22 Mei 2023
JAKARTA – Saat ini, 25 tahun setelah Suharto lengser pada tanggal 21 Mei 1998, setelah terjadinya protes dan kerusuhan berskala nasional serta dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi dan politik yang menghancurkan, keadaan bangsa kita jauh lebih baik dibandingkan masa lalu. Oleh karena itu, kecil kemungkinannya masyarakat akan membiarkan rezim yang korup dan otoriter kembali berkuasa.
Terlepas dari segala ketidaksempurnaan Indonesia saat ini dan banyaknya praktik buruk yang menjadi ciri pemerintahan Suharto, kita dapat dengan bangga menyatakan bahwa kita berada di jalan yang benar menuju bangsa yang berketahanan dan sejahtera.
Antara tahun 1999 dan 2002, kami mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali untuk memastikan bahwa demokrasi berlaku dan masyarakat mempunyai hak untuk memilih secara langsung pemimpin mereka di tingkat nasional, provinsi, kota, dan kabupaten. Amandemen Konstitusi membatasi masa jabatan presiden menjadi dua periode dan memisahkan polisi dari tentara, dengan tentara bertugas di bidang keamanan dan ketertiban dan tentara bertugas di bidang pertahanan nasional.
Sesekali meme mantan presiden Soeharto yang sedang tersenyum dengan caption Apa kabarmu apa kabarmu? (Gimana, zamanku lebih baik ya?) beredar di media sosial atau bermunculan di pinggir jalan, terutama menjelang pemilu. Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa ada orang-orang yang meromantisasi, bahkan mengagung-agungkan, “masa lalu yang indah”.
Bagi saya, perasaan rindu orang terhadap Soeharto sama seperti kerinduan saya terhadap ayah saya yang meninggal pada tahun 1991. Saya selalu ingin dia hidup kembali. Namun ketika hal itu terjadi dan ayah saya yang terjaga mendekati saya, saya akan lari dan berteriak, “Tolong, ada zombie yang mengancam saya!”
Banyak juga yang mendengar lelucon tentang percakapan antara seorang pemuda dan seorang warga desa tua tentang Soeharto. Pria muda enerjik ini bertanya kepada penduduk desa apakah dia akan memilih hidup di bawah era Presiden Joko “Jokowi” Widodo atau Suharto.
“Pastinya lebih baik pada masa Soeharto,” jawab lelaki tua itu. Saat ditanya alasannya, dia menjawab: “Karena istri saya masih muda di zaman Soeharto.”
Wajar jika orang-orang dekat Soeharto, termasuk anak-anaknya, akan membelanya. Beberapa bulan yang lalu, putri keduanya, Siti Hediati “Titiek” Hariyadi, mengatakan bahwa korupsi jauh lebih merajalela di bawah pemerintahan Presiden Jokowi dibandingkan pada masa pemerintahan tangan besi ayahnya selama 32 tahun. Ia lupa bahwa di antara seruan masyarakat yang menuntut pengunduran diri ayahnya adalah sikap serakah mantan keluarga pertama dan kroni-kroninya.
Namun kritik yang dilontarkan mantan istri Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ini nyatanya diamini oleh banyak orang.
Saya bukan pembela atau juru bicara Presiden Jokowi. Saya tidak punya kemampuan intelektual untuk membantah argumen Titiek dari sudut pandang ekonomi. Saya hanya mengikuti akal sehat.
Di bawah pemerintahan Suharto, tersangka pelaku kejahatan ekonomi, perekonomian monopoli, dan korupsi besar-besaran sebagian besar adalah keluarga dan kroni-kroni Suharto. Ini adalah argumen pertama saya.
Saat ini kita sedang mengalami “demokratisasi” korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, yang berarti setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ini adalah jawaban terakhir saya.
