26 Agustus 2022
JAKARTA – Ada alasan bagus mengapa Presiden Joko “Jokowi” Widodo tidak lagi memanfaatkan pencapaian swasembada beras Indonesia selama tiga tahun terakhir. Ia menyebutkan hal tersebut dalam pidato kenegaraannya pada tanggal 16 Agustus, namun baik pemerintah maupun para pendukungnya tidak menyetujui atau merayakannya.
Indonesia tidak mengalami kekurangan pangan yang besar, tidak seperti banyak negara di dunia, namun kita masih belum bisa keluar dari permasalahan tersebut. Meningkatnya harga bensin dalam negeri kemungkinan besar akan memicu inflasi, dan jutaan orang akan segera mengalami kondisi ekonomi yang lebih buruk karena harga makanan pokok, termasuk beras, meningkat, meskipun persediaan mencukupi. Merayakannya sekarang akan mengirimkan pesan yang salah
Namun demikian, pencapaian tersebut tidak luput dari perhatian, setidaknya oleh International Rice Research Institute (IRRI), yang pada tanggal 14 Agustus memberikan Presiden Jokowi sebuah plakat untuk “Mencapai Ketahanan Sistem Agri-Pangan dan Kecukupan Beras selama 2019-2021 melalui aplikasi teknologi beras”.
Strategi ketahanan pangan pemerintah yang dicanangkan Jokowi sejak menjabat pada tahun 2014 telah menyelamatkan Indonesia dari krisis pangan yang dialami banyak negara akibat perang Rusia-Ukraina. Kita pernah mengalami krisis minyak goreng pada awal tahun ini, namun hal ini terjadi karena para pelaku bisnis mencoba memanfaatkan harga minyak dunia yang tinggi.
Produksi beras hanya tumbuh sedikit dari 31,11 juta ton pada tahun 2019 menjadi 31,36 juta ton pada tahun 2020, dan menjadi 31,32 juta ton pada tahun 2021. Pada saat yang sama, konsumsi per kapita menurun, dari 99,1 kilogram pada tahun 2016 menjadi 94,24 kg per orang. secara bertahap melakukan diversifikasi pola makan.
Swasembada beras dicapai dengan mengatasi pasokan dan permintaan secara bersamaan. Dengan pertumbuhan populasi sebesar 1,07 persen, terdapat sekitar 2,73 juta lebih mulut yang harus diberi makan setiap tahunnya. Menanam lebih banyak beras harus tetap menjadi bagian dari strategi ketahanan pangan nasional, dan diversifikasi asupan pangan harus tetap didorong.
Pada tahun 1984, Presiden Soeharto saat itu memenangkan hadiah yang lebih besar dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) untuk menjadikan Indonesia swasembada beras, yang ia raih setelah bertahun-tahun melakukan investasi pada tujuan tersebut. Suharto melakukan perjalanan ke Roma untuk menerima penghargaan tersebut, dan Indonesia juga meraih penghargaan lainnya. Dua tahun kemudian, negara tersebut mengabaikan tujuan tersebut karena merasa impor berasnya jauh lebih murah.
Hal ini terjadi hingga tahun 2014, ketika Presiden Jokowi menjadikan swasembada beras sebagai tujuannya dalam strategi ketahanan pangan nasional. Pencapaian ini terjadi pada tahun 2019, saat yang tepat. Jika Indonesia tidak mampu swasembada beras, kita akan mencari impor dari pasar beras global yang terbatas.
Pada tahun 1980-an dan 1990-an, Indonesia merupakan pembeli beras terbesar di pasar dunia, dan negara tetangga Vietnam dan Thailand, yang merupakan salah satu eksportir beras terbesar, akan menaikkan harga beras mereka begitu mereka mendengar rencana Indonesia untuk memasuki pasar tersebut.
Tidak banyak pihak yang memperkirakan akan terjadinya perang Rusia-Ukraina, namun Presiden Jokowi memiliki visi untuk menjadikan Indonesia mampu mencapai swasembada pangan, terutama beras, jika terjadi gangguan pasokan global. Kami berharap pemerintah mempunyai tekad yang kuat dalam menjalankan strategi ketahanan energinya.
Mari kita rayakan pencapaian ini dengan tenang.