14 Agustus 2023
JAKARTA – Dengan hanya tersisa 14 bulan dari masa jabatan lima tahunnya, Dewan Perwakilan Rakyat tampaknya tidak akan mampu mencapai target legislatifnya, dengan para pengkritik menyoroti sesi-sesi yang tidak produktif, pembahasan yang tidak jelas, dan tindakan berlebihan yang brutal yang semakin menjadi hal yang lumrah.
Pada paruh pertama sesi tahun ini, hanya dua item legislatif yang disahkan menjadi undang-undang oleh anggota DPR saat ini: RUU landas kontinen pada bulan April dan RUU omnibus kesehatan pada bulan Juli.
Jumlah tersebut jauh di bawah 19 item dalam daftar prioritas DPR, yang ingin diselesaikan oleh anggota parlemen dan pemerintah pada akhir tahun ini.
DPR saat ini, yang terpilih pada tahun 2019, sejauh ini baru mengesahkan 20 dari 259 RUU yang diusulkan dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2020-2024.
Jika lambatnya langkah ini terus berlanjut, kecil kemungkinan DPR akan dapat meloloskan sisa rancangan undang-undang pada akhir tahun 2023, menurut pengawas legislatif Indonesia Parliament Watch (Formappi).
“Kurangnya pasal-pasal perundang-undangan yang disahkan menjadi undang-undang menunjukkan kinerja DPR yang kurang optimal; selalu bombastis dalam perencanaannya namun seringkali tidak mencapai target,” kata Direktur Eksekutif Formappi I Made Leo Wiratma dalam jumpa pers langsung, Kamis.
Segalanya menjadi lebih buruk dengan pemilihan umum tahun depan. “Anggota legislatif yang ingin dipilih kembali kemungkinan besar akan terikat dengan kampanye,” tambah Made.
Kepentingan siapa?
Meskipun terdapat lusinan RUU prioritas yang masih dalam proses, anggota parlemen baru-baru ini mengalihkan fokus mereka ke RUU lain, seperti merevisi UU Kotapraja. Amandemen tersebut tidak masuk dalam daftar prioritas DPR, namun mendapat persetujuan bulat dari badan legislatif.
Para ahli menduga ada motif politik di balik usulan revisi tersebut. Setelah disetujui, undang-undang yang direvisi ini akan memberikan lebih banyak dana kepada kepala kota dan masa jabatan yang lebih lama, yang dapat menguntungkan para politisi yang mencalonkan diri dalam pemilihan umum dan daerah tahun depan.
Kepala desa, yang berjumlah hampir 75.000 orang, dipandang sebagai alat politik yang dapat digunakan politisi untuk mempengaruhi pemilih yang tinggal di daerah pedesaan.
“Perundang-undangan kita sangat ditentukan oleh apakah RUU tersebut sesuai dengan kepentingan pembuat undang-undang, bukan kepentingan publik,” kata peneliti Formappi, Lucius Karus.
Dia mencontohkan pembahasan RUU perampasan aset. Sampai saat ini, DPR belum mulai membahas RUU tersebut, yang berupaya mengatur pengayaan ilegal, bahkan setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengirimkan surat presiden pada bulan Mei yang meminta agar RUU tersebut dibahas.
RUU Aset telah menjadi agenda selama hampir satu dekade setelah dikeluarkan dari daftar prioritas DPR pada tahun 2012.
“Jelas, (RUU tersebut) bukanlah kabar baik bagi anggota parlemen kami, yang beberapa di antaranya memiliki latar belakang wirausaha dan mungkin menimbun aset ilegal,” kata Lucius.
Pembicaraan rahasia
Meski mendapat kritik, DPR terus mempercepat pembahasan namun gagal melibatkan masyarakat secara berarti.
Formappi mencatat, setidaknya ada 28 rapat tertutup dari 152 rapat yang digelar pada masa sidang kelima DPR ini, yang berlangsung pada 16 Mei hingga 13 Juli.
Pertemuan-pertemuan tersebut seringkali melibatkan undang-undang yang kontroversial, seperti perubahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Mahkamah Konstitusi. Kedua undang-undang tersebut menjadi sorotan karena kemungkinan kontroversi.
Para aktivis menyerukan transparansi yang lebih besar dalam pembahasan pengujian UU ITE, khususnya terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan pencemaran nama baik, pencabulan, dan ujaran kebencian di dunia maya. Ketentuan seperti ini sering digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat dan mengkriminalisasi kritikus dan jurnalis pemerintah.
Sementara itu, pengujian UU Mahkamah Konstitusi mendapat sorotan karena bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung untuk mengevaluasi masing-masing dari tiga hakim yang mereka tunjuk setiap lima tahun atau kapan pun diperlukan. Evaluasi tersebut dapat dilakukan tanpa menentukan mekanisme yang jelas mengenai cara peninjauan kembali terhadap hakim.
Uji coba UU Mahkamah Konstitusi diajukan ketika DPR mencopot Hakim Aswanto, anggota DPR yang ditunjuk, pada September 2022, jauh sebelum masa jabatannya berakhir pada 2019. DPR menyebutkan “kinerja yang mengecewakan” dan kegagalan mewakili kepentingan DPR di pengadilan.
Aswanto adalah bagian dari lima hakim mayoritas yang memutuskan Undang-Undang Cipta Kerja, inti kontroversial dari agenda reformasi ambisius Jokowi, yang “tidak konstitusional secara kondisional”.
“DPR semakin arogan,” kata Lucius. “DPR telah melakukan tindakan berlebihan yang brutal yang semakin melemahkan lembaga-lembaga pemerintah lainnya dan gagal meningkatkan kinerjanya sendiri.