Indonesia menindak impor pakaian bekas karena harga yang lebih rendah merugikan produsen lokal

27 Maret 2023

JAKARTA – Sejak duduk di bangku SMA, penulis lepas asal Jakarta, Anindya Miriati Hasanah, 25, lebih menyukai pakaian bekas.

Penggemar berat gaya jalanan Harajuku Jepang ini biasa mengunjungi toko barang bekas di Jakarta, namun kini dia mencari barang murah di toko online melalui Instagram. Baginya, ini terasa seperti perburuan harta karun.

Setiap dua atau tiga bulan sekali, dia membeli gaun Lolita favoritnya, menghabiskan antara 50.000 rupiah (S$4,40) hingga 500.000 rupiah untuk setiap potongnya.

“Kalau saya beli baju baru, harganya mahal sekali. Makanya saya lebih memilih membeli barang bekas yang kualitasnya bagus,” kata Ibu Anindya.

“Pakaian mengekspresikan gaya pribadi kita. Sangat sulit menemukan busana Jepang yang diproduksi secara lokal.”

Warga Jakarta lainnya, ibu rumah tangga Ghea Askara, kerap membeli baju bekas impor, terutama dari Jepang dan Korea Selatan, karena menyukai desainnya yang unik.

“Mereka punya produk yang tidak kami miliki di pasar lokal,” kata ibu dua anak berusia 38 tahun ini. Kesukaannya terhadap gaya hidup yang lebih ramah lingkungan seringkali menyebabkan dia mengubah pakaiannya – seperti mengubah celana jins menjadi rok – untuk memperpanjang siklus hidupnya.

Terima kasih kepada pelanggan seperti Ny. Anindya dan Ny. Ghea, bisnis hemat di Indonesia mulai berkembang, dengan platform digital yang membuka pintu bagi lebih banyak pelanggan.

Pakaian bekas asing telah diperdagangkan di negara ini selama bertahun-tahun.

Pada tahun 2015, Kementerian Perdagangan mengeluarkan peraturan yang melarang impor barang tersebut. Namun, peraturan tersebut tidak menetapkan sanksi apa pun atas pelanggaran yang mengakibatkan aturan tersebut tidak efektif.

Negara kepulauan yang luas ini rawan penyelundupan karena banyaknya pintu masuk.

Masuknya barang-barang tersebut baru-baru ini membuat pusing industri tekstil dan pakaian dalam negeri, yang masih berjuang untuk pulih dari pandemi Covid-19, serta pemerintah.

Pakaian bekas yang diimpor secara legal ke negara ini bernilai US$272.146 (S$362.500) pada tahun 2022, lebih dari lima kali lipat nilai yang dibawa pada tahun sebelumnya, menurut Badan Pusat Statistik.

Nandi Herdiaman, ketua serikat produsen garmen rumahan, yang beranggotakan 500 orang, mengatakan ketersediaan besar-besaran pakaian bekas impor telah mempengaruhi banyak produsen lokal yang memasok pasar tradisional dan pengecer.

Lemahnya daya beli konsumen membuat impor mempunyai keunggulan harga.

Misalnya, pesanan produksi baju baru menjelang Hari Raya Idul Fitri turun tajam, tambahnya. “Dampaknya sudah terlihat. Penjahit rumahan yang biasa memproduksi pakaian dengan merek tertentu kini hanya memenuhi pesanan menjahit seragam pejabat pemerintah dan partai,” ujarnya.

Dampaknya juga dirasakan oleh produsen bahan baku yang digunakan dalam pembuatan pakaian.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan berkurangnya pesanan produsen pakaian skala kecil dan menengah menyebabkan penurunan pembelian bahan baku.

“Pemanfaatan pabrik (tekstil) di sisi hulu juga terkena dampaknya,” tambahnya, antara lain mengacu pada fasilitas produksi serat dan benang filamen.

Pada pertengahan bulan Maret, Presiden Joko Widodo memerintahkan pihak berwenang untuk membatasi impor pakaian bekas, karena hal tersebut “sangat mengganggu” industri tekstil lokal.

Kementerian Perdagangan menggencarkan penyelidikan dengan menyita dan memusnahkan pakaian bekas impor senilai sekitar 20 miliar rupiah di beberapa daerah, antara lain Mojokerto, Jawa Timur, dan Pekanbaru, Riau.

Namun keadaan tetap berjalan seperti biasa di pasar Senen Jakarta – yang terkenal dengan pakaian bekas, sepatu dan tas – bahkan ketika para pedagang khawatir akan tindakan pihak berwenang baru-baru ini.

Pakaian bekas impor, sebagian besar dari Jepang dan Korea Selatan, dijual dengan harga hanya 5.000 rupiah. Beberapa barang mempunyai label palsu dari merek terkenal seperti Uniqlo dan Gap.

Seorang penjual yang sudah tiga tahun menjalankan bisnisnya dan tidak mau disebutkan namanya, mengaku bisa mendapat margin keuntungan lebih dari 10 persen dari penjualan pakaian bekas, di luar uang sewa dan biaya operasional lainnya.

Ia biasanya membeli paket grosir dengan harga antara tiga juta rupiah hingga 10 juta rupiah, terdiri dari 100 hingga 500 potong pakaian luar negeri, yang kemudian ia sortir sebelum dikirim ke toko laundry.

Tiga perempat dari kiriman tersebut bisa dijual dengan harga antara 35.000 rupiah hingga 100.000 rupiah di kiosnya yang berukuran 3,5 meter persegi, sedangkan sisanya dijual ke sesama penjual dengan harga lebih murah.

“Di sini pelanggan saya bisa mendapatkan barang yang mereka inginkan dengan harga yang terjangkau. Mereka merasa puas,” ujarnya seraya menyadari adanya persaingan antara pakaian bekas impor dan pakaian produksi lokal.

Mengenai tindakan keras baru-baru ini terhadap bisnis pakaian bekas, lulusan SMA berusia 23 tahun ini menambahkan: “Jika kami diminta untuk mengubah bisnis kami, kami tidak memerlukan modal untuk melakukannya.”

Daripada menyalahkan penjual pakaian bekas, Nandi mengidentifikasi penyelundupan sebagai penyebab utama masuknya barang impor baru-baru ini.

“Pengawasan terhadap barang impor ke depan harus ditingkatkan,” ujarnya.

Ibu Anindya mengatakan dia sadar bahwa keputusan pembeliannya dapat berdampak negatif pada produsen lokal.

“Sebaliknya, jika pakaian yang dibuat oleh produsen kita tidak sesuai dengan apa yang kita suka kenakan, mengapa kita harus membelinya?” dia berkata.

sbobet terpercaya

By gacor88