14 Oktober 2022
JAKARTA – Salah satu tantangan besar yang dihadapi negara ini adalah penerapan hukum yang adil. Sayangnya, masyarakat kerap menemui ketidakadilan, seperti hukuman ringan bagi narapidana korupsi atau pelaku kejahatan kekerasan, seperti yang tergambar dalam kasus HAM di Papua.
Ketika negara ini semakin dekat dengan tahun pemilu 2024, skeptisisme terhadap penegakan hukum terus berlanjut. Manuver elite cenderung tidak lepas dari intrik politik. Pada saat yang sama, diketahui juga bahwa pemerintah mengalami kesulitan menyelesaikan kekejaman di masa lalu di tengah kekhawatiran bahwa perhatian baru akan mengganggu keharmonisan politik.
Dalam konteks ini, setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo menunjuk beberapa pemangku kepentingan utama untuk menyelesaikan tragedi Stadion Kanjuruhan 1 Oktober di Malang, Jawa Timur, secara adil dan transparan, upaya penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa fatal tersebut. ketegangan.
Tak heran, publik skeptis terhadap komitmen pemerintah dalam menegakkan keadilan dalam kasus yang menewaskan 131 orang akibat terinjak-injak usai pertandingan antara Arema FC dan rival beratnya, Persebaya Surabaya.
Dalam tragedi tersebut, interaksi antara masyarakat dan aparat keamanan cenderung diametris. Sebelum penyidikan diluncurkan, masyarakat langsung melihat polisi sebagai pelakunya. Hal ini menunjukkan ketidakpercayaan yang berlebihan terhadap aparat keamanan.
Keterlibatan antara pejabat keamanan dan masyarakat sangat penting untuk penyelidikan yang adil. Namun, tidak demikian halnya dengan kejadian Kanjuruhan.
Bahkan ketika polisi menetapkan enam tersangka, masyarakat, terutama warganet, menilai upaya penegakan hukum belum cukup untuk mengatasi akar permasalahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyelidikan menyeluruh, antara lain terhadap beberapa suporter Arema yang menyerbu lapangan dan diduga menjadi pemicu insiden tersebut.
Di tengah pesimisme masyarakat terhadap penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM, peristiwa Kanjuruhan memberikan peluang bagi aparat keamanan dan pemerintah untuk menunjukkan komitmennya terhadap penegakan hukum dan HAM. Memastikan penegakan hukum menyiratkan bahwa aparat keamanan pada akhirnya merupakan upaya kolektif.
Dengan mempelajari gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat, masyarakat menjadi semakin sadar akan permasalahan serius dalam kepolisian di Amerika Serikat, termasuk hubungan antara sistem yang ada saat ini dan patroli budak di masa lalu. Dalam kasus George Floyd, akhirnya muncul aksi kolektif antara aparat kepolisian dan masyarakat untuk bekerja sama membangun pasukan keamanan yang lebih adil sekaligus mengedepankan penegakan hukum yang adil.
Dalam kasus Kanjuruhan, aksi kolektif publik ini dapat diartikan sebagai proses rekonsiliasi antara masyarakat dan aparat keamanan. Tindakan kolektif juga dapat berfungsi sebagai tindakan korektif dimana masyarakat memainkan peran yang menentukan dalam menyelesaikan masalah melalui hubungan dengan aparat keamanan.
Tindakan kolektif akan membantu pihak-pihak terkait untuk menyadari masalah-masalah ini, memahaminya dan mengakuinya dalam perspektif yang “seimbang”, sehingga mencegah saling menyalahkan dan malah mendorong upaya untuk mencapai solusi yang bersahabat dan tidak memihak.
Pasca tragedi Malang, berbagai elemen masyarakat mulai dari penggemar klub sepak bola hingga pelajar menggagas aksi kolektif untuk menunjukkan solidaritas dan rasa iba terhadap korban peristiwa tersebut melalui doa massal.
Hal ini dapat menjadi titik awal untuk membangun keterlibatan antara masyarakat dan pejabat keamanan. Petugas keamanan harus mengambil “makna simbolis” dari tindakan publik sebagai strategi keterlibatan untuk rekonsiliasi.
Solidaritas kolektif setidaknya menghasilkan dua bentuk kesadaran.
Yang pertama adalah kesadaran moral. Peristiwa tersebut menjadi titik balik bagi para pecinta sepak bola menuju masa dewasa yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di atas fanatisme buta. Di Yogyakarta misalnya, suporter Persis Solo berkumpul dengan suporter klub rivalnya untuk salat berjamaah di Stadion Mandala Krida. Sebagai wujud solidaritas dan kasih sayang, mereka sepakat untuk mengakhiri permusuhan.
Berbagai aksi solidaritas tidak bisa dimaknai sebagai bentuk kasih sayang belaka. Terlebih lagi, masyarakat ikut menyerukan keadilan bagi para korban tragedi Kanjuruhan.
Kedua, gerakan solidaritas membangkitkan kesadaran hukum, karena pemahaman moral saja tidak cukup. Masyarakat tahu bahwa penegakan hukum sangat penting untuk menjaga keadilan. Terkait hal itu, suporter Arema FC berjanji akan memperjuangkan hak para korban. Kita bisa mengharapkan mereka membantu tim pencari fakta demi keadilan.
Kesadaran hukum ini memunculkan seruan untuk melakukan penyelidikan menyeluruh. Ungkapan tersebut tak hanya mewakili kemarahan masyarakat, namun juga menunjukkan harapan agar penegak hukum bisa menyelesaikan kasus tersebut tanpa ragu.
Mendapatkan kepercayaan masyarakat merupakan suatu keharusan bagi aparat keamanan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Oleh karena itu, permintaan maaf polisi kepada masyarakat korban tragedi Kanjuruhan pada acara salat berjamaah baru-baru ini merupakan langkah yang tepat, meski ada yang bereaksi sinis terhadap inisiatif tersebut.
Dari upaya membangun keterlibatan dan kepercayaan masyarakat, kita bisa yakin bahwa hukum akan diterapkan secara adil. Selain itu, keterlibatan ini dapat mendorong terciptanya pejabat keamanan yang lebih transparan dan akuntabel.
Kesimpulannya, berbagai pola perilaku masyarakat dalam menyikapi tragedi Kanjuruhan menunjukkan bahwa kekuasaan rakyat tetap ada dan tidak bisa diabaikan. Kesadaran kolektif masyarakat akan memunculkan berbagai respons dengan tujuan utama memastikan penegakan hukum dan keadilan terlaksana dengan baik.
Prinsip persamaan di depan hukum harus tetap dipertahankan. Seperti yang ditunjukkan oleh mimpi buruk Kanjuruhan, munculnya nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan pencarian keadilan, semuanya dibangun di atas kesadaran dan keterlibatan masyarakat yang lebih luas.