26 Juni 2023
JAKARTA – Tidak ada yang bertahan selamanya, dan dunia korporat tidak terkecuali. Kehilangan mitra dalam usaha bisnis bukanlah akhir. Banyak perusahaan muncul dari pelanggaran.
Pertanyaannya adalah bagaimana menyatukan potongan-potongan itu dan bangkit kembali.
Koki dan pemilik restoran steak Afit Dwi Purwanto adalah salah satu dari sekelompok kecil orang yang membuka diri tentang kehancuran bisnis mereka, yang dialaminya bersama rekan bisnisnya Wynda Mardio pada tahun 2012.
Pasca perpecahan, Afit mengubah logo dan membuat resep baru yang disembunyikannya dari mantan mitra bisnisnya. Namanya kini muncul di logo baru Holycow, dengan tagline “Steakhouse by Chef Afit”.
Sedangkan Wynda memiliki Holycow Steak Hotel, brand yang sudah ada sebelum perpecahan.
Perubahan tersebut bertujuan untuk membedakan bisnis Afit dengan bisnis Wynda.
“Kami memilih untuk mengekspos perpecahan kemitraan ini untuk memberi tahu pelanggan kami tentang perbedaan ini. Jadi akhirnya saya ubah (merek) untuk meningkatkan nilainya (dengan sentuhan pribadi saya),” kata Afit Jakarta Post dalam wawancara telepon pada 17 Juni.
Kegagalan dalam bisnis itu sendiri tidak pernah menjadi berita baik, kata Afit, tetapi apa yang terjadi sejak saat itu sepenuhnya tergantung pada pemiliknya: “Kejadian ini memang tidak menyenangkan, tetapi tergantung bagaimana kita menanganinya.”
Kesepakatan itu penting
Kasus Holycow jauh dari satu-satunya divisi bisnis. Usaha ayam goreng Suharti berkembang pesat sejak dia berpisah.
Suharti dan suaminya, Bambang Sachlan Pratohardjo, membuka restoran ayam mereka di Jakarta pada tahun 1972, sebelum membuka lebih banyak restoran di ibu kota dan berekspansi ke Bandung dan Bali. Laju laporan majalah.
Namun, setelah Suharti dan suaminya bercerai pada 1991, Bambang mengambil alih bisnis keluarga yang masih menggunakan nama mantan istrinya itu sebagai pemilik terdaftar.
Baru kemudian Suharti membuat brand sendiri, dengan logo baru. Sedangkan Bambang sekarang Ny. Ayam Goreng Suharti berjalan, Suharti menjalankan Ayam Goreng Suharti yang terdengar mirip.
Malvin Hariyanto, seorang praktisi hukum yang berbasis di Malang, mengatakan pemilik usaha harus memberikan perhatian khusus pada detail perjanjian distribusi.
Kadang-kadang kedua mitra dapat menjaga “identitas” mereka dari bisnis mereka sebelumnya, tetapi sering kali diperlukan seorang mediator untuk menangani perbedaan pendapat di antara para pemegang saham, jelas Malvin.
“Misalnya, menurut pengalaman saya, ada satu kasus di mana salah satu pihak dalam cerita grosir yang dimiliki bersama tidak menghormati kesepakatan untuk membeli barang dari pemasok tertentu. Pihak itu wajib membayar Rp 1 miliar (US$67.000) kepada rekanannya,” kata Malvin, yang bekerja di kantor hukum William & Malvin.
Dia menambahkan bahwa perselisihan itu tidak harus mengarah pada putusnya kemitraan karena ada cara lain untuk menyelesaikan situasi seperti itu.
Logo serupa
Giovanni Christy, seorang praktisi hukum di Robin Sulaiman & Partners yang berbasis di Jakarta, mencatat pentingnya menyepakati hak kekayaan intelektual.
“Misalnya, di sebuah restoran, sebenarnya ada merek dagang yang terdaftar, tetapi kemudian ada juga semacam perjanjian koeksistensi merek dagang,” katanya, seraya menambahkan bahwa ini dapat mencegah masalah yang terkait dengan nama yang mirip setelah kemitraan dibubarkan.
“Hak kekayaan intelektual itu perlu, seperti dalam hal (menentukan siapa) yang berhak menerima keuntungan, misalnya jika seseorang ingin mewaralabakan merek tertentu,” kata Giovanni.
“Kalau tidak, orang akan bingung pihak mana (mendapat untung) jika ada dua pendiri.”
