23 November 2022
JAKARTA – Pemerintah mengakui keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai larangan ekspor nikel menguntungkan Uni Eropa.
Dalam pertemuan dengan Komisi VII DPR yang membidangi kebijakan energi dan teknologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengumumkan bahwa panel WTO menolak justifikasi Indonesia atas kebijakan tersebut.
Pada tahun 2019, UE meluncurkan konsultasi dengan Indonesia di bawah kerangka WTO mengenai pembatasan ekspor berbagai bahan mentah, termasuk nikel, yang diperlukan untuk produksi baja tahan karat.
Terdaftar sebagai sengketa DS592, Brussel menilai Indonesia melanggar Pasal XI:1 Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT) tahun 1994, yang menyatakan bahwa anggota WTO harus memberikan akses seluas-luasnya terhadap perdagangan internasional.
Indonesia berupaya membenarkan kebijakannya berdasarkan pengecualian terhadap prinsip yang tercantum dalam Pasal XI:2 (a) dan XX (d) ATT.
“Pemerintah menilai keputusan panel tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga masih ada peluang untuk mengajukan banding,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Senin.
Menkeu melanjutkan dengan menjelaskan bahwa Indonesia tidak wajib mengubah atau mencabut peraturannya selama proses banding masih berlangsung melalui Dispute Settlement Body (DSB) WTO.
Berdasarkan informasi kementerian, WTO memutuskan beberapa peraturan Indonesia melanggar GATT, yaitu UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri No. 11 Tahun 2019 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri No. 96 Tahun 2019 tentang Ekspor Produk Pertambangan Olahan dan Pemurnian serta Peraturan Menteri No. 7 Tahun 2020 tentang Penatausahaan Mineral dan Batubara.
Laporan lengkap panel WTO diputuskan pada 17 Oktober, akan dipublikasikan pada 30 November dan akan menjadi bagian dari agenda DSB pada 20 Desember, menurut dokumen yang dibagikan oleh kementerian.
“Kebijakan (pembangunan) hilirisasi nikel kita perlu dipertahankan dengan mempercepat pembangunan smelter,” lanjut Arifin.
Menteri mengatakan hal ini akan “menjelaskan” bahwa nikel Indonesia memang telah diolah menjadi barang bernilai lebih tinggi, menciptakan lapangan kerja dan memacu pertumbuhan industri pengguna akhir nikel.
Arifin mengatakan proses banding akan memakan waktu yang lama.
Ketika dihubungi oleh The Jakarta Post pada hari Selasa, Wakil Menteri Investasi Riyatno menolak berkomentar, menjelaskan bahwa posisi kementerian akan “dibicarakan terlebih dahulu secara internal”.
Kepala Badan Kebijakan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengaku belum bisa berkomentar mengenai dampak keputusan ini karena keputusan pemerintah yang mengajukan banding.
“(Banding) akan memakan waktu lama, jadi dampaknya tidak bisa dihitung,” kata Kasan kepada Post, Selasa.
Djatmiko Bris Witjaksono, direktur jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, mengatakan kepada Post pada hari Selasa bahwa pemerintah “belum” memutuskan tindakan lain selain mengajukan banding.
“(Masih) berproses di WTO, (masih) panjang (prosesnya),” kata Djatmiko.
Kantor Menteri Koordinator Perekonomian dan Kantor Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi tidak menanggapi permintaan komentar.
Wenny Setiawati, pakar hukum perdagangan internasional dari Universitas Indonesia, mengatakan pada hari Senin bahwa industrialisasi hilir dapat berlanjut untuk sementara waktu.
Namun, dia mengatakan pemerintah harus menyiapkan “solusi alternatif” jika keputusan yang diambil oleh Badan Banding WTO serupa dengan keputusan panel dalam kasus DS952, yang akan memaksa Indonesia untuk meninjau ulang atau mencabut peraturan tersebut.
“Kita harus bersiap menghadapi pembalasan,” kata Wenny kepada Post.
Analis nikel Bank Mandiri milik negara Ahmad Zuhdi Dwi Kusuma mengatakan pada hari Senin bahwa kasus tersebut disiapkan untuk kasus DS952, sangat berbeda dengan kasus serupa pada tahun 2017, di mana pemerintah mengalah dan mengizinkan ekspor bijih nikel untuk dilanjutkan.
Saat ini, kata dia, industri hilir di dalam negeri jauh lebih kuat dibandingkan sebelumnya, sehingga perusahaan pertambangan akan diberi insentif untuk mengolah bijih di smelternya dibandingkan mengekspornya ke pasar internasional, apalagi jika harga di dalam dan luar negeri sama.
Strategi pendukung, seperti kewajiban pasar domestik yang meniru kebijakan batubara, juga dapat diterapkan, ujarnya.
Dalam wawancara eksklusif dengan Post, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah mengisyaratkan kemungkinan kekalahan dalam kasus WTO.
Strateginya adalah memperpanjang perjuangan hukum di WTO melalui mekanisme banding, yang menurutnya akan memakan waktu lima hingga 10 tahun untuk memprosesnya, dan mengembangkan sebanyak mungkin industri dalam negeri selama periode tersebut.
Ia menyatakan keyakinannya bahwa metode tersebut telah berhasil dalam kasus nikel, karena Indonesia beralih ke ekspor nikel dari ekspor bijih dan sebagai hasilnya, Indonesia memperoleh lebih banyak pendapatan.
“(Boleh) bayangkan selama puluhan tahun kita hanya mengekspor bahan mentah saja? Apakah kita ingin hal ini terus berlanjut? Kami tidak melakukannya,” kata Presiden Jokowi pada 2 November.