1 Juni 2022
JAKARTA – Sungguh menggembirakan melihat bagaimana Indonesia bergerak untuk melonggarkan pembatasan kewarganegaraan ganda, meskipun kita harus menunggu dan melihat seberapa jauh dan seberapa cepat hal ini akan terjadi.
DPR sedang menyusun rancangan undang-undang yang memperbolehkan diaspora Indonesia memiliki kewarganegaraan ganda, sementara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sedang mempertimbangkan untuk memperluas hak kewarganegaraan ganda kepada anak-anak dari perkawinan campuran, satu-satunya kelompok yang memiliki kewarganegaraan ganda. hak istimewa, dari 21 tahun saat ini, hingga 30 tahun, ketika mereka harus memutuskan satu kewarganegaraan.
Keduanya mengakomodasi realitas meningkatnya jumlah warga Indonesia yang beremigrasi dan memperoleh kewarganegaraan di negara lain, serta semakin banyaknya warga Indonesia yang menikah dengan warga asing. Bagi kelompok pertama, kewarganegaraan ganda akan memungkinkan mereka untuk mendedikasikan pengabdiannya pada negaranya sendiri bahkan setelah mengadopsi kewarganegaraan baru. Bagi kelompok kedua, mereka akan mendapat kemewahan mengabdikan hidup dan jasanya pada kedua negara orang tuanya.
Karena tren orang Indonesia yang beremigrasi atau menikah dengan orang asing akan terus berlanjut, mengapa harus mengambil tindakan setengah hati untuk mengizinkan kewarganegaraan ganda. Mengapa tidak melakukan upaya semaksimal mungkin dan menerapkan pembatasan sesedikit mungkin agar kedua kelompok ini dapat memiliki dua paspor? Apa sebenarnya yang harus kita hilangkan?
Argumen keamanan yang menentang kewarganegaraan ganda tidak lagi dapat diandalkan karena meningkatnya kekuatan pengawasan pemerintah, berkat teknologi informasi. Penyalahgunaan pasti akan terdeteksi dengan mudah dan cepat.
Argumen tandingan kedua yang paling sering dikutip, yaitu loyalitas yang terpecah, juga patut dipertanyakan. Jika Anda lahir dari orang tua Indonesia, Anda adalah orang Indonesia berdarah daging. Ikatan emosional tersebut tidak dapat dengan mudah dihapus, bahkan setelah berganti kewarganegaraan.
Argumen mengenai loyalitas yang terpecah ini digunakan dalam pengesahan undang-undang yang mengakhiri hak kewarganegaraan ganda bagi etnis Tionghoa di Indonesia pada tahun 1958. Namun keadaan telah berubah saat ini sehingga argumen tersebut tidak lagi valid.
Manfaat dari diperbolehkannya kewarganegaraan ganda bagi kelompok masyarakat tertentu, khususnya diaspora Indonesia dan anak-anak dari perkawinan campuran, jauh lebih besar dibandingkan risikonya, yang seperti telah kami jelaskan, dapat dikelola.
Arcandra Tahar adalah salah satu contoh bagaimana peraturan ketat di Indonesia yang melarang kewarganegaraan ganda hampir membuat dia kehilangan jasanya. Ia dipanggil kembali oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo dari pekerjaannya yang nyaman di industri minyak di Texas untuk bertugas di kabinet pada tahun 2019, namun hampir hilang ketika ia diketahui memiliki kewarganegaraan Indonesia dan Amerika. Ia akhirnya menyerahkan paspor AS-nya untuk menjabat Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Orient P. Riwu Kore tidak seberuntung itu. Ia memenangkan pemilu untuk Kabupaten Sabu Raijua di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2020, namun dibatalkan karena ia terlihat memiliki paspor Amerika, dan melanggar hukum. Kita tidak akan pernah tahu apakah itu kerugiannya atau kerugian kita.
Namun dua episode ini menunjukkan masih banyak masyarakat Indonesia maupun eks Indonesia di luar sana yang memiliki potensi untuk mengabdi pada tanah air dan berkontribusi dalam pembangunan. Mereka juga akan melakukannya, jika diberi kesempatan. Undang-undang yang memperbolehkan kewarganegaraan ganda akan sangat membantu dalam memanfaatkan potensi ini.