27 April 2023
JAKARTA – Indonesia mengalami penurunan peringkat dalam peringkat negara-negara sebagai tempat untuk melakukan bisnis, dengan skor yang buruk dalam penilaian efektivitas politik dan infrastruktur, yang menunjukkan bahwa reformasi struktural yang didorong oleh pemerintah sejauh ini hanya memberikan dampak yang kecil dalam memperbaiki lingkungan bisnis.
Kajian edisi terbaru yang rutin dikeluarkan oleh Economist Intelligence Unit (EIU) yang dirilis pada 13 April menunjukkan bahwa peringkat global Indonesia turun tiga peringkat ke peringkat 58 dari 82 negara yang dinilai.
Indonesia jauh di bawah negara-negara sekawasan seperti Singapura yang berada di peringkat teratas, serta Malaysia di peringkat 26, Thailand di peringkat 33, dan Vietnam di peringkat 45.
“(Indonesia) mendapat nilai sangat buruk dalam hal efisiensi politik dan infrastruktur. Lingkungan politik di Indonesia sedang bermasalah,” Prianthi Roy, Country Forecast Manager EIU, mengatakan kepada The Jakarta Post pada 13 April.
Roy mengatakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo akan “memberikan bantuan tegas” hingga masa jabatan keduanya berakhir pada tahun 2024, namun upayanya untuk mendorong reformasi politik akan terhambat oleh “koalisi yang tidak dapat diatur” dengan pandangan yang sangat beragam.
Situasi ini, kata Roy, akan semakin parah setelah Jokowi lengser karena tidak ada calon presiden yang bisa dipopulerkan oleh partai politik dan masyarakat seperti petahana.
“Beberapa politisi senior akan mendukung kembalinya sistem berbasis patronase, dan yang lainnya berupaya membatasi kebebasan sosial dengan mempromosikan bentuk Islam yang lebih ketat,” kata Roy.
Ia mencatat bahwa infrastruktur Indonesia akan meningkat secara signifikan dari tahun 2023 hingga 2027, namun ia masih tertinggal jauh dibandingkan rata-rata global, karena letak geografisnya yang kepulauan dan sumber daya fiskal yang terbatas menimbulkan tantangan bagi pembangunan infrastruktur negara.
Lingkungan bisnis yang kondusif dianggap penting bagi negara-negara di Asia karena mereka bersaing satu sama lain untuk merangsang investasi asing. Persaingan tersebut baru-baru ini semakin intensif karena perusahaan-perusahaan multilateral menerapkan apa yang kemudian dikenal sebagai strategi Tiongkok Plus 1, yang mana mereka memilih untuk mendiversifikasi investasi mereka di Asia setidaknya ke satu lokasi lagi di luar Tiongkok.
Runtuhnya perekonomian Tiongkok secara besar-besaran sebagai respons terhadap pandemi virus corona, yang menciptakan kemacetan rantai pasokan yang menghambat manufaktur dan perdagangan di seluruh dunia, memberikan dorongan baru bagi strategi ini. Selain itu, China Plus 1 dipandang sebagai cara bagi perusahaan untuk mengurangi risiko yang timbul dari meningkatnya ketegangan antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Berbeda dengan india, posisi Vietnam dalam studi tersebut meningkat 12 peringkat, sedangkan Thailand dan India masing-masing naik 10 dan enam peringkat.
Baik Vietnam maupun Thailand mempunyai kebijakan yang menguntungkan bagi investor asing, menurut analisis EIU, selain prospek ekonomi Vietnam yang lebih baik dan stabilitas ekonomi Thailand yang meningkat.
“India secara historis kesulitan menarik investasi manufaktur, namun kini berada pada posisi yang tepat untuk memanfaatkan tren serupa. Perekonomian yang kuat dan stabil serta akses terhadap pasokan tenaga kerja yang besar menjadi dasar daya tariknya bagi investor,” demikian bunyi analisis dalam laporan tersebut.
“Reformasi kebijakan mempermudah melakukan bisnis di India, dan kami mengharapkan adanya perbaikan besar di berbagai bidang seperti infrastruktur, perpajakan dan regulasi perdagangan, sehingga dapat meningkatkan investasi,” tambahnya.
Berbicara kepada Post, Roy mengakui bahwa reformasi struktural yang dilakukan oleh Indonesia telah berkontribusi terhadap perbaikan prospek negara ini.
Reformasi tersebut mencakup penurunan tarif pajak perusahaan, peningkatan kepatuhan pajak, peningkatan fleksibilitas pasar tenaga kerja dan peningkatan kualitas infrastruktur melalui investasi publik dan pengurangan hambatan birokrasi.
Salah satu proyek reformasi terbesar di negara ini didasarkan pada Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020 dan dilaksanakan melalui banyak peraturan turunannya. Namun, hal ini tidak cukup untuk mencegah negara tersebut jatuh kembali ke peringkatnya.
Arsjad Rasjid, ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia, mengatakan kepada Post pada tanggal 19 April bahwa dampak omnibus law memerlukan waktu untuk diterapkan.
Meski benar masih banyak hal yang perlu diperbaiki, bukan berarti Indonesia tidak membaik, tegas Arsjad seraya menambahkan: Saya optimis kita bisa meningkatkan kemudahan berusaha.
Ditanya mengenai politik dalam negeri, Arsjad mengatakan Indonesia relatif stabil, meski ada kemungkinan pemilu 2024 dapat mempengaruhi kondisi dunia usaha sampai batas tertentu.
Saya yakin pemerintah mampu menjaga keutuhan dan keamanan perayaan demokrasi, kata Arsjad.
Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menuturkan, kondisi Indonesia selalu stabil pada pemilu lalu.
“Prinsipnya investor selalu wait and see (saat pemilu), tapi tidak akan pernah sampai pada level chaos,” kata Andry.
Mengenai hubungan AS-Tiongkok, Andry mengatakan ketegangan geopolitik tentu akan mempengaruhi posisi Indonesia, mengingat kedua negara adidaya tersebut dapat menekan Indonesia untuk memihak, meskipun konstitusi Indonesia menganut prinsip bahwa Indonesia tidak pernah memihak. . .
“Menurut saya sebaiknya kita fokus pada regulasi dunia usaha saja, bagaimana menjaga iklim usaha yang baik,” kata Andry.