20 Oktober 2022
JAKARTA – RUU omnibus yang diselesaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bulan lalu tampaknya akan membawa perubahan besar terhadap sekitar 15 undang-undang di sektor keuangan.
Rancangan Undang-Undang Pembangunan dan Penguatan Sektor Keuangan (FPSK) yang masih menunggu pembahasan formal dengan pemerintah ini mencakup aturan baru di bidang perbankan, asuransi, Komite Stabilitas Sistem Keuangan, fintech, perdagangan karbon, rupiah digital, dan masih banyak lagi.
“Suatu negara bisa mencapai kemajuan yang signifikan jika sektor keuangannya kuat. Sektor keuangan adalah tulang punggung sekaligus urat nadi perekonomian,” Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kepada hadirin pada sebuah acara pada tanggal 10 Oktober, menggarisbawahi pentingnya RUU tersebut.
RUU tersebut telah dibahas di DPR sejak tahun 2020. Muncul pada saat pandemi virus corona telah menimbulkan kekhawatiran luas terhadap stabilitas ekonomi, hal ini didukung oleh pemerintah sebagai cara untuk memperkuat industri keuangan dalam negeri dan melindungi mereka dari krisis di masa depan.
Di bawah ini adalah beberapa ketentuan penting dari RUU tersebut.
Monetisasi Hutang
Pasal 7 pada bagian perubahan UU Bank Indonesia (BI) memperluas tujuan bank sentral melampaui lingkup stabilitas sistem keuangan dengan memasukkan mandat untuk “mendukung pertumbuhan ekonomi.” Dalam undang-undang saat ini, tujuannya hanyalah untuk menstabilkan rupiah.
Pasal 39A pada bagian Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan memperluas kewenangan BI untuk membeli obligasi pemerintah di pasar perdana dengan skema pembagian beban.
Mekanisme ini diterapkan untuk membiayai defisit akibat respons negara terhadap COVID-19 yang mahal dan seharusnya berakhir pada tahun 2022.
Dana Moneter Internasional (IMF) telah merekomendasikan agar bank sentral membatasi pembelian obligasi langsung, memperingatkan bahwa praktik yang berkepanjangan dapat menyebabkan melemahnya neraca yang dapat mempengaruhi kemampuan bank untuk memenuhi peran yang diamanatkan dan mengikis kepercayaan terhadap bank sebagai akibat dari tekanan untuk melakukan pembelian obligasi. tujuan pemerintah. .
Anggota Komisi XI Andreas Eddy Susetyo, yang juga duduk di panitia kerja RUU tersebut, membela pasal tersebut, dengan alasan bahwa pasal tersebut diperlukan jika terjadi krisis di masa depan dan berjanji bahwa pasal tersebut tidak akan disalahgunakan.
Pegangan politik
RUU ini memperkenalkan badan pengawas bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (DIC). Lima anggota di masing-masing badan akan dipilih oleh anggota parlemen dan oleh karena itu akan bertindak sebagai perpanjangan tangan mereka untuk mengawasi badan-badan tersebut. Saat ini, badan pengawas tersebut hanya ada di BI berdasarkan UU tahun 2004.
Apalagi, RUU tersebut mengalihkan kewenangan pemilihan pimpinan OJK dan LPS sepenuhnya ke DPR, sedangkan proses penjaringan dan penjaringan calon saat ini melibatkan pemerintah dan BI.
RUU ini juga mencabut larangan bagi pimpinan partai politik untuk ikut serta dalam pencalonan posisi di LPS, yang tampaknya merupakan revisi terhadap undang-undang BI tahun 2004 yang mencabut larangan serupa untuk posisi bank sentral.
Andreas dari Komisi XI mengatakan, pasal tersebut tidak akan membahayakan kerja lembaga, namun akan sangat membantu legislator dalam melakukan pengawasan. Ia juga mempertanyakan perlunya membedakan antara anggota partai politik dan kandidat lain, yang menyiratkan bahwa keanggotaan partai seharusnya tidak menjadi masalah.
Otoritas yang lebih kuat, aturan operasional yang lebih ketat
RUU tersebut membagi pengawasan OJK terhadap industri non-perbankan menjadi dua bagian, yaitu terhadap perusahaan asuransi dan dana pensiun, serta terhadap lembaga keuangan, fintech, modal ventura, dan koperasi.
LPS akan diberi mandat untuk menjamin dana dari pemegang polis asuransi, namun dengan pengecualian produk unit link, yang merupakan dua pertiga dari seluruh produk asuransi jiwa.
RUU tersebut mensyaratkan bank yang ingin melakukan merger atau akuisisi harus mendapat persetujuan dari OJK dan LPS, bukan seperti yang saat ini dilakukan oleh BI dan Kementerian Keuangan.
Peraturan perbankan baru lainnya mewajibkan pemberi pinjaman untuk menyesuaikan suku bunga mereka setiap kali BI mengubah tingkat repo terbalik 7 hari dan untuk memastikan bahwa usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) menyumbang setidaknya 20 persen dari portofolio pinjaman mereka.
RUU tersebut memperketat regulasi terhadap agen asuransi dengan menempatkan mereka di bawah pengawasan OJK dan menambahkan aturan untuk mencegah penyalahgunaan dan menegakkan transparansi dalam produk asuransi.
RUU ini memberi OJK mandat untuk memantau konglomerasi usaha yang bergerak di bidang jasa keuangan untuk mendeteksi risiko sistem keuangan.
BI tetap bungkam mengenai RUU tersebut, sementara OJK menyatakan akan mempelajari perubahan tersebut dan memberikan masukan kepada DPR bersama pemerintah.
Aturan fintech
RUU tersebut memberikan dasar hukum bagi operasional perusahaan teknologi keuangan, yang saat ini diatur berdasarkan peraturan OJK di tingkat yang lebih rendah.
Misalnya, pinjaman peer-to-peer (P2P) ditempatkan di bawah bagian lembaga keuangan, kelompok yang sama dengan perusahaan multifinance, sementara perbankan digital dan teknologi asuransi akan ditempatkan di bawah perbankan dan asuransi yang belum direvisi. hukum. masing-masing, di mana mereka harus mematuhi aturan yang lebih ketat.
Pandu Sjahrir, ketua Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), mengatakan kepada The Jakarta Post pada tanggal 10 Oktober bahwa ia mendukung RUU tersebut, dan menambahkan bahwa RUU tersebut akan memberikan kerangka hukum bagi industri untuk memperkuat reputasinya.
Perusahaan modal ventura juga memiliki bab tersendiri dalam RUU tersebut, yang mencakup jenis investasi yang dapat mereka berikan, sumber dana, serta apa yang harus mereka lakukan ketika mengalami kesulitan keuangan.
Rupiah digital dan cryptocurrency
RUU tersebut mengatur penggunaan rupiah digital sebagai mata uang sah di Indonesia selain uang logam dan uang kertas dengan merevisi Pasal 2 Undang-Undang Moneter tahun 2011. Pasal 14A pada pasal yang sama membuka jalan bagi BI untuk menerbitkan rupee digital.
Pasal 202 RUU tersebut mengakui aktivitas aset kripto sebagai bagian dari inovasi fintech dan mengamanatkan agar aktivitas tersebut diatur dengan diawasi dan diatur oleh BI dan OJK.
Pasal 23 sampai 26 memberikan dasar hukum bagi pasar karbon, termasuk pertukaran karbon untuk melakukan perdagangan.