29 Agustus 2022
JAKARTA – Maskapai penerbangan Indonesia menikmati lonjakan permintaan tahun ini berkat pelonggaran pembatasan Covid-19, namun para analis mengatakan biaya yang tinggi menghambat pemulihan mereka dan bahkan dapat menggagalkannya. Maskapai penerbangan menghitung terdapat 24,6 juta penumpang pada penerbangan domestik pada paruh pertama tahun ini, lebih dari 57 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, namun masih di bawah angka yang tercatat sebelum pandemi virus corona.
Dua pendatang baru di segmen penerbangan berjadwal, Pelita Air dan Super Air Jet, telah memasuki pasar domestik dalam setahun terakhir dan berencana melakukan ekspansi pesat untuk memanfaatkan momen tersebut.
Pelita Air, anak perusahaan perusahaan minyak dan gas milik negara Pertamina yang biasa menyediakan penerbangan charter, ingin mengoperasikan delapan pesawat pada akhir tahun ini dan kemudian menambah 10 pesawat lagi setiap tahunnya selama lima tahun ke depan, sementara Super Air Jet bertujuan untuk bersaing dengan akhir tahun ini dengan mengoperasikan 61 pesawat, sekitar dua kali lipat armada saat ini.
Sementara itu, maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia berencana mengoperasikan 70 pesawat pada tahun depan, dua kali lipat dari jumlah yang tersisa setelah baru-baru ini memasuki proses restrukturisasi utang, namun masih jauh di bawah 140 unit sebelum pandemi.
“Kita adalah negara kepulauan, dan perekonomian kita baru-baru ini tumbuh lebih dari 5 persen, yang secara otomatis akan meningkatkan permintaan perjalanan udara,” Rusdi Kirana, pemilik operator penerbangan swasta terbesar di Tanah Air, Lion Air Group, mengatakan kepada The Jakarta Post dikatakan. Senin usai menghadiri ulang tahun pertama Super Air Jet yang juga ia dirikan.
“Saya sangat yakin akan ada pertumbuhan signifikan tahun ini. Ini adalah keuntungan dari pasar lokal yang kuat,” tambahnya.
Meskipun ada optimisme, industri penerbangan sedang mengalami masa penuh gejolak karena mahalnya harga bahan bakar yang menyebabkan mahalnya harga tiket pesawat, sehingga menyebabkan banyak konsumen mencari alternatif lain seperti transportasi laut atau darat.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa kenaikan tarif angkutan merupakan salah satu dari dua kontributor inflasi terbesar di bulan Juli, selain harga bahan pokok.
“Kami ingin memberikan yang terbaik kepada masyarakat, tapi (keterjangkauan tiket) menjadi kendala,” kata CEO Super Air Jet Ari Azhari kepada wartawan, Senin.
Analis mengatakan kepada Post bahwa harga tiket yang tinggi disebabkan oleh ketidaksesuaian antara permintaan yang meningkat pesat dan pasokan yang terbatas, karena pembatasan mobilitas selama dua tahun memaksa maskapai penerbangan untuk mengurangi armadanya dan mengembalikan pesawat ke perusahaan penyewaan, yang pada gilirannya memerlukan perawatan tambahan dan dalam beberapa kasus. diperlukan. negosiasi ulang dengan tuan tanah.
Total armada domestik yang berjumlah sekitar 350 pesawat hanya setengah dari sebelumnya 600 pesawat, perkiraan para analis.
Lebih buruk lagi, kenaikan biaya bahan bakar penerbangan yang didorong oleh tingginya harga minyak mentah telah meningkatkan biaya operasional.
Pemerintah memperbolehkan maskapai penerbangan mengenakan biaya tambahan bahan bakar hingga 15 persen di atas plafon harga tiket.
Haris Eko Faruddin, analis transportasi udara dan laut di Bank Mandiri, mengatakan bahwa jika semuanya berjalan lancar, industri ini dapat mencapai tingkat sebelum pandemi pada tahun 2024, namun harga tiket pesawat yang tinggi dapat menjadi penghalang.
“Jika negara ini gagal (secara memadai mengatasi) kenaikan tarif penerbangan, maka hal ini bisa (membuat pemulihan terhenti). Hal ini juga dapat menghambat pertumbuhan rute yang dapat diakses melalui transportasi laut dan darat,” kata Haris kepada Post, Selasa.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengatakan kepada Post pada tanggal 10 Agustus bahwa harga tiket pesawat yang tinggi dan berkepanjangan juga akan menghambat pemulihan industri perhotelan, karena masyarakat membutuhkan maskapai penerbangan untuk melakukan perjalanan ke tujuan yang lebih jauh.
Haris menambahkan, rute ke daerah terpencil akan menjadi yang paling terkena dampaknya, karena tingginya biaya yang mungkin menyebabkan maskapai penerbangan menghentikan operasinya. Wings Air, anak perusahaan Lion Air Group, telah mengurangi separuh frekuensi penerbangan di beberapa rute dan mengumumkan dalam pernyataannya bahwa mereka akan menyesuaikan layanan dengan permintaan penumpang.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta para pembantunya pada 18 Agustus untuk mengendalikan harga tiket pesawat melalui peningkatan frekuensi penerbangan baik oleh maskapai swasta maupun milik negara.
Pakar penerbangan Gerry Soejatman menjawab bahwa pemerintah tidak bisa mengharapkan perusahaan meningkatkan penerbangan pada rute-rute yang tidak menguntungkan. “Pemerintah boleh meminta, tapi maskapai juga harus melihat kinerja keuangannya. (Melayani rute-rute tersebut) dapat melemahkan mereka dan membahayakan pemulihan,” kata Gerry kepada Post pada hari Selasa.
“Apa yang paling kami butuhkan adalah mengakhiri perang (di Ukraina). Maka harga energi global bisa kembali normal,” imbuhnya.
Rusdi dari Lion Air Group berjanji untuk bekerja sama dengan pemerintah untuk menyediakan tiket yang lebih terjangkau pada waktu-waktu tertentu, namun juga mengatakan diperlukan lebih banyak dukungan pemerintah. Selain harga bahan bakar yang tinggi, maskapai penerbangan saat ini juga menanggung pajak bandara yang lebih tinggi, nilai tukar rupiah yang lebih lemah, yang menyebabkan biaya sewa menjadi lebih mahal dan biaya suku cadang yang lebih tinggi karena gangguan pasokan yang disebabkan oleh produsen, kata Rusdi.
Ia menyampaikan harapannya agar pemerintah mengurangi separuh atau bahkan menghapus pajak pertambahan nilai bahan bakar penerbangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kepada wartawan pada hari Selasa bahwa kementeriannya akan menyelidiki masalah ini.
CEO Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan kepada wartawan pada 12 Agustus bahwa penurunan harga minyak memungkinkan harga tiket menjadi lebih terjangkau. “Harga bahan bakar penerbangan sedang turun.
Tidak adil jika kita terus menaikkan tarif tiket hanya karena Kementerian Perhubungan menyatakan bisa,” kata Irfan.
“Kami juga harus memihak penumpang kami. Kalaupun saya tidak menaikkan tarif Garuda, penumpang tetap tidak mau terbang, apalagi saya menaikkan harganya,” imbuhnya.