Setahun setelah jatuhnya Soeharto, Indonesia mengadakan pemilu demokratis pertama pada tanggal 7 Juni 1999. Partai politik menjamur sebagai cerminan kebebasan politik. Sebanyak 48 partai berhak ikut serta, dan hanya 19 partai yang memenangkan kursi legislatif. Partai Golkar, kendaraan politik Soeharto, menempati posisi kedua di belakang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Sejak tahun 2004, Indonesia memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, sedangkan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara langsung dimulai satu tahun kemudian.
Dari satu pemilu ke pemilu lainnya, kecurangan pemilu, jual beli suara, dan kampanye hitam dikatakan merajalela, dan hal ini mungkin benar. Di negara demokrasi yang masih muda seperti Indonesia, pelanggaran seperti ini sulit diberantas. Namun seiring dengan semakin matangnya demokrasi kita, kita dapat mengharapkan pemilu yang adil dan bebas dari kecurangan.
Demokrasi di negara ini masih dalam proses. Menurut seorang jurnalis senior, meningkatnya polarisasi masyarakat, meningkatnya politik identitas, kembalinya korupsi dalam skala besar dan terkikisnya sebagian kebebasan kita merupakan tantangan besar bagi demokrasi kita saat ini.
Namun juga karena aspirasi kami terhadap demokrasi maka kami mengamandemen Konstitusi untuk memerintahkan tentara kembali ke barak. Tentara tidak lagi menjadi alat untuk menindas rakyat atau bahkan membunuh orang-orang yang berani mengkritik pemerintah.
Pada tahun 2004, Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) No. 34/2004 diterbitkan sebagai landasan hukum bagi fungsi TNI sebagai pembela bangsa terhadap ancaman dari luar. Perwira TNI bisa bertugas di 10 kementerian dan lembaga pemerintah yang terkait dengan urusan militer, berbeda dengan masa lalu ketika militer banyak menduduki jabatan sipil seperti yang diinginkan Soeharto.
Usulan TNI untuk merevisi undang-undang tahun 2004 telah memicu perdebatan publik karena TNI berupaya memperluas daftar pekerjaan sipil yang dapat diberikan kepada perwira TNI dan mendapatkan otonomi dalam mengelola anggarannya.
Anda mungkin mengatakan bahwa saya terlalu menyederhanakan keadaan, namun faktanya menunjukkan bahwa india adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat, dengan segala ketidaksempurnaannya. Kritikus mungkin berpendapat bahwa demokrasi Indonesia tidak mengikuti standar universal, atau mungkin standar Barat, namun masyarakat bebas mengkritik pemerintah.
Indonesia juga telah membuktikan bahwa demokrasi dan Islam, agama mayoritas penduduk di negara ini, selaras dan saling melengkapi. Indonesia tentunya merupakan satu-satunya negara berpenduduk mayoritas Muslim yang konstitusinya menjamin hak untuk memilih pemimpinnya secara langsung.
Jangan lupa, Indonesia juga merupakan anggota G20 yang bergengsi dan menjadi tuan rumah KTT di Bali tahun lalu, yang berarti perekonomian negara semakin berkembang dan diharapkan akan terus menunjukkan kekuatannya dalam menghadapi guncangan yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998. menjatuhkan. bangsa ini berada dalam krisis yang sangat buruk.
Keturunan Soeharto mungkin mencoba kembali terjun ke dunia politik, namun sulit mendapatkan dukungan dari masyarakat. Pada tahun 2009, satu tahun setelah kematian ayahnya, Hutomo “Tommy” Mandala Putra, putra bungsu Soeharto, mencoba merebut jabatan puncak Golkar, namun sia-sia. Ia kemudian mendirikan Partai Berkarya untuk mengikuti pemilu 2019, namun gagal mencapai ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Partai tersebut juga gagal lolos ke pemilu 2024.
Saya yakin bahwa Indonesia telah mengalami banyak kemajuan setelah runtuhnya pemerintahan Suharto pada tahun 1998. Beberapa orang mungkin merindukan kembalinya Suharto, hal ini diperbolehkan berkat demokrasi, namun kita tidak perlu khawatir karena hal tersebut hanya sekedar nostalgia romantis.
***
Penulis adalah editor senior di Jakarta Post