30 Maret 2023

JAKARTA – Dengan semakin banyaknya diskusi mengenai kesehatan mental, banyak organisasi lokal yang mendorong mereka yang mengalami kesulitan mental untuk mencari bantuan profesional. Namun ada pula yang menemui hambatan dalam perjalanannya

Perawatan kesehatan mental, yang dulunya merupakan topik yang tabu, kini muncul dari bayang-bayang dan semakin diterima secara luas. Kisah-kisah mengenai masalah ini, yang beberapa di antaranya telah menjadi viral di media sosial, menjadi bukti perubahan signifikan dalam sikap masyarakat terhadap masalah kritis ini.

Dalam upaya untuk menghilangkan hambatan yang menghalangi individu untuk menerima layanan kesehatan mental yang penting, pusat kesehatan masyarakat di kota-kota seperti Jakarta telah mengambil langkah maju dengan menjadikan layanan tersebut lebih mudah diakses melalui skema harga yang terjangkau.

Diah Ningrum, mahasiswi berusia 27 tahun yang tinggal di Jakarta, menggunakan layanan tersebut karena kesehatan mentalnya yang memburuk. Sekitar dua tahun lalu, Diah mengalami kecemasan, mudah tersinggung, dan pikiran negatif yang mengganggu saat bekerja di sebuah start-up. Ia mengatakan gejala tersebut sangat mengganggu konsentrasinya dalam bekerja.

“Kalau aku cemas banget, maksudnya kalau kecemasanku parah, bahu dan leherku terasa tegang juga,” tambah Diah.

Gejala fisik lainnya, seperti sesak napas dan jantung berdebar, muncul saat ia menghadapi situasi “pemicu”.

Diah memutuskan menemui psikolog untuk mengatasi gejalanya. Ia memilih institusi kesehatan jiwa di Jakarta Selatan. Namun, prosesnya tidak mulus; dia harus menunggu tiga sampai empat minggu untuk menemui psikolog.

Karena Diah menyadari bahwa gejalanya menjadi “tak tertahankan”, dia memutuskan untuk mendaftar sesi telekonseling sebelum sesi terapi yang dijadwalkan. Saat itulah dia berbicara dengan seorang psikolog melalui telepon, dan meskipun menurutnya psikolog tersebut melakukan pekerjaan yang “baik-baik saja”, dia memilih untuk tidak melanjutkan sesi tersebut.

“Saya tidak punya masalah dengan reaksi psikolog terhadap penderitaan saya. Namun konseling melalui telepon terasa kurang nyaman. Saya merasa kurang dekat dengannya,” kata Diah.

“Dan kemudian, ketika saya bertanya apakah saya memerlukan sesi lagi, dia menyarankan: ‘Tunggu dulu, mari kita lihat bagaimana perkembangannya’. Jadi saya berpikir, ‘Mari kita tidak melanjutkan konseling lewat telepon.’

Sayangnya, saat Diah akhirnya bertemu dengan psikolog yang ditunggu-tunggunya, ia merasa kurang puas dengan pelayanan yang diberikan.

“Saat saya bercerita tentang masalah saya, reaksinya dingin,” kenang Diah. “Dan untuk pertemuan pertama saya merasa dia terlalu konfrontatif.”

“Saya pikir mungkin ada orang yang langsung membentak setelah pertemuan konfrontatif seperti itu. Namun, saya pribadi percaya bahwa pertemuan pertama harus membahas proses keterbukaan.”

Diah mencatat, psikolog tersebut bertindak menghakimi berdasarkan ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya.

Ketidakpuasannya mendorongnya untuk mencari profesional lain. Dia mengunjungi departemen psikologi di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta, yang menurut Diah memberikan perawatan yang lebih baik.

“Saya merasa nyaman dengannya karena dia penuh perhatian dan empati. Dia juga mengonfrontasi saya tentang masalah saya, tapi melakukannya secara bertahap,” kata Diah menceritakan pengalamannya.

“Saya juga merasa nyaman dengan perlakuan dan reaksinya. Cara dia menyampaikan psiko-edukasi juga sesuai dengan selera saya.”

Diah bertemu dengan psikolog selama lima sesi, dari awal hingga akhir terapi. Pada pertemuan keduanya, psikolog menyarankan agar dia menemui psikiater untuk membantunya mengatasi gejala-gejala yang mengganggu. Dia merujuk Diah ke rekannya di rumah sakit yang sama.

Terapi navigasi: Ketidakpuasan dapat terjadi karena terapis dan klien belum mendiskusikan tujuan pengobatan sebelum sesi dimulai. (Pexels/Alex Hijau) (Pexels/Alex Hijau)

Berbeda dengan psikolog, psikiater adalah dokter berlisensi yang berspesialisasi dalam kesehatan mental, yang berarti mereka dapat meresepkan obat kepada pasien untuk meringankan gejala psikologis dan fisik tertentu.

Sayangnya, Diah tidak mendapat pelayanan memuaskan dari psikiater yang dirujuk. Dia mengatakan kepada psikiater bahwa dia khawatir obat tersebut akan berdampak negatif terhadap kinerja kerjanya.

