18 April 2023
JAKARTA – Perdagangan saham, valas, dan berjangka, atau sekadar perdagangan, telah mengalami peningkatan minat yang signifikan selama beberapa dekade terakhir. Booming dot-com pada tahun 1990an dan krisis keuangan global pada tahun 2008 adalah dua peristiwa yang membawa perdagangan ke garis depan perhatian publik dan berkontribusi pada semakin populernya perdagangan. Ada yang mengambil jalur lambat dan mantap, ada pula yang mengambil pendekatan lebih agresif.
Rizki Aditama adalah salah satu orang yang memilih gaya hidup trading yang mantap. Pedagang berusia 30 tahun di Banyuwangi, Jawa Timur ini, sudah hampir satu dekade berdagang. Baginya, keseharian biasanya dimulai pada pukul 05.00 saat ia bangun dan berolahraga pagi atau menghabiskan waktu bersama keluarga hingga pukul 08.00. Dia kemudian menghabiskan sekitar dua jam untuk meneliti dan berdagang di kantor pusatnya.
Setelahnya, Rizki menikmati sarapan bersama keluarga dan tidur sebentar di siang hari. Dia kemudian melanjutkan pekerjaannya dan berdagang selama dua hingga tiga jam di sore hari selama sesi London.
Di akhir sesinya, Rizki akan bersantai selama tiga jam sebelum kembali ke YouTube untuk berdagang secara langsung. Lalu dia mengakhiri hari itu dan pergi tidur.
Ilham Juniar Pratama di Bandung juga termasuk di antara orang-orang tersebut. Rutinitasnya sehari-hari mirip dengan Rizki. Dia bangun dari tempat tidur setiap pagi, menyalakan komputernya, masuk ke pasar dan membuka posisi perdagangan. Pria berusia 28 tahun yang telah mencari nafkah selama delapan tahun ini hanya melakukan perdagangan sekali sehari karena ia melakukan perdagangan intraday.
Berdasarkan standar masyarakat, baik Rizki maupun Ilham tidak memiliki cara hidup yang paling konvensional, sehingga menimbulkan pertanyaan dan perbedaan pendapat dari orang-orang terdekat mereka.
“Awalnya, keluarga saya tidak mendukung saya untuk mendalami dunia perdagangan. (Saya ingat bagaimana), tahun 2014, ketika (akses internet) belum seramai sekarang, saya harus bergantung pada warung internet dan bekerja sampai larut malam,” kata Ilham.
“Orang tuaku marah kepadaku karena aku jarang pulang ke rumah. Oleh karena itu mereka tidak mengizinkan saya (berdagang). Ketika saya memperoleh keuntungan pertama saya pada tahun 2015, saya menyerahkannya kepada orang tua saya (dan mereka senang).
“Tentu saja (mereka) bertanya dari mana uang itu berasal, ya saya (akhirnya) menjelaskan (bahwa) saya jarang pulang dari warung internet (karena) saya belajar berdagang dan (berusaha) menghasilkan uang dari berdagang yang dimiliki.”
Dalam kasus Rizki, berdagang adalah salah satu impiannya, karena ia selalu menginginkan pekerjaan yang memungkinkannya bekerja dimanapun ia mau.
“Kalau saya belum familiar dengan dunia commerce, mungkin saya akan memilih berkarir di dunia YouTube atau media sosial lainnya karena tidak membutuhkan modal yang besar di awal.”
“Kemudian, jika saya memiliki penghasilan tetap dan menabung cukup banyak, saya berencana untuk terjun ke dunia real estat. Namun karena saya tidak tumbuh di keluarga kaya, mungkin akan sulit bagi saya untuk memulai karir di bidang real estate,” jelasnya.
Jalan menuju kesuksesan
Seorang teman mengenalkan Rizki pada trading forex sembilan tahun lalu saat kuliah. “Saya langsung ketagihan dan mulai belajar dengan menguji akun demo,” ujarnya. “Saya berlatih selama beberapa tahun sebelum akhirnya menabung sebagian dari gaji saya sebesar Rp 200.000 (US$13,15) dan menginvestasikannya di rekening perantara.”
“Saat itu, gaji saya hanya Rp 1.000.000 ($65,77) per bulan,” katanya.
Dia pergi ke Australia pada tahun 2019 untuk mencari peluang baru dan menghabiskan lebih dari Rp50.000.000 ($3.288,59) di forex untuk pelatihan, mentoring, dan pembinaan.
