26 Mei 2023
JAKARTA – Janji-janji yang menggiurkan pada akhirnya menyebabkan banyak pekerja menjadi korban perdagangan manusia
“Itu semua salah saya, kebodohan saya menerima pekerjaan sebagai penipu karena saya harus lari dari kehidupan setelah menghadapi beberapa masalah pribadi,” kata Santoso, lulusan sastra Inggris.
Ia bermaksud mengejar gelar pendidikan tinggi dengan mengajukan gelar master di bidang film atau visa liburan kerja ke Melbourne dan untuk membiayainya ia menerima “pekerjaan administratif” dengan gaji bulanan sebesar Rp 17 juta di kawasan Segitiga Emas. Laos menawarkan. .
Dari April 2022 hingga November 2022, dia berada di provinsi Bokeo, yang dia gambarkan sebagai “akuarium mafia”. Dia bekerja sebagai penipu yang menipu orang-orang di Amerika Serikat agar berinvestasi dalam skema kripto palsu. Setelah beberapa bulan, dia muak dengan pekerjaannya, namun terpaksa membayar uang tebusan sebesar Rp 80 juta (US$5.374) kepada majikannya untuk melarikan diri. Jika tidak, mereka mengancam akan membuangnya ke Sungai Mekong. Seluruh tabungannya digunakan untuk uang tebusan yang diminta perusahaannya.
Jumlah korban lowongan pekerjaan ilegal telah meningkat secara signifikan selama pandemi COVID-19, menurut Yusuf Ardabili, pekerja bantuan hukum di Migrant Care, sebuah LSM yang mendukung pekerja migran Indonesia. Ia menyebutkan berbagai jenis pekerjaan yang menjadi jebakan bagi masyarakat Indonesia, mulai dari “jabatan administratif” di industri perjudian online hingga pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga.
Yusuf menegaskan bahwa kebanyakan orang tidak menyadari bahwa mereka cenderung bekerja di perusahaan palsu atau menjadi penipu, namun seringkali mereka putus asa untuk mendapatkan pekerjaan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 5,86 persen pada Agustus 2022, menyebabkan sedikitnya 8,42 juta orang menganggur di seluruh Indonesia. Akibatnya, banyak orang, terutama para pengangguran dan setengah pengangguran, beralih ke media sosial untuk mencari peluang, namun munculnya jejaring sosial justru membawa lebih banyak mimpi buruk daripada imbalan.
Dampak pandemi
Yusuf mengatakan bahwa tahun lalu Migrant Care menerima laporan mengenai 189 kasus individu yang dibujuk untuk melakukan pekerjaan curang. Berdasarkan penelitian, mayoritas korban perdagangan orang di negara-negara seperti Laos, Myanmar, Thailand dan Filipina adalah laki-laki (91,8 persen).
“Banyak lulusan baru dan mereka yang kehilangan pekerjaan selama pandemi mungkin tergiur dengan tawaran pekerjaan yang menawarkan antara Rp 8 juta hingga Rp 30 juta,” kata Yusuf saat diwawancara Zoom pada 6 Mei.
Gaji yang dipasang perusahaan penipu hampir dua atau tiga kali lipat upah minimum regional (UMR). Mengutip KompasUMR tertinggi se-negara berada di Kabupaten Karawang sebesar Rp 5,17 juta, disusul Kota Bekasi sebesar Rp 5,15 juta.
Santoso bukan satu-satunya yang menjadi korban perusahaan curang atau ilegal. sebelumnya, Jakarta Post wawancara dengan Jaya yang memilih untuk tidak menyebutkan nama aslinya, mantan ojek sopir (ojek) yang diperdagangkan ke Myanmar setelah menerima pekerjaan online untuk peran “pemasaran penjualan” di sebuah perusahaan investasi Thailand.
Bisnisnya adalah perusahaan “penipuan cinta”, tugasnya adalah mencuri uang dari orang-orang dengan berpura-pura jatuh cinta kepada mereka. Penipuan ini juga dikenal sebagai “pembantaian babi”, di mana penipu memenangkan kepercayaan korbannya dengan membuat janji cinta dan kemakmuran finansial yang muluk-muluk.
