7 November 2022
JAKARTA – Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan pejabat tinggi untuk tetap menjabat meskipun mereka berupaya untuk mencalonkan diri dalam pemilu merupakan kemunduran lebih lanjut bagi demokrasi di negara ini. Bukan karena putusan tersebut, yang tentu saja menguntungkan pemerintah, dan mendapat dukungan bulat dari lembaga peradilan yang dipimpin oleh seorang hakim agung yang juga merupakan saudara ipar Presiden Joko “Jokowi” Widodo, namun karena adanya kelemahan dari putusan tersebut. berdampak pada kampanye yang sangat dibanggakan untuk tata pemerintahan yang baik.
Berkat pengadilan, para menteri kabinet dan pejabat senior pemerintah lainnya tidak perlu mengundurkan diri jika mereka ingin mencalonkan diri pada pemilu tahun 2024 dan seterusnya. Mereka hanya memerlukan izin Presiden untuk mengambil cuti selama mengikuti jalur pemilu.
Presiden Jokowi mengatakan bahwa ia akan mematuhi keputusan Mahkamah Agung, namun bahkan sebelum Mahkamah Agung mengeluarkan putusannya, ia menegaskan bahwa para pejabat tinggi tidak serta merta harus mengundurkan diri sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang Pemilu 2017 pada saat itu.
Secara khusus, Pasal 170 undang-undang tersebut mengatur bahwa pejabat publik yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai untuk pemilihan presiden dan wakil presiden harus berhenti dari jabatannya.
Sejumlah menteri di kabinet Jokowi dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden pada pemilu 2024. Mereka antara lain Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Sejauh ini, baru Prabowo yang mengumumkan pencalonannya sebagai presiden.
Menteri-menteri lain, terutama yang terkait dengan partai politik, juga bisa ikut serta dalam pemilu legislatif yang digelar bersamaan dengan pemilu presiden.
Pengunduran diri wajib bagi pejabat pemerintah, militer dan polisi yang ingin mengejar karir politik melalui pemilu dirancang untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan persaingan yang bersih dan adil. Bahkan ketika mekanisme sudah berjalan, penyalahgunaan kekuasaan rupanya masih terjadi di sana-sini. Kita bisa membayangkan betapa maraknya penyalahgunaan wewenang, aset, dan fasilitas pemerintah jika kewajiban pengunduran diri tidak lagi menjadi hal yang biasa.
Sebelum era Reformasi pada tahun 1998, para menteri kabinet diperbolehkan mengikuti pemilu tanpa mengundurkan diri hanya karena mereka akan bertindak sebagai pengambil suara. Partai yang berkuasa saat itu, Golkar, memerlukan suara mayoritas untuk melegitimasi cengkeraman rezim Orde Baru di lanskap politik negara.
Ketika pemerintah menghadapi tantangan yang semakin besar akibat resesi global yang akan terjadi, para menteri kabinet yang bercita-cita menduduki jabatan publik pada tahun 2024 mungkin tidak dapat berkontribusi terhadap respons pemerintah. Mereka juga dapat mempertaruhkan banyak program Jokowi karena ia ingin meninggalkan warisan abadi setelah masa jabatannya berakhir.
Presiden Jokowi berjanji akan meninjau kembali kinerja para pembantunya yang fokusnya terbagi antara tugas publik dan ambisi politik. Daripada menunggu hingga kemungkinan seperti itu muncul, lebih baik Jokowi menghilangkan risiko tersebut dengan memecat menterinya yang ingin maju dalam pemilu 2024 atau meminta mereka mundur. Bagaimanapun, Konstitusi memberinya hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya.
Semoga saja Jokowi mengikuti kebijaksanaannya.