1 Maret 2023
JAKARTA – Kebebasan berekspresi secara digital akan semakin terpuruk menjelang pemilu tahun 2024, seperti yang diprediksikan oleh sebuah studi pengawas mengenai serangan siber, ketika negara ini memasuki periode persaingan yang semakin ketat untuk merebut hati dan pikiran pemilih Indonesia yang paham internet.
Secara khusus, jumlah serangan siber terhadap suara-suara kritis kemungkinan akan meningkat tahun ini, menurut studi terbaru yang dilakukan oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).
Laporan tersebut menemukan bahwa serangan digital di negara ini meningkat lebih dari dua kali lipat dalam dua tahun terakhir, dari 147 kasus terpisah pada tahun 2020 menjadi 302 kasus pada tahun lalu. Hal ini menegaskan tren yang telah berkembang sejak awal masa jabatan kedua Joko “Jokowi” Widodo.
Serangan tersebut menargetkan sedikitnya 130 orang, sebagian besar aktivis, mahasiswa dan jurnalis, yang mengkritik pemerintah.
Pada bulan September 2022, gelombang serangan dunia maya menargetkan situs web perusahaan media lokal Narasi TV dan akun media sosial jurnalis dan karyawannya, termasuk pendiri dan jurnalis kawakan Najwa Shihab.
Insiden itu terjadi setelah outlet tersebut menerbitkan liputan tentang pakaian mewah seorang perwira senior polisi nasional pada konferensi pers satu kali tentang rencana pembunuhan yang melibatkan mantan kepala polisi dalam negeri, Ferdy Sambo.
Narasi mengajukan laporan polisi tentang insiden tersebut tetapi belum menerima informasi apa pun sejak bulan lalu yang sedang diselidiki polisi, menurut laporan setempat.
Sebelumnya pada bulan Agustus, setidaknya 10 orang menjadi sasaran serangan digital menyusul gelombang protes online terhadap keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang memblokir akses ke penyedia layanan digital populer yang banyak digunakan namun tidak mematuhi peraturan pemerintah.
Pada bulan April, setidaknya 12 mahasiswa yang bergabung dalam aksi unjuk rasa untuk memprotes gagasan perpanjangan batas masa jabatan presiden dan penundaan pemilu menghadapi upaya penyerang tak dikenal untuk mengambil kendali akun media sosial mereka.
Pada Februari 2022, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Sasmito Madrim menjadi sasaran para peretas yang mengambil alih akun WhatsApp miliknya dan menyebarkan informasi menyesatkan.
Dalam sebagian besar kasus, masih belum jelas siapa pelakunya. Namun berdasarkan latar belakang para korban, jelas bahwa serangan siber tersebut bermotif politik dan akan meningkat menjelang hari pemungutan suara, kata Sekretaris SAFEnet Anton Muhadjir.
Salah satu prediksinya menjelang pemilu tahun 2024 adalah peretasan akun media sosial dan perangkat elektronik akan tetap menjadi bentuk serangan siber yang paling umum, diikuti dengan doxing.
“Kami yakin (serangan digital) akan meningkat, hanya dengan melihat data tiga tahun terakhir. Serangan digital cenderung meningkat ketika ada momen-momen penting secara politik,” katanya pada acara peluncuran laporan tersebut baru-baru ini.
Anton menambahkan, serangan bermotif politik terhadap kompetitor atau pendukungnya juga sangat mungkin terjadi.
Kurangnya otoritas
Sementara itu, pihak berwenang lambat dalam menindaklanjuti serangan siber terhadap warga sipil dan database pemerintah.
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada pekan lalu mengatakan bahwa upaya sedang dilakukan untuk memitigasi potensi peningkatan serangan siber menjelang pemilu 2024, menurut pernyataan yang dikeluarkan di situs berita yang berafiliasi dengan Polri.
Tahun lalu, anggota parlemen mengesahkan Undang-Undang Privasi Data, yang memberi warga negara kendali lebih besar atas informasi pribadi mereka secara online dan berupaya memacu peningkatan keamanan siber di tengah berbagai gelombang serangan digital.
Namun pemerintah belum membentuk lembaga pengawasan sebagaimana diamanatkan undang-undang, mengingat proses penyusunan peraturan pelaksanaan yang sedang berlangsung. Kompas dilaporkan setiap hari. Badan tersebut akan bertanggung jawab untuk menetapkan rincian kebijakan perlindungan data negara tersebut.
Shevierra Damadiyah, anggota Koalisi Advokasi Perlindungan Data Pribadi, mendesak pemerintah menciptakan ekosistem yang sehat untuk perlindungan data pribadi dan keamanan digital guna mencegah kebocoran data dan serangan siber.
Dia mengatakan masyarakat sipil harus memantau lembaga badan pengawas tersebut untuk memastikan independensinya.
“Undang-undang (Privasi Data) mewajibkan pengontrol data pribadi untuk menjamin keamanan data yang dikelolanya,” ujarnya Jakarta Post Senin.
Pembatasan bicara yang ‘mengkhawatirkan’
Studi SAFEnet juga menemukan bahwa tahun 2022 merupakan tahun terburuk bagi kebebasan berekspresi dalam sembilan tahun terakhir, berdasarkan banyaknya kasus terhadap pengkritik pemerintah atau lembaga negara.
Sebanyak 97 penyidikan terhadap kritikus online yang melibatkan 107 orang ditindaklanjuti polisi sepanjang tahun 2022, hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Aktivis, jurnalis, dan mahasiswa yang menggunakan media digital untuk menyuarakan kritiknya menghadapi ancaman pasal-pasal dalam KUHP yang baru direvisi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang membatasi kebebasan berpendapat.
Komisi I DPR yang membidangi komunikasi dan informasi sedang membahas rencana revisi UU ITE pada sidang berikutnya mulai bulan depan.
Anggota Komisi I Bobby Adhityo Rizaldi dari Partai Golkar mengatakan, pembahasan tersebut bertujuan untuk memastikan UU ITE sejalan dengan KUHP baru.