GE15: Peran undang-undang anti-hop dalam skenario politik saat ini

22 November 2022

KUALA LUMPUR – Undang-undang Konstitusi (Amandemen) (No.3) tahun 2022 tidak menghalangi Anggota Parlemen (Anggota Parlemen) dari partai mana pun untuk memberikan dukungan dalam kapasitas masing-masing kepada koalisi mana pun untuk membentuk Pemerintah Federal baru pasca Pemilihan Umum ke-15, kata analis politik Dr Md Shukri Shuib.

Dia mengatakan undang-undang anti-hopping, seperti namanya, hanya berlaku bagi anggota parlemen yang berpindah ke partai lain dan mereka yang meninggalkan partainya sendiri.

“Seorang anggota parlemen tidak bisa meninggalkan partainya. Namun, jika dia dipecat dari partai, undang-undang anti-hop tidak berlaku baginya. Pemecatannya akan berdampak pada partainya. Partai inilah yang akan kehilangan kursi. Ini adalah bagian yang sulit,” katanya kepada Bernama di sini.

Undang-undang tersebut mulai berlaku pada 5 Oktober 2022.

Pemilihan umum ke-15 (GE15) pada Sabtu (19 November) berakhir dengan tidak ada partai yang memenangkan mayoritas sederhana dengan 112 kursi dari 222 kursi parlemen untuk membentuk pemerintahan baru.

Pakatan Harapan meraih 82 kursi, disusul Perikatan Nasional (73), BN (30), Gabungan Parti Sarawak (22), Gabungan Rakyat Sabah (enam), Warisan (tiga), Partai Kesejahteraan Sosial Demokrat (KDM) dan Parti Bangsa Malaysia ( PBM) (masing-masing satu), dan independen dua.

Menyusul hasil GE15, Yang di-Pertuan Agong memutuskan bahwa semua pemimpin partai dan koalisi harus memberi tahu Istana Negara tentang koalisi baru yang mereka sepakati untuk membentuk pemerintahan baru, serta nama calon perdana menteri mereka, sebelum pukul 14.00 pada Senin (21 November), sebelum batas waktu diperpanjang menjadi pukul 14.00 pada hari Selasa (22 November).

Beberapa perwakilan Barisan terpilih dikabarkan condong ke arah Pakatan dan sisanya ke arah Perikatan, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang pentingnya undang-undang anti-partai-hopping.

Md Shukri, dosen politik dan studi internasional di Universiti Utara Malaysia, mengatakan dalam konteks ini, ketua Barisan harus mencari cara untuk menyelesaikan semua masalah internal koalisi dengan mengadakan pembicaraan antara para pemimpin konstituennya.

“Mereka yang tidak mendukung ‘langkah’ ketua tidak bisa melompatinya dan ketua tentu saja tidak ingin memecat mereka dan mengambil risiko kehilangan kursinya. Ini bisa menimbulkan kesalahan di partai,” ujarnya.

Sementara itu, pakar konstitusi, Assoc Prof Datuk Dr Shamrahayu Ab Aziz mengatakan, Pasal 49(a) Konstitusi Federal menyebutkan ada tiga jenis situasi perpindahan partai yang dapat menyebabkan kursi dinyatakan kosong.

“Situasi pertama, seorang anggota parlemen dari partai A melompat ke partai B. Situasi kedua, seorang anggota parlemen independen telah bergabung dengan sebuah partai. Dan situasi ketiga adalah ketika seorang anggota parlemen meninggalkan partainya untuk menjadi anggota parlemen independen. Situasi-situasi inilah yang dapat menyebabkan kursi tersebut dinyatakan kosong.

“Jika seorang anggota parlemen dipecat dari partainya, dia tidak akan kehilangan kursinya dan akan tetap menjadi anggota parlemen,” katanya.

Menurut Dr Shamrahayu, dalam situasi seperti itu, ketua Dewan Rakyat harus memberitahu Komisi Pemilihan Umum (EC) tentang kursi yang kosong karena harus diadakan pemilihan sela untuk memilih anggota parlemen baru.

Analis politik Universiti Sains Malaysia (USM) Prof Dr Sivamurugan Pandian mengatakan berdasarkan undang-undang anti-partai-hopping, tidak ada masalah jika seluruh partai (dan blok) mendukung partai lain.

“Itulah yang saya pahami. Seorang anggota parlemen yang ingin meninggalkan partai harus mengosongkan kursinya, namun jika ia dipecat, ia dapat tetap menjadi anggota parlemen independen. Dia tidak bisa melompat ke partai lain, tapi dia bisa mendukungnya, tidak masalah,” ujarnya.

Dalam kondisi Parlemen yang menggantung saat ini, Sivamurugan melihat solusi terbaik adalah menciptakan pemerintahan persatuan.

Situasi kini mirip dengan peristiwa 13 Mei 1969 ketika negara ini dipimpin oleh Dewan Operasi Nasional atau lebih dikenal dengan akronim Melayu Mageran, yang akhirnya berhasil meredakan ketegangan politik saat itu.

“Jika situasi ini berkepanjangan dimana tidak ada partai yang memperoleh mayoritas sederhana, maka situasi ketidakpastian saat ini akan berkepanjangan.

“Untuk mencegah hal ini terjadi, pihak-pihak terkait, PH, PN, BN, GPS, GRS, harus mengambil inisiatif membentuk pemerintahan untuk menstabilkan negara dan akhirnya memilih perdana menteri di antara mereka,” tambahnya.- Bernama

By gacor88