkan pada dilema dalam mengembangkan rupiah digital. Di satu sisi, bank sentral tidak ingin kehilangan momentum dengan pengembangan sistem pembayaran berbasis digital melalui kehadiran mata uang digitalnya. Hal ini juga sejalan dengan misi bank sentral untuk menjadi pengendali utama sistem pembayaran di Indonesia.
Di sisi lain, Bank Indonesia menyadari perkembangan rupiah digital tidaklah mudah terutama dari aspek keamanan data dan rendahnya literasi keuangan masyarakat, belum lagi belum meratanya infrastruktur internet yang membuat akses masyarakat terhadap pembayaran digital tidak dapat dilakukan. hanya menjadi diterapkan di kota-kota besar.
Sumber internal bank sentral mengatakan tantangan lain datang dari industri perbankan itu sendiri. Pihaknya tidak ingin sistem pembayaran digital dan layanan transaksi pembayaran dikuasai sepenuhnya oleh bank sentral. Pelaku industri perbankan juga diduga mencoba melemahkan penciptaan mata uang digital bank sentral (CBDC). Mereka khawatir CBDC akan menurunkan perbankan komersial yang selama ini mendapat fee-based income melimpah dari layanan transaksi. Hal ini terutama terjadi pada bank-bank besar yang memiliki infrastruktur sistem pembayaran yang kuat dan jaringan yang luas. Didukung oleh teknologi, kehadiran mereka melemahkan peran bank sentral.
Hingga saat ini, bank-bank besar memiliki kemewahan karena mampu membayar suku bunga rendah kepada para deposannya. Dengan memanfaatkan infrastruktur perbankan, nasabah dimanjakan dengan kemudahan berbisnis, mulai dari pembayaran transaksi bisnis, sistem payroll hingga pengiriman uang. “Bank seperti ini akan kehilangan bisnis dan fee based income jika ada CBDC yang terpercaya,” kata sumber tersebut. Kehadiran CBDC mungkin akan memaksa bank untuk kembali ke bisnis perbankan yang paling mendasar, yakni memberikan kredit dan menerima simpanan. Sumber tersebut menambahkan, kehadiran CBDC juga dapat mengurangi dominasi segelintir bank atau start-up yang menguasai sistem pembayaran di suatu negara.
Kekhawatiran lainnya adalah dengan penerapan CBDC di Indonesia, kepemilikan uang akan menjadi lebih transparan dan tidak ada lagi yang bisa disembunyikan. Bagi masyarakat yang tidak ingin asal usul kekayaannya diketahui, CBDC bisa jadi menjadi masalah. “Pengusaha penipu dan konglomerat kulit hitam, mereka tidak ingin kekayaan mereka yang tidak diketahui diketahui orang,” kata sumber itu. Sebab asal usul dan jumlah harta akan berimplikasi pada pembayaran pajak yang harus ditransfer kepada negara.
Penafian
Konten ini disediakan oleh Tenggara Strategics bekerja sama dengan The Jakarta Post untuk menyajikan analisis terkini yang komprehensif dan andal mengenai lanskap politik dan bisnis Indonesia. Akses edisi terbaru kami untuk membaca artikel di bawah ini:
Politik
1. Seberapa kuatkah Jokowi dalam menentukan hasil pemilu tahun 2024?
2. ‘Star Wars’ mengungkap korupsi yang mengakar di tubuh kepolisian
3.UU IKN harus direvisi agar harapan ibu kota baru tetap hidup
4. KIB semakin dekat untuk mempertimbangkan kandidat eksternal untuk tahun 2024
Bisnis dan ekonomi
1.Dwi Soetjipto mengangkat kembali Ketua SKK Migas di tengah berkurangnya produksi minyak
2.GoTo menargetkan pencatatan global pada paruh pertama tahun 2023
3. Kegelisahan seputar kenaikan harga minyak karena G7 dan Australia membatasi harga minyak Rusia