23 Februari 2023
JAKARTA – Ketika terjadi bencana, sering kali perempuan, terutama para ibu, adalah pihak pertama yang mengurangi dampak bencana di rumah dengan mengambil barang-barang berharga, mengamankan bahan makanan agar masyarakat tidak kelaparan, memeluk anak-anak dan berjuang melindungi bahaya, membantu persiapan bencana. makanan di dapur umum dan masih banyak lagi.
Sayangnya, peran perempuan dalam bencana masih dianggap remeh, tanpa mempertimbangkan peran lain yang bisa disumbangkan oleh perempuan. Ketika saya menghadiri beberapa pertemuan dengan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB), saya melihat bahwa suara perempuan seringkali diabaikan. Banyak perempuan yang memilih diam karena sejak awal disuruh mengikuti saja keputusan yang diambil dalam rapat.
Ibu Yanti (bukan nama sebenarnya), salah satu peserta kegiatan Citizen Voice and Action (CVA) yang digagas Wahana Visi Indonesia (WVI), merupakan salah satu tokoh perempuan yang mendapat diskriminasi. Ia sangat terlibat dalam berbagai kegiatan dan menjadi bintang ketika berbicara di depan kelompok yang seluruh pesertanya perempuan. Namun karena mayoritas peserta diskusi adalah laki-laki, termasuk program pelatihan kebencanaan yang diadakan WVI di Cikeas, Jawa Barat, maka ide Yanti tersebut dihalangi oleh laki-laki.
“Para wanita akan mengurus sampah dan dapur umum, oke?” salah satu pimpinan forum segera berkata, secara efektif menutup pintu bagi ide-ide cemerlang dari peserta perempuan. Kepala desa lainnya segera menjawab: “Perempuan akan mengikuti keputusan forum, oke?” seolah-olah semua keputusan bermanfaat bagi perempuan.
Meskipun terjadi bencana, budaya patriarki terus mengubur perempuan di bawah bayang-bayang dominasi laki-laki. Tempat perempuan hanya dapur umum dan tempat sampah. Dalam diskusi mengenai tempat penampungan sementara, seorang perempuan menyarankan tempat penampungan yang dipisahkan berdasarkan gender demi alasan keamanan. Beberapa pria langsung menolak, dengan alasan bahwa mereka harus tidur bersama keluarga untuk melindungi istri dan anak-anak mereka.
Sementara itu, tempat penampungan darurat seringkali berupa barak atau bangunan besar tempat banyak keluarga tidur dalam satu atap. Artinya, ada sebagian perempuan yang mungkin merasa tidak nyaman dan rentan terhadap kekerasan seksual. Lamaran wanita itu ditolak.
Sangat disayangkan ketika perempuan mencoba mengurangi potensi risiko kekerasan berbasis gender di kamp pengungsian, saran positif tersebut diabaikan hanya karena hal tersebut berasal dari mulut perempuan.
Namun, ketika laki-laki mengutarakan gagasan serupa, hal itu tidak serta merta diabaikan. Ada yang langsung diterima, ada pula yang ditempatkan di kotak pertimbangan forum diskusi. Haruskah perempuan terus menyerahkan suaranya kepada laki-laki, bahkan ketika menyangkut keselamatan mereka dan, dalam banyak kasus, keselamatan anak-anak yang berada dalam pengasuhan perempuan selama bencana?
Pada saat bencana terjadi, terjadi diskriminasi terhadap suara perempuan dalam pengambilan keputusan baik di pedesaan maupun perkotaan. Suara perempuan tertentu, seperti kepala daerah, perempuan tokoh adat, atau istri tokoh agama dan adat terkenal, terdengar.
Situasi ini merupakan kemunduran dalam upaya mencapai kesetaraan gender.
Suara perempuan penting dalam pengambilan keputusan mitigasi bencana. Ketika terjadi bencana, perempuan sering kali menjadi pihak yang paling menderita. Perempuan memainkan banyak peran dalam semua aspek bantuan bencana, mulai dari evakuasi hingga pemulihan. Selain itu, perbedaan pengalaman biologis, reproduksi dan sosial perempuan merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan ketika mengambil keputusan dalam situasi krisis.
Pasca gempa bumi tahun 2018 di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, perempuan dilibatkan dalam proses penentuan siapa yang akan menerima bantuan perbaikan rumah, dan hasilnya cukup signifikan. Sekalipun praktik baik ini tidak pernah tercatat dalam data, namun manfaatnya dapat dinikmati oleh semua pihak yang terkena dampak bencana. Dalam banyak kasus, perempuan lebih peka terhadap kebutuhan-kebutuhan seperti ini.
Memberikan perempuan lebih bersuara dalam berbagai aspek kebencanaan adalah suatu keharusan dan harus dilakukan. Cililitan di Jakarta Timur memulai kegiatan analisis kapasitas dan kerentanan dengan banyak fasilitator perempuan. Mereka kemudian melanjutkan untuk mengambil tindakan, seperti menentukan prioritas mana yang memerlukan pemulihan segera jika terjadi bencana.
Laki-laki tidak selalu bisa mewakili suara perempuan. Perempuan mempunyai hak yang berbeda untuk mengekspresikan diri dibandingkan laki-laki. Lebih lanjut, perempuan mempunyai hak untuk memutuskan bagaimana menghadapi dampak bencana yang terjadi dalam hidupnya. Pengalaman bencana yang dialami perempuan dan laki-laki tentu saja sangat berbeda. Laki-laki tidak mengalami menstruasi, hamil, melahirkan atau menyusui, sehingga kepekaan mereka terhadap hal-hal tersebut tentu berbeda.
Belum lagi, dalam budaya patriarki, perempuan dikondisikan untuk menjadi penolong, sehingga penanganan korban bencana seolah otomatis menjadi tanggung jawab perempuan. Ini harus menjadi pemikiran kolektif kita.
***
Penulis adalah spesialis tanggap darurat di Wahana Visi Indonesia.