Untuk mengendalikan inflasi Indonesia guna membuka jalan bagi pemulihan pertumbuhan yang lebih kuat

9 November 2022

JAKARTA – Rilis data ekonomi Indonesia terbaru pada minggu ini meningkatkan harapan akan pemulihan berkelanjutan dan kinerja yang kuat pada kuartal terakhir tahun 2022. Meskipun laju kuartalan lebih lambat dibandingkan kuartal kedua tahun 2022, kita harus mencatat pertumbuhan sebesar 5,72 persen bahkan setelah pemerintah menaikkan bahan bakar harga di awal September.

Kinerja yang kuat tersebut kini menghadapi tantangan terakhirnya pada kuartal terakhir tahun 2022, yang berasal dari kenaikan inflasi dan suku bunga di sisi domestik serta ketegangan tekanan geopolitik yang dapat memicu fluktuasi global lebih lanjut.

Secara keseluruhan, kami memuji upaya pemerintah dan bank sentral untuk memastikan perekonomian kita tetap berada pada wilayah ekspansif.

Secara sektoral, baik sektor perdagangan maupun sektor pengolahan masih mengalami kinerja yang relatif kuat. Sementara itu, jasa transportasi dan pergudangan tampaknya tidak terpengaruh secara signifikan oleh kenaikan harga bahan bakar pada bulan September. Secara kuartal-ke-kuartal (qtq), sektor ini tumbuh lebih lambat, namun sekali lagi angka ini masih merupakan angka yang positif.

Mungkin ada hikmahnya bagi perekonomian Indonesia menjelang kuartal terakhir tahun ini karena sektor pariwisata terus menunjukkan kinerja yang kuat. Kunjungan wisatawan asing dan tingkat hunian hotel terus meningkat pada bulan September, bahkan setelah kenaikan harga bahan bakar.

Kami memperkirakan angka-angka ini akan terus meningkat seiring dengan pelonggaran pembatasan mobilitas dan sebagai hasil dari KTT G20 pada akhir bulan ini.

Meski jumlah penumpang udara domestik turun tipis menjadi 4,1 juta penumpang pada September, namun penumpang kereta api menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,27 persen dibandingkan Agustus.

Kami yakin konsumen kelas menengah memanfaatkan keringanan pembatasan mobilitas dengan memesan tiket dan hotel.

Namun dampak kenaikan harga BBM dan inflasi terlihat dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga secara triwulanan. Meskipun konsumsi tumbuh sebesar 5,39 persen pada basis tahun ke tahun, konsumsi rumah tangga menyusut sebesar 0,3 persen dibandingkan dengan Triwulan ke-2.

Komponen yang masuk teritori negatif adalah makanan dan minuman sebesar -0,30 persen qtq serta pakaian dan alas kaki sebesar -1,44 persen qtq. Kedua komponen ini menyumbang hampir 23 persen konsumsi rumah tangga.

Orang yang mengurangi konsumsi pakaian dan sepatu, atau barang tahan lama lainnya, ketika terjadi guncangan perekonomian adalah perilaku normal. Namun, akan menarik untuk melihat secara lebih rinci apa penyebab berkurangnya pengeluaran konsumen untuk konsumsi makanan dibandingkan dengan jenis pengeluaran lainnya.

Inflasi pada bulan September sebesar 5,95 persen tahun-ke-tahun. Namun kelompok makanan dan minuman tercatat deflasi sebesar 0,30 persen. Perilaku yang tidak biasa ini mungkin disebabkan oleh perubahan prioritas konsumen akibat pandemi COVID-19 atau antisipasi awal terhadap kenaikan harga bahan bakar.

Memasuki kuartal terakhir tahun 2022, menjaga daya beli masyarakat merupakan hal yang penting.

Untuk mencapai pertumbuhan PDB sebesar 5,3 persen tahun ini, perekonomian kita harus tumbuh sebesar 5 persen pada kuartal terakhir.

Jadi, kami melihat pengendalian inflasi yang tinggi pada kuartal terakhir adalah kunci bagi pemerintah dan bank sentral untuk membuka masa pemulihan.

Seperti dikutip dari Moody’s, masyarakat dan rumah tangga di Amerika Serikat harus mengeluarkan US$445 lebih banyak per bulan untuk membeli sekeranjang barang yang sama dibandingkan tahun lalu karena inflasi melonjak menjadi 8,2 persen pada bulan September.

Untuk rumah tangga di Indonesia, pengeluaran tambahan adalah sekitar Rp 270.000 ($17,26) agar masyarakat dapat memperoleh barang yang sama seperti pada bulan September 2021.

Melihat data saat ini, hal ini terlihat masih terkendali karena Indeks Pengeluaran Mandiri menunjukkan bahwa masyarakat cenderung bersikap defensif dan mempertahankan tingkat pengeluarannya.

Selain itu, kami juga melihat fakta menarik bahwa setelah harga bahan bakar naik pada bulan September, masyarakat mulai berbelanja lebih sering, namun dengan nilai yang lebih kecil. Sekali lagi, hal ini merupakan indikasi bahwa masyarakat sebagai pelanggan kini lebih mampu beradaptasi terhadap perubahan ekonomi.

Hal lain yang harus diwaspadai adalah meningkatnya ketegangan perdagangan antara Tiongkok dan AS.

Ketika AS mulai mengendalikan ekspor chip semikonduktor ke Tiongkok atau layanan pendukung apa pun yang dapat membantu produsen Tiongkok memproduksi chip, kita dapat memperkirakan Tiongkok akan melakukan tindakan balasan.

Pada awalnya, dampaknya terhadap perekonomian kita akan minimal. Namun, hal ini akan mempengaruhi investasi di bidang manufaktur dan rantai pasokan produk-produk teknologi tinggi jika Tiongkok membalas dengan kontrol ekspor serupa untuk komponen-komponen utama dalam industri teknologi tinggi, seperti baterai litium.

*****
Penulis adalah peneliti senior di Mandiri Institute

Togel Singapura

By gacor88