8 Februari 2023
JAKARTA – Pemerintah telah membalikkan keadaan atas buruknya kinerja Indeks Persepsi Korupsi (IPK) baru-baru ini dan menggunakannya sebagai alasan untuk menggalang dukungan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial sebagai cara untuk memotong birokrasi.
Studi global terbaru yang dilakukan oleh Transparency International menggambarkan sejauh mana kemunduran dalam pemberantasan korupsi di negara ini, karena pemerintah terlalu fokus pada pendekatan ekonomi ke depan dalam pembangunan dan peningkatan daya saing internasional.
Namun seorang menteri senior mengatakan sebaliknya, dengan menyatakan bahwa upaya pemerintah untuk menyederhanakan aturan bisnis melalui pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial pada akhir tahun 2020 dimaksudkan untuk memusatkan proses perizinan berusaha untuk memutus rantai korupsi.
“Masalahnya terletak pada birokrasi perizinan dan kolusi dalam prosesnya. Makanya pemerintah mengusulkan (penyusunan UU Cipta Kerja) dengan metode omnibus,” kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD kepada wartawan, Jumat.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo baru-baru ini mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tentang penciptaan lapangan kerja untuk menghidupkan kembali undang-undang ketenagakerjaan, yang tahun lalu dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi karena menggunakan metode omnibus yang tidak dikenal. Para kritikus menuduh pemerintah mengabaikan perdebatan yang tepat di badan legislatif.
Undang-undang ketenagakerjaan merombak lusinan undang-undang secara bersamaan untuk menyederhanakan peraturan bisnis di negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, yang terkenal dengan birokrasinya yang berbelit-belit.
Mahfud mengatakan, aparat penegak hukum telah bekerja sangat baik dalam mengusut kasus korupsi dalam tiga tahun terakhir, dengan mencontohkan penyidikan kasus Jiwasraya, Asabri, dan pengadaan satelit komunikasi pertahanan yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Pernyataannya tersebut menanggapi CPI baru-baru ini yang mengungkapkan bahwa skor Indonesia turun empat poin menjadi 34, sehingga menjadikan kinerja negara ini sebagai salah satu yang terburuk secara year-on-year (y-o-y) di kawasan. Negara ini kini berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei dalam studi ini, di bawah negara tetangganya Singapura, Malaysia, Timor-Leste, Vietnam, dan Thailand.
Penurunan skor CPI menegaskan bahwa strategi pemerintah untuk memberantas korupsi dengan meningkatkan kemudahan berusaha, sementara pada saat yang sama para pembuat kebijakan telah mencoba untuk meniadakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan merevisi undang-undangnya, telah gagal, kata Transparansi. Internasional Indonesia.
CPI mengidentifikasi “indeks layanan risiko politik”, salah satu dari delapan sumber yang digunakan untuk menyusun CPI, sebagai kontributor utama terhadap penurunan skor keseluruhan, yang menunjukkan bahwa korupsi, penyuapan, suap ilegal, dan konflik kepentingan di kalangan pengambil keputusan semakin sering terjadi. . .
Alvin Nicola dari Transparency International Indonesia mengatakan pada hari Minggu bahwa pemerintah harus lebih fokus pada peningkatan demokrasi substantif dan sistem checks and balances serta pemberantasan korupsi di bidang politik.
Zaenur Rohman dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) juga berpendapat, proses legislasi undang-undang ketenagakerjaan yang tidak demokratis menjadi salah satu permasalahan yang menyebabkan turunnya nilai CPI.
Pernyataan menteri senior itu salah dan tidak berdasar, katanya, Minggu.
Zaenur menyarankan agar negara ini mereformasi lembaga-lembaga penegakan hukum dan memperkuat pengawasan internal dan eksternal mereka, serta memperkenalkan kebijakan-kebijakan baru yang akan membantu pemerintah memerangi suap dan pencucian uang.
Dia merujuk pada RUU penyitaan aset yang akan memungkinkan pihak berwenang untuk menyita aset haram sebelum hukuman pidana dan RUU yang akan membatasi transaksi tunai.
Para pengambil kebijakan menunda rancangan undang-undang tersebut selama bertahun-tahun sejak pertama kali diusulkan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada Desember 2022, RUU perampasan aset masuk dalam daftar RUU prioritas tahun ini. Namun Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum belum memulai pembahasannya.
Taufik Basari dari Partai NasDem mengatakan anggota parlemen menunggu pemerintah menyampaikan rancangan undang-undang tersebut lengkap dengan dalil-dalilnya.