Yusuf memperingatkan bahwa postingan media sosial saat ini dapat menjebak mereka yang tidak waspada, terutama karena banyak bisnis penipuan yang merupakan tiruan dari bisnis yang sah. Ia mengatakan bahwa praktik rekrutmen perusahaan palsu sama dengan bisnis yang sah. Mereka meliput semuanya mulai dari SDM, PR, hingga media sosial. Namun, wawancara tersebut hanyalah formalitas yang tidak diperlukan baik bagi calon karyawan maupun para korban.
Kandidat biasanya diminta untuk mengajukan visa turis dan ditambahkan ke obrolan grup Telegram setelah wawancara mereka. Menurut Yusuf, sebagian besar usaha tersebut juga menjanjikan akomodasi dan transportasi. Selain itu, para korban tidak diberitahu tentang pekerjaan mereka sampai mereka tiba di organisasi palsu tersebut.
Jalan panjang di depan
Mengidentifikasi dan menghindari penipuan pekerjaan di media sosial masih memerlukan perjalanan panjang.
Setidaknya 20 pekerja migran Indonesia baru-baru ini diselamatkan dari organisasi palsu di Myanmar, dan menurut Santoso, ini hanyalah “puncak gunung es.”
“Jangan melamar pekerjaan jika mereka menyuruh Anda melamar dengan visa turis. Harus cek perusahaannya di internet, asli atau tidak,” kata Santoso.
Devi Ariyani, direktur eksekutif Dialog Pelayanan Indonesia (ISD), mengingatkan bahwa pemerintah dan masyarakat tidak bisa hanya fokus pada satu aspek dalam memerangi kejahatan dunia maya. Dia menyatakan bahwa kejahatan dunia maya telah berkembang ke berbagai platform, seperti postingan media sosial, email phishing, dan panggilan telepon.
Oleh karena itu, ia meminta instansi seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan kepolisian harus berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya, termasuk platform media sosial dan perusahaan telekomunikasi.
“Kita tidak bisa hanya melihat permasalahan melalui platform media sosial,” kata Devi.
Menurut Devi, kerja sama dan dukungan masyarakat sangat penting untuk mewaspadai kejahatan siber seperti penipuan lowongan kerja untuk memerangi kejahatan siber. Ia mengatakan hanya sedikit orang yang tahu tentang penipuan pekerjaan di media sosial, sehingga upaya untuk mendidik masyarakat tentang kejahatan dunia maya harus ditingkatkan.
“Pendidikan yang diperlukan tidak bisa hanya sepihak. Pemberantasan kejahatan dunia maya memerlukan upaya komprehensif yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan perusahaan media sosial untuk menonaktifkan akun yang dicurigai sebagai penipuan; lembaga penegak hukum harus proaktif dalam melacak akun-akun tersebut,” kata Devi.
Indonesia bisa belajar dari negara tetangga dalam memerangi perdagangan manusia.
Malaysia mengesahkan Undang-Undang Anti-Berita Palsu pada tahun 2018, dengan denda sebesar 500.000 ringgit ($110.530) bagi mereka yang membuat atau menyebarkan berita palsu dan hukuman penjara hingga enam tahun.
Sementara itu, Singapura mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Terhadap Pemalsuan dan Manipulasi Online (POFMA) pada tahun 2019, dengan denda sebesar S$50.000 ($37.238) atau lima tahun penjara bagi mereka yang menyebarkan informasi palsu secara online.
Menurut Devi, pelatihan yang memadai bagi lembaga penegak hukum sangat penting, terutama mengingat sifat kegiatan kriminal yang selalu berubah. Penjahat terus berevolusi dan mengembangkan metode operasi mereka.
Sebagai perwakilan dari Migrant Care, Yusuf menegaskan bahwa lowongan pekerjaan di media sosial harus diperhatikan.
“Adalah hak Anda untuk bekerja di luar negeri, tapi ada pilihan lain.” Masyarakat yang sudah kembali juga diberikan pembekalan. Karena bekerja di luar negeri aman jika mengikuti acara bursa kerja antar pemerintah (G2G), seperti di Korea Selatan atau Jepang,” jelas Yusuf.
“Akhirnya, berhati-hatilah,” katanya.