“Saya tidak menyangka psikiater itu benar-benar mendengarkan saya,” kata Diah. “Penjelasannya tentang narkoba terlalu singkat dan tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan saya.” Ketika dia mendapatkan obatnya, Diah terkejut karena psikiater memberinya obat penenang, meskipun dia khawatir dengan kategori obat tersebut.

Diah kemudian menjadwalkan janji temu dengan psikiater lain untuk mendapatkan opini kedua. Meski pola pengobatan, konsultasi, dan resepnya serupa, Diah mengatakan psikiater lebih memperhatikannya.

“Psikiater juga mendengarkan keluh kesah saya mengenai obat yang diresepkan,” jelas Diah. “Dia mengerti bahwa saya tidak menginginkan obat-obatan tertentu, seperti obat penenang. Tapi dia juga menjelaskan bahwa berdasarkan masalah saya, saya sebenarnya membutuhkan obat-obatan itu.”

Harapan yang tidak terpenuhi

Sebagai psikolog klinis dengan pengalaman empat tahun, Elya Marfu’atun, 28 tahun, menyadari sebagian penerima layanan kesehatan jiwa mengalami ketidakpuasan. Elya menjalankan biro psikologinya sendiri di Yogyakarta, bernama BuildUp Consulting, dan mengajar psikologi di universitas negeri.

Di bironya, sekitar 50 persen klien tidak kembali setelah sesi konseling pertama, meskipun mereka disarankan untuk menjalani sesi berikutnya. Jadi, biasanya asistennya akan menghubungi masing-masing klien melalui SMS untuk ditindaklanjuti, namun ada juga yang tidak merespon.

Ia menjelaskan, terkadang klien mungkin tidak puas dengan layanan kesehatan mental jika harapannya tidak terpenuhi. Hal ini bisa terjadi karena terapis dan klien belum mendiskusikan tujuan pengobatan sebelum sesi dimulai.

Oleh karena itu, pembahasan mengenai harapan klien terhadap sesi konseling harus dilakukan dan disepakati di awal sesi, kata Elya. “Di akhir sesi akan menjadi panduan untuk melakukan evaluasi selama kita menyelesaikan penyuluhan.”

Elya juga mengatakan, ketidakcocokan antara klien dan ahli kesehatan mental, dalam tipe kepribadian atau pandangan dunia, menimbulkan hambatan selama sesi konseling.

“Ini karena psikolog dan klien (hubungannya soal) kecocokan,” jelas Elya. “Ini tidak berarti bahwa ketidakcocokan disebabkan oleh psikolog yang buruk atau klien yang terlalu menuntut.”

Diah juga berpendapat serupa. Dia berbicara kepada orang lain yang kecewa dengan layanan kesehatan mental yang mereka terima. Menurut Diah, klien yang merasa tidak puas ini memilih untuk tidak mendekati profesional kesehatan mental lainnya karena mereka menganggap pengalaman yang mereka alami juga akan sama mengecewakannya.

Sementara itu, Elya menegaskan, tenaga kesehatan jiwa juga merupakan orang-orang yang memiliki permasalahan dan batasannya masing-masing. Mengadakan sesi konseling memang melelahkan baginya, ia harus mencurahkan isi hatinya, sedangkan kliennya juga harus menanggung jiwanya.

Ketika dirasa kondisinya kurang baik, Elya akan menunda sesi konselingnya karena khawatir tidak memberikan pelayanan yang memadai kepada kliennya.

“Menurut saya, seorang psikolog harusnya punya kesadaran diri,” yakin Elya. “Kita perlu tahu jika kita merasa tidak baik-baik saja, dan jika itu masalahnya, lebih baik kita tidak berurusan dengan klien mana pun sama sekali.”

Selain ekspektasi yang tidak terpenuhi, Elya menjelaskan, masalah keuangan bisa menyebabkan klien menghentikan pengobatannya. Bagi sebagian orang, layanan kesehatan mental bisa jadi mahal. Puskesmas bisa menjadi alternatif yang lebih murah, namun daftar tunggunya bisa panjang.

Elya yang juga bekerja di salah satu puskesmas di Yogyakarta mengatakan, biasanya puskesmas hanya memberikan pertolongan pertama saja dan akan merujuk klien yang mengalami masalah serius ke institusi yang lebih besar.

Diah, yang telah menemui lima ahli kesehatan mental, mengakui bahwa dia memiliki sumber daya keuangan untuk mendukung kebutuhan kesehatan mentalnya, tidak seperti kebanyakan orang lainnya.

Ia belajar psikologi untuk gelar sarjananya dan saat ini sedang menjalani pelatihan untuk menjadi psikolog klinis di sebuah universitas di Jakarta. Latar belakang pendidikannya membuat Diah semakin sadar akan pentingnya peningkatan kesehatan mental.

“(Klien) harus gigih karena mengunjungi lima profesional berbeda hingga menemukan seseorang yang cocok dengan Anda berarti harus bertemu dengan lima orang berbeda tersebut dan menjelaskan permasalahan Anda dari awal,” jelas Diah.

“Dan diperiksa oleh psikolog atau psikiater tentu melelahkan, apalagi jika profesionalnya tidak cocok (dengan kita) atau tidak memenuhi harapan (kita).

By gacor88