Menurut UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek Dagang dan Indikasi Geografis hak eksklusif diberikan kepada pemilik merek terdaftar untuk penggunaan pribadi. Pemilik merek dagang dapat mengizinkan orang lain untuk menggunakan merek dagang mereka.
Merek dagang terdiri dari gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, dan kombinasi warna. Merek tersedia dalam format 2D, 3D, holografik, dan audio. Merek dagang dapat didaftarkan jika berbeda dengan merek terdaftar yang sudah ada. Perlindungan merek dagang berlangsung selama 10 tahun, tetapi pemilik memiliki opsi untuk memperpanjang perlindungan.
“Pemilik usaha dapat dengan mudah mengajukan perjanjian koeksistensi. Tidak seperti di AS, Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus tentang perjanjian tersebut, tetapi pemilik bisnis dapat mencapai penyelesaian. Koeksistensi juga dapat dicapai dengan persetujuan pria.”
Dia lebih lanjut menjelaskan bahwa pendaftaran tidak dijamin karena pemeriksa merek di Indonesia menilai aplikasi secara subyektif, tanpa peraturan yang pasti.
Pelanggan saya, pelanggan Anda
Wynda harus Pos pada tanggal 16 Juni bahwa salah satu hal terpenting dalam rebranding adalah fokus pada pelanggan, karena kemampuan merek untuk bertahan bergantung pada kedalaman hubungan pemilik dengan audiens target.
Misalnya, meskipun Holycow Steak Hotel memiliki nama yang lebih besar dari satu dekade yang lalu, Wynda tetap terlibat secara pribadi sebanyak mungkin, mulai dari membuat menu baru hingga proses pemasaran.
Dia menambahkan bahwa dia telah memposisikan restorannya secara berbeda hari ini dari satu dekade lalu, tepatnya untuk mempertahankan pelanggan yang sama. “Pelanggan kami sekarang sudah berkeluarga, sehingga mereka membutuhkan tempat yang lebih nyaman dari sebelumnya, ketika restoran masih a paddock (rumah makan sederhana).
“Karena pelanggan kita bertambah, kita sebagai brand juga harus bertambah. Kita tidak bisa hanya duduk (dan berkata) ‘di sini tidak apa-apa’,” kata Wynda, menjelaskan aspek kunci dari rebranding.
Septyan Pratama, brand designer yang berbasis di Bandung, mengatakan perusahaan bisa berhasil melakukan rebranding jika sudah mengetahui target audiensnya.
“Memutus bisnis bisa menjadi pedang bermata dua. Anda mungkin mendapatkan peluang baru. Perusahaan yang gagal melakukan rebranding biasanya mengalami FOMO (takut ketinggalan) dan tidak memahami target pasarnya,” ujar pria berusia 28 tahun ini.
Jadikan itu milik Anda sendiri
Afit mengambil kesempatan untuk membuat mereknya lebih personal setelah perpecahan dengan menambahkan namanya. Dia mengatakan dia juga mengizinkan pelanggannya untuk memilih logo baru.
“Jadi waktu itu saya berpikir bagaimana membedakan (merek saya) dengan yang lain, supaya orang tahu,” kata Afit.
Apa yang dilakukan Afit mirip dengan rebranding Suharti. Meski Suharti telah menjalankan bisnisnya selama puluhan tahun, dia tidak memiliki hak suara. Suharti kemudian mendapatkan kepercayaan diri untuk mendesain ulang dan mempersonalisasikan logo tersebut, bahkan menggunakan foto dirinya untuk membuat identitas rantai ayam gorengnya yang sekarang terkenal pada Oktober 1991, seperti dilansir dari Cakupan 6.
Septyan menjelaskan bahwa personalisasi semacam itu dapat membantu mengamankan koneksi dengan pelanggan yang jika tidak akan dikompromikan oleh perpecahan tersebut. “Personalisasi menciptakan sentuhan baru, jadi kesan boleh berbeda, tapi jiwa tetap ada,” kata Septyan.
Wynda berpendapat bahwa rebranding bukanlah suatu keharusan dalam pelanggaran bisnis, tetapi harus diputuskan berdasarkan kasus per kasus.
“Kalau kita rebranding saja tanpa tujuan yang jelas, itu cukup sulit. Kita harus menentukan tujuannya apa, kemudian kita harus melakukan riset pasar,” pungkas Wynda.