1 November 2022
JAKARTA – Para ahli, aktivis dan peneliti memperingatkan bahwa tren kebijakan mengenai pakaian dan aturan wajib berhijab yang sedang berlangsung di Indonesia adalah “berbahaya” dan berpotensi mematikan, seiring protes atas kematian Mahsa Amini menyebar ke universitas-universitas di seluruh Iran pada akhir pekan.
Mereka menyerukan pelestarian demokrasi dan gerakan feminis sebagai cara untuk memperkuat hak-hak dan keselamatan perempuan setelah merenungkan kematian Amini, seorang perempuan berusia 22 tahun yang meninggal tak lama setelah dieksekusi oleh polisi moral Iran yang ditangkap karena “tindakan tidak pantas”. ” memakai jilbab.
Kematian Amini memicu salah satu protes terbesar di Iran dalam setidaknya 13 tahun, dengan ribuan orang melakukan unjuk rasa menentang pemerintah Teheran. Ketika polisi menindak protes, ratusan orang telah terbunuh dalam beberapa minggu terakhir.
Indonesia perlu memperhatikan isu kebijakan pakaian agama yang bisa menimbulkan pertumpahan darah dan berpotensi mengancam suatu rezim, kata para ahli dalam webinar pada hari Kamis. Mereka berargumentasi bahwa ada banyak kesamaan yang dapat ditarik antara insiden di Iran dan tren sosial yang semakin menindas – salah satunya diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan yang tidak berkerudung – di Indonesia.
“Meskipun kasus (Amini) tidak terjadi di Indonesia, kita tidak hidup di dunia yang terisolasi. Semuanya saling berhubungan, apalagi mengingat kedua negara mayoritas beragama Islam,” kata penulis feminis Julia Suryakusuma.
Neng Dara Afifah, seorang dosen di Universitas Nahdlatul Ulama dan memproklamirkan diri sebagai “feminis Muslim”, menjelaskan bahwa mahasiswa Indonesia mulai mengenakan jilbab dalam jumlah yang lebih besar sejak tahun 90an karena kegembiraan atas gerakan intelektual Islam baru yang dimulai oleh Revolusi 1979 di Iran. .
Namun, beberapa dekade kemudian, unsur intelektual dalam mengenakan hijab tampaknya menghilang, kata Neng Dara, seiring dengan mandat negara atau institusi yang mulai menggunakan hijab sebagai alat penyeragaman dan bukan sebagai pilihan pribadi perempuan.
Hanya melalui demokrasi yang kuat dan gerakan feminis yang aktif, perempuan Indonesia dapat mempertahankan diri dari tren yang menindas ini, menurut pakar tersebut.
“Demokrasi harus dibayar mahal. Di Indonesia, tempat kita berhasil mengesahkan Undang-Undang Kekerasan Seksual, ada alasan untuk merayakannya. (…) Namun yang terpenting di sini adalah perjuangan gerakan perempuan kita,” ujarnya.
Meskipun demokrasi bisa mengalami pasang surut, namun gerakan dan organisasi perempuan lah yang memberikan rasa lega dan aman, katanya. Di Daerah Istimewa Aceh, misalnya, dimana undang-undang digunakan untuk membenarkan kebijakan lemari pakaian yang sebagian besar menargetkan perempuan, gerakan feminis yang berkembang telah memberikan ruang yang aman untuk melampiaskan rasa frustrasi dan mendorong pemberdayaan, tambah Neng Dara.
Mekanisme seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tidak bisa dianggap remeh, tegas pakar tersebut, seraya menekankan bahwa mekanisme demokrasi seperti itu bisa menjadi elemen yang dibutuhkan untuk mencegah Indonesia terjerumus ke dalam situasi seperti Iran.
Sekolah pemikiran
Maziyar Parvizi, seorang aktivis hak asasi manusia Persia yang tinggal di pengasingan di Indonesia, menggemakan pernyataan Neng Dara, dengan mengatakan bahwa “walaupun (kasus Amini) bisa terjadi di mana saja, Iran dirugikan karena tidak memiliki alat untuk perlindungan sipil”. . Inti masalahnya dimulai di sekolah dalam kasus Teheran, kata Parvizi, di mana gagasan patriarki kental diterapkan pada anak-anak berusia 5 tahun.
“Siswa diajarkan bahwa laki-laki adalah kepala keluarga, dan perempuan harus mematuhi figur laki-laki tersebut. (…) Tidak ada lagi pemisahan antara agama dan negara. Saya menyesal harus mengatakan bahwa saya melihat beberapa kesamaan di Indonesia,” kata Parvizi.
Sebuah penelitian yang dilakukan HRW pada tahun 2021 mencatat bahwa di 24 provinsi mayoritas Muslim di Indonesia, “mayoritas” dari 300.000 sekolah negeri memerintahkan siswi Muslim mereka untuk mengenakan jilbab.
Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat 32 kabupaten dan provinsi menerapkan aturan yang sama pada institusi sipil dan tempat umum.
Bahkan dalam kasus di mana aturan-aturan ini tidak ditegakkan melalui jalur hukum, tekanan de facto yang dihadapi perempuan cukup berat hingga menyebabkan kematian, kata peneliti HRW Andreas Harsono.
“Kami telah mengamati kasus-kasus intimidasi terhadap perempuan dan anak perempuan tanpa jilbab di ruang publik. (…) Tekanan akibat mandat yang dipaksakan telah menyebabkan berbagai penyakit mental dan upaya bunuh diri,” ujarnya.
Di sekolah, terdapat pula kewajiban mengenakan jilbab yang bersifat menghukum, seperti kasus siswi yang seragamnya dirusak dengan spidol atau rambut mereka dipotong paksa sebagai hukuman karena tidak “berpakaian sesuai”, kata Andreas. Dia menambahkan, aturan ini juga diterapkan pada siswa non-Muslim.
Jika ada pelajaran lain yang bisa diambil oleh negara mayoritas Muslim dari kasus Iran, sikap apatis dalam menghadapi penindasan hanya akan mengarah pada kekerasan dan kematian banyak orang, Parvizi memperingatkan.
“Ketidakpedulian seharusnya tidak menjadi respons di sini. Saya ingin mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk memperhatikannya,” tegasnya.