Tingkat residivisme yang tinggi mengancam strategi pemberantasan terorisme

16 Desember 2022

JAKARTA – Serangan teroris terbaru di Bandung pada tanggal 7 Desember patut menimbulkan kekhawatiran setidaknya karena dua alasan. Bukan hanya itu bom bunuh diri ke-14 yang mengguncang Tanah Air sejak bom Bali tahun 2002 yang menewaskan 202 orang. Ledakan tersebut juga menunjukkan bahwa terulangnya kembali aksi teroris masih merupakan bahaya nyata di tengah upaya Indonesia untuk memberantas terorisme dan ekstremisme kekerasan.

Dalam serangan baru-baru ini, seorang teroris berulang, yang diidentifikasi sebagai Agus Sujatno, alias Abu Muslim, meledakkan dirinya di kantor polisi Astana Anyar di ibu kota provinsi Jawa Barat. Serangan tersebut juga merenggut nyawa seorang petugas polisi dan melukai 11 orang lainnya.

Agus, yang berafiliasi dengan kelompok pendukung ISIS Jama’ah Ansharut Daulah (JAD), berulang kali menjadi pelaku teroris. Dia juga dihukum karena perannya dalam aksi teroris di Bandung pada tahun 2017, dan dibebaskan dari penjara empat tahun kemudian.

Tingkat residivisme teroris di Indonesia cukup tinggi. Antara tahun 2002 dan 2020, setidaknya 94 mantan narapidana teroris kembali melakukan terorisme. Jumlah mereka mencapai 11,39 persen dari tahanan teroris yang dibebaskan pada periode tersebut.

Sebaliknya, angka kekambuhan di Eropa hanya berkisar antara 2 dan 7 persen. Hal ini mungkin disebabkan oleh, misalnya, koordinasi yang efektif antara berbagai lembaga pemerintah yang dilaksanakan melalui Multi-Agency Public Protection Arrangements (MAPPA) di Inggris. Dalam skema ini, polisi dan petugas layanan penjara di Inggris dan Wales bekerja sama dengan lembaga lain untuk mencegah dan mengatasi masalah yang timbul dari rencana atau tindakan berbahaya yang dilakukan oleh pelaku berulang kekerasan atau seksual yang tinggal di masyarakat, termasuk pelaku berulang teroris.

Banyak mantan teroris di Eropa juga menolak ideologi jihad karena mereka terputus dari konteks ideologi dan sosial yang mereka alami akibat hukuman penjara yang lama.

Indonesia menghadapi tingkat residivisme yang lebih tinggi di kalangan jihadis karena permasalahan di negara ini lebih kompleks. Banyak mantan narapidana teroris di Indonesia yang terus terpapar ideologi jihad berbahaya setelah dibebaskan dari penjara. Hal ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.

Faktor internal mengacu pada dilema mental yang dihadapi para terpidana teroris setelah mendapatkan kembali kebebasannya. Banyak dari mereka yang masih merasa berhutang budi kepada jaringan teroris setelah menjalani kehidupan setelah dipenjara, karena jaringan teroris menyokong keluarga mereka secara emosional dan finansial selama mereka berada di penjara. Rasa berhutang budi ini memaksa mereka untuk bergabung kembali dengan jaringan tersebut.

Mereka juga menahan diri untuk tidak mengikuti program deradikalisasi dan pelepasan diri yang disponsori pemerintah karena takut jika mereka melakukannya, mereka akan dicap kafir (murtad) atau anggota thaghut (siapa pun yang menyembah tuhan/dewa) oleh rekan-rekan jihadisnya. diberi label. selain Allah). Kegagalan mereka untuk mengikuti program ini berkontribusi pada tingginya tingkat residivisme di kalangan terpidana teroris.

Faktor eksternal adalah lingkungan luar yang memudahkan terpidana teroris untuk mengulangi kegiatan terorisnya. Akses Internet yang terjangkau dan mudah menyebabkan banyak mantan teroris menjadi aktif di media sosial, dan akses ini menghidupkan kembali atau melanggengkan paparan mereka terhadap narasi-narasi jihadis yang tidak menguntungkan, terutama mereka yang mendukung bom bunuh diri.

