13 Juni 2023
JAKARTA – Presiden Joko “Jokowi” Widodo tidak diragukan lagi adalah pemimpin Jawa yang unggul. Dia bisa menjadi kejam dalam permainan kekuasaannya, tetapi dia tidak pernah menjadi orang yang suka berkonfrontasi dan jarang mengungkapkan permusuhannya terhadap musuh-musuhnya.
Sikap seperti itu merupakan hal yang lumrah dalam budaya politik Jawa. Tidak jarang para pemimpin Jawa berbicara secara sindiran dan menyampaikan pemikiran mereka dalam ambiguitas yang kotor. Oleh karena itu sulit untuk memahami sifat konflik diam-diam antara Presiden Jokowi dan ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri.
Keduanya dikabarkan berselisih soal persoalan suksesi saat Jokowi mengakhiri masa jabatannya pada Oktober 2024. Bagi Megawati, jawabannya jelas: Ia mengabulkan pencalonan Ganjar Pranowo dari Jawa Tengah. Sebagai anggota PDI-P, Jokowi harus mengikuti garis partai.
Namun politik tidak selalu linier. Boleh jadi, Jokowi tak pernah mempertanyakan seruan Megawati tersebut. Ia bahkan menghadiri konferensi pers pengumuman pencalonan Ganjar sebagai bentuk dukungan terhadap keputusan partai tersebut. Namun, Presiden juga memberikan sinyal bahwa dirinya belum sepenuhnya puas dengan pilihan tersebut.
Menurut orang-orang dekat Jokowi, termasuk para elit kelompok “relawan” militannya, presiden tersinggung karena tidak dilibatkan dalam keseluruhan proses pencalonan Ganjar. Dia bahkan diberitahu tentang kejadian tersebut pada menit-menit terakhir.
Namun masalah terbesar dari keputusan Megawati yang mengejutkan ini adalah bahwa hal tersebut secara praktis mempersulit upaya Jokowi untuk menciptakan aliansi “tenda besar” untuk mengalahkan kandidat yang ia yakini akan menghancurkan warisannya, mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan.
Jokowi disebut-sebut lebih menyukai mantan rivalnya yang kini menjabat Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, untuk dicalonkan sebagai presiden dengan Ganjar sebagai pasangannya, sehingga membuka jalan bagi aliansi yang bersatu dalam pemilu mendatang. Namun, PDI-P, partai penguasa terbesar di Indonesia, sepertinya tidak akan mempertimbangkan skenario tersebut.
Jadi sulit untuk mengabaikan ketegangan yang terjadi antara kedua tokoh politik tersebut saat mereka bersaing untuk menjadi raja sejati yang akan menentukan pemilu tahun 2024.
Kedua pemimpin tersebut telah menepis anggapan bahwa hubungan mereka saat ini sedang tegang, dan Megawati mengatakan bahwa dia tidak memiliki kekuatan untuk menekan Jokowi. Namun saat mengklarifikasi rumor tersebut, ibu pemimpin PDI-P ini lebih terkesan menggurui dibandingkan mengakui kehebatan politik Jokowi. “Bagaimana saya bisa menekan (Jokowi)? Dia Pak Jokowi bisa ngamuk. Anda bisa melihat pasukannya berlimpah. Begini, saya tidak punya banyak pasukan,” katanya kepada wartawan di sela-sela rapat kerja partai pekan lalu.
Untuk menunjukkan dukungannya kepada Ganjar dan kesetiaannya kepada Megawati, Jokowi memuji calon presiden dari partai tersebut, dengan menyebutnya “berani”. “Bagi pemimpin masa depan seperti Pak Ganjar Pranowo, kualitas nomor satu adalah keberaniannya. Keberanian nomor satu dan saya lihat Pak Ganjar punya kualitas itu,” kata Jokowi.
Pilihan kata-katanya itulah yang memicu spekulasi apakah Jokowi benar-benar bersungguh-sungguh. Pengikut Jokowi yang mendukung Prabowo kerap mempertanyakan kemampuan Ganjar untuk melawan Megawati, seperti yang dilakukan Jokowi selama masa kepresidenannya. Di media sosial, pendukung Prabowo menyerang Ganjar sebagai “pejabat partai” dan “presiden boneka”.
Pada titik ini, semuanya hanyalah dugaan. PDI-P belum memutuskan calon wakil presiden Ganjar, dan pengurus partai Puan Maharani menyebutkan hampir semua tokoh yang memenuhi syarat, mulai dari Ketua Partai Golkar Airlangga Hartarto hingga ketua Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai calon potensial. Singkatnya, bisa siapa saja.
Meski begitu, kita tidak bisa mengesampingkan anggapan bahwa perebutan kekuasaan antara Jokowi dan Megawati semakin mempersulit pencarian penggantinya. Meskipun dinamika elit selalu menjadi bagian dari politik, kita tidak boleh membiarkan konflik elit menghambat proses demokrasi dalam menemukan pemimpin nasional berikutnya.
Pemilih tentu perlu mengetahui siapa saja yang akan ikut dalam pemungutan suara dalam waktu dekat. Mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempertimbangkan kandidat dan mengambil keputusan pada hari pemilu.