“Saya mulai menambah modal saya menjadi Rp 10.000.000 ($657,72), namun sayangnya uang tersebut gagal dalam waktu seminggu karena (saya) memiliki pola pikir trading yang salah dan keserakahan yang berlebihan. Saya (mengambil cara yang lebih agresif) dengan mengambil risiko 10 persen per transaksi,” jelas Rizki. Trader yang lebih agresif biasanya bersedia menyisihkan hingga 10 persen dana di akunnya untuk menangani potensi risiko trading.
“Namun, saya tidak menyerah dan melakukan deposit berulang kali hingga saya menghabiskan lebih dari Rp 400.000.000 ($26.310,60). Ketika saya kehilangan uang itu, saya langsung sakit dan tidak bersemangat (tentang apa pun) lagi.”
“Saya meminjam uang dari bank dan kartu kredit Australia, sehingga saya harus membayar bunga bulanan yang cukup besar,” kata Rizki. “Jadi saya memutuskan untuk mereproduksinya dan berdagang dengan lebih hati-hati dengan menetapkan risiko minimal dan fokus pada risiko dan imbalan yang sesuai.”
Dia harus menahan keinginan untuk bertindak berdasarkan keserakahannya untuk menghasilkan uang dengan cepat dengan menjaga emosi dan logikanya tetap terkendali.
“Alhamdulillah, dengan kerja keras dan kesabaran yang besar, uang saya bisa pulih berkali-kali lipat, meski memakan waktu yang cukup lama,” ujarnya.
Sedangkan Ilham dipasarkan dengan usia yang lebih muda dari Rizki. Perkenalan pertamanya dengan dunia perdagangan terjadi pada tahun 2012 ketika ia duduk di bangku kelas dua di sebuah sekolah menengah kejuruan.
Ilham tumbuh dalam keluarga berpenghasilan rendah, jadi dia mencari “cara menghasilkan uang di Internet” di Internet. Akhirnya dia memberikan beberapa saran.
“Yang saya soroti saat itu adalah investasi perdagangan kripto,” ujarnya.
Ilham membeli Bitcoin pertamanya pada awal tahun 2013 setelah bekerja di bidang IT selama bertahun-tahun. “Harganya sekitar Rp 3.000.000 atau $200 per keping. Saya hanya membeli satu chip, yang kemudian saya jual pada Desember 2013 seharga $1.100,” jelasnya.
Ini merupakan langkah signifikan bagi Ilham karena ia menginvestasikan Rp3.000.000 ($197,26), yang kemudian menjadi Rp 15.000.000 ($986,31) hanya dalam beberapa bulan.
“(Sejak saat itu) saya mulai trading untuk mendapatkan penghasilan bulanan, khususnya forex.
Perdagangan untuk generasi muda
Meski berdagang bisa memberikan pendapatan yang stabil, Ilham mengingatkan bahwa hal ini lebih menantang dari perkiraan sebagian orang.
“Selain keahlian dan pengalaman bertahun-tahun, saya membutuhkan dana yang cukup untuk mencapai level ini. Perdagangan juga memerlukan penggunaan modal utama dalam bentuk uang,” kata Ilham.
“Misalnya, ketika saya mulai berdagang pada tahun 2014, biaya hidup bulanan saya adalah Rp 3.000.000 ($195,26). Jadi modal yang saya butuhkan adalah Rp 30.000.000 ($1.952,62),” kata Ilham.
“Perdagangan pada dasarnya adalah bisnis yang serius. Anda tidak dapat memiliki modal Rp 100,000 ($6,51) atau Rp 1,000,000 ($65,09). Sebelum Anda dapat menjadikan perdagangan sebagai sumber penghasilan utama Anda, Anda perlu mencari tahu berapa banyak uang yang harus Anda hidupi untuk suatu bisnis. bulan (dan mulai dari sana),” katanya.
Menurut Rizki, generasi muda lebih akrab dengan teknologi dan internet sehingga memudahkan dalam mencari informasi dan mengakses platform perdagangan online.
“Banyak anak muda yang ingin mencari sumber penghasilan tambahan, dan trading forex bisa menjadi pilihan yang menarik,” ujarnya.
Selain itu, ia percaya bahwa generasi muda lebih berani mengambil risiko dan secara aktif mencari peluang untuk meningkatkan pendapatan mereka. Sebaliknya generasi tua lebih menyukai bentuk investasi yang realistis dan praktis seperti properti, tanah atau emas, kata Ilham.