Seperti yang terlihat di akun Telegram pro-ISIS, mantan narapidana teroris bersorak atas tindakan bunuh diri Agus. Dia tiba-tiba dijuluki Al-Faruq oleh rekan-rekan jihadisnya, sebuah kata dalam bahasa Arab yang berarti orang yang pandai membedakan, yang berarti dia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pendukung lainnya mengatakan bahwa kematian Agus merupakan kemenangan atas murtaddin (orang-orang yang memutuskan hubungan dengan jaringan jihad atau meninggalkan perjuangan jihad).

Mantan narapidana teroris ini selanjutnya menulis: “Saat ini banyak mantan narapidana teroris yang menjadi murtad setelah keluar dari penjara. Mereka adalah zindiq (sesat), mata-mata, syahwat (nafsu), banci (pengecut, secara harafiah cissies) dan pro thaghut.” Dukungan terhadap gerakan jihad seperti ini mendorong mantan narapidana teroris untuk melanjutkan kampanye teror mereka.

Faktor eksternal lainnya termasuk kurangnya pendanaan pemerintah dan kurangnya mekanisme hukum yang dapat memaksa terpidana teroris untuk berpartisipasi dalam program deradikalisasi yang dianggap penting untuk mengurangi residivisme di kalangan mantan narapidana teroris.

Pemerintah juga kekurangan dana dan sumber daya untuk memantau peningkatan jumlah tahanan teroris. Di Jawa Tengah, misalnya, pemerintah yang kekurangan dana hanya berhasil menugaskan 10 orang untuk memantau sekitar 200 mantan tahanan teroris.

Parahnya, program deradikalisasi tidak bersifat wajib karena bukan merupakan bagian integral dari sistem pemasyarakatan di Indonesia, sehingga aparat hukum dan keamanan tidak bisa memaksa mantan narapidana teroris untuk ikut serta. Agus merupakan salah satu mantan narapidana teroris yang menolak mengikuti program tersebut.

Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah menerapkan strategi deradikalisasi dan disengagement untuk mengatasi tingginya angka residivisme, yang masing-masing bertujuan untuk memoderasi pandangan ideologi teroris dan melepaskan diri dari jaringan teroris. Namun strategi tersebut tidak efektif.

Dalam jurnal Governabilitas (2021), Minardi berpendapat bahwa kurangnya koordinasi antara BNPT dan otoritas penjara di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyebabkan tidak efektifnya program deradikalisasi. Otoritas penjara enggan mengikuti prinsip dan metode BNPT dalam mempromosikan narapidana teroris karena mereka mempunyai argumentasi, metode dan prinsip tersendiri yang telah diterapkan selama bertahun-tahun untuk mempromosikan narapidana, termasuk narapidana teroris. Ego sektoral seperti ini hanya melemahkan program deradikalisasi.

Memantau dan mempromosikan mantan tahanan teroris ke kehidupan setelah penjara adalah upaya yang lebih kompleks. Mantan narapidana teroris adalah makhluk sosial. Banyak dari mereka adalah ayah, laki-laki dan oleh karena itu mereka berada di bawah tekanan untuk tampil. Mereka dengan mudah kembali ke jaringan lama mereka, yang dulunya menghidupi keluarga mereka.

Segala tantangan yang dihadapi para eks napiter teroris tidak dapat ditangani oleh satu lembaga pemerintah saja, melainkan upaya bersama yang melibatkan organisasi pemerintah dan non-pemerintah lainnya seperti pekerja sosial dan organisasi kemasyarakatan. Berbagai pemangku kepentingan akan menyukseskan strategi deradikalisasi dan pelepasan diri.

***

Prakoso Permono adalah kandidat PhD di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). A’an Suryana adalah dosen tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, dan dosen ilmu politik di UIII.

SGP Prize

By gacor88