Ilham yakin banyak orang yang tergoda untuk berdagang karena mereka “percaya bahwa berdagang adalah cara mudah menjadi kaya dengan cepat dengan modal kecil”. Namun, hal ini tidak selalu terjadi.
“(Ada) banyak informasi yang menyimpang di berbagai media yang mengindoktrinasi generasi sekarang, menyesatkan mereka dengan membuat mereka mengandalkan emosi dan sumber daya yang paling sederhana.”
Bagi Rizki, trading forex bukan sekedar cara menghasilkan uang. Ini juga merupakan kesempatan baginya untuk mengembangkan dan meningkatkan dirinya secara pribadi. “Saya bisa menelusuri peluang dari perubahan nilai mata uang asing dan meningkatkan kemampuan analitis dan peramalan saya (dari situ),” ujarnya.
Rizki menilai banyak orang yang keliru memandang trading sebagai “jalur cepat menuju kaya”. Pemikiran ini diabadikan dan diperburuk oleh sekelompok kecil orang yang memamerkan kekayaan mereka, yang mungkin diperoleh dari berdagang, di media sosial.
“Trading menurut saya bukanlah cara yang cepat dan mudah untuk mengumpulkan kekayaan. Untuk sukses dalam trading, Anda harus belajar dan bekerja keras, sama seperti di industri lainnya,” ujarnya. “Jangan terjebak. oleh asumsi perdagangan yang salah yang hanya menawarkan ekspektasi yang tidak realistis.”
Sementara itu, Ilham prihatin dengan asumsi yang salah mengenai perdagangan, terutama setelah opsi biner, media banyak memberitakan skandal skema penipuan yang melibatkan perdagangan.
“Masyarakat menganggap segala bentuk perdagangan sebagai perjudian. Mereka juga mempertanyakan legitimasi perdagangan,” kata Ilham.
Menurut Ilham, forex dan cryptocurrency sangat berbeda dengan opsi biner. “Mereka legal di Indonesia dan di seluruh dunia,” ujarnya.
“Kasus opsi biner di Indonesia sangat mempengaruhi kemajuan media sosial saya dalam hal pengikut Instagram dan pelanggan YouTube,” tambahnya. “Masyarakat (seharusnya) lebih menerima hal ini, dan para pedagang harus memberikan informasi yang mendalam karena ada banyak jenis perdagangan selain opsi biner,” ujarnya.
Saat ditanya apakah ada investasi yang lebih aman dibandingkan trading forex, Rizki mengatakan, “Menurut saya, berbagai investasi seperti real estate, deposito, saham, dan obligasi lebih aman dibandingkan forex.”
“Tetap saja, perdagangan valas merupakan pilihan investasi menarik yang dapat menghasilkan keuntungan besar jika dikelola dengan baik. Namun setiap investasi memiliki risikonya sendiri, yang harus kita nilai dengan cermat sebelum melanjutkan.”
Beragamnya risiko dalam berdagang masih membuat Ria Aresta (30) takut untuk memberikan kesempatan.
“Sejujurnya, trading adalah sesuatu yang saya tidak tahu. (Tapi saya merasa berdagang) belum tentu menjamin (keamanan finansial),” kata guru bahasa Inggris yang tinggal di Padang itu.
Terlepas dari itu, Ilham berpendapat bahwa masa depan perdagangan cerah bagi semua orang, terutama kaum muda. Ia memperkirakan masyarakat harus menyesuaikan praktik kerja mereka seiring dengan adaptasi terhadap cara hidup digital yang baru.
“Dan perusahaan akan menggunakan robot sebagai karyawannya. Kita sebagai generasi muda tidak bisa terus-menerus bergantung pada usaha orang lain,” ujarnya.
Meski awalnya Ilham mempunyai cita-cita selain berdagang, namun kehidupan membawanya ke jalan yang berbeda. Namun, ia berniat menjajaki jalur lain, seperti investasi sektoral, kewirausahaan, atau memulai bisnis sendiri di masa depan.
“Tujuan saya tahun ini adalah berhenti menjadi pedagang penuh waktu dan menjadi pedagang dan pemilik perusahaan,” katanya. “Saya ingin menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang membutuhkan, terutama di bidang IT, tempat saya dulu bekerja.”