11 Januari 2023
JAKARTA – Pertanyaan telah diajukan oleh banyak orang tentang seperti apa prospek ekonomi tahun 2023. Hal ini logis setelah perekonomian Indonesia tumbuh kuat di tahun 2022.
Tetapi untuk mengevaluasi prospek Indonesia 2023, seseorang harus melalui pertanyaan-pertanyaan berikut:
Akankah bank sentral terus menaikkan suku bunga tahun ini untuk melawan inflasi? Apakah pengetatan moneter yang terus berlanjut akan menyebabkan kemerosotan ekonomi atau bahkan resesi? Secara historis, diperlukan waktu beberapa bulan agar pengetatan kebijakan dapat berdampak pada perekonomian, lalu apakah perlambatan atau resesi akan terjadi pada paruh kedua tahun ini? Dan jika hal ini benar-benar terjadi, seberapa parah atau sedangkah perlambatan atau resesi tersebut? Akankah perang di Ukraina berakhir? Bagaimana dengan perekonomian Tiongkok setelah pemerintahnya mengabaikan kebijakan ketat nol-COVID, mencabut pembatasan sosial, dan mulai membuka perekonomiannya? Akankah hal ini mengembalikan lintasan ekonomi Tiongkok ke pertumbuhan yang lebih tinggi, sehingga memicu kenaikan harga bahan mentah dan energi?
Apapun jawaban dari pertanyaan di atas, satu hal yang pasti: pemerintah harus tetap berpegang pada kebijakan ekonomi yang akan memperkuat ketahanan ekonomi, yang berarti melanjutkan kebijakan ekonomi makro yang hati-hati ditambah dengan komitmen reformasi struktural, terutama di bidang perdagangan dan investasi.
Kebijakan fiskal Indonesia yang berhati-hati yang diterapkan selama beberapa tahun telah menjaga defisit dan utang pemerintah pada tingkat yang terkendali dan telah berkontribusi pada stabilitas ekonomi makro.
Total pendapatan hingga November 2022 tumbuh sebesar 40 persen, dengan pertumbuhan luas di seluruh kategori pendapatan utama. Namun, rasio pajak tetap berada di angka 8 persen dari produk domestik bruto (PDB), setengah dari rasio rata-rata negara tetangga, yang berarti potensi penerimaan pajak yang belum dimanfaatkan masih sangat besar. Negara ini memerlukan reformasi pajak lebih lanjut untuk memanfaatkan potensi ini. Menaikkan tarif pajak akan menjadi tidak populer secara politis di tahun pemilu, dan bahkan berisiko menimbulkan reaksi balik terhadap pemerintah, yang membuat pemerintah memiliki dua alternatif: memperluas basis pajak atau menegakkan lebih banyak kepatuhan, terutama dalam pemungutan pajak di sektor bisnis .
Pemberlakuan kembali batas defisit yang dimandatkan secara hukum menjadi 3 persen dari PDB tahun ini dan kemungkinan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah akan mengurangi ruang fiskal. Dalam ruang fiskal yang semakin sempit, peningkatan kualitas belanja menjadi sangat penting, karena setiap unit belanja harus tepat sasaran pada sektor-sektor yang memberikan dampak maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran harus dibuat lebih hemat dan efisien.
Pengeluaran subsidi pada tahun 2022 mencapai Rp 551 triliun (US$36,7 miliar), tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, karena sebagai persentase dari total pengeluaran, subsidi meningkat dua kali lipat dari 9 persen sebelum pandemi menjadi 18 persen pada tahun 2022. Pengeluaran subsidi yang besar pada tahun 2022 sebagian dibenarkan oleh kenaikan harga bahan bakar dunia, kebutuhan untuk melindungi daya beli dalam negeri dan memperkuat jaring pengaman sosial serta kebutuhan untuk memitigasi inflasi. Namun pada tahun 2023, faktor-faktor yang membenarkan besarnya subsidi pada tahun 2022 akan hilang, dan tidak ada alasan untuk mempertahankan subsidi dalam jumlah besar.
Pola belanja yang hampir seperlima dari belanja pemerintah digunakan untuk subsidi adalah tidak sehat, karena belanja subsidi bersifat regresif, sementara belanja dipadamkan untuk sektor-sektor yang lebih bermanfaat untuk pertumbuhan ekonomi seperti infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
Pola belanja di sektor-sektor tertentu juga harus disesuaikan. Misalnya, pengeluaran pemerintah untuk pertanian memadai tetapi tidak efisien. Sebagian besar pengeluaran digunakan untuk subsidi pupuk dan masukan lainnya, kurang untuk penelitian dan pengembangan, irigasi atau penyuluhan. Hasilnya adalah pertanian yang tidak efisien dengan produksi beras yang mahal, sehingga konsumen Indonesia harus membeli beras dengan harga dua kali lipat harga dunia.
Di bidang pendidikan, banyak yang dikeluarkan untuk peningkatan gaji guru, sertifikasi, dan rekrutmen guru kontrak. Hal ini berdampak kecil pada kualitas pembelajaran, seperti yang ditunjukkan oleh kinerja siswa Indonesia yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga dalam Program Penilaian Pelajar Internasional (Organization for Economic Co-operation and Development’s/OECD) untuk Penilaian Pelajar Internasional (PISA).
Sebagian besar pengeluaran investasi pemerintah daerah digunakan untuk aset yang relatif tidak produktif, seperti gedung perkantoran, karena kebijakan pemerintah adalah menambah jumlah provinsi dan kabupaten.
Akibat pandemi, pembangunan infrastruktur menjadi kurang prioritas, karena biaya untuk membendung COVID-19 dan perlindungan sosial menjadi lebih mendesak. Belanja infrastruktur turun tajam dari 17 persen total belanja pada 2019 menjadi 11 persen dari total belanja pada 2022, itupun sebagian besar untuk belanja Kementerian Pertahanan.
Kondisi infrastruktur saat ini, dengan pembangunan yang melambat selama pandemi, tidak lagi dapat mengakomodasi kebutuhan pertumbuhan ekonomi jangka menengah panjang. Ruang fiskal yang tercipta dari reformasi subsidi harus dialokasikan kembali untuk pembangunan infrastruktur
Untuk mencapai pertumbuhan jangka menengah dan panjang yang lebih kuat, kebijakan makroekonomi yang hati-hati saja tidaklah cukup. Hal ini harus dibarengi dengan reformasi perdagangan dan investasi yang diperlukan untuk mengembangkan industri manufaktur yang lebih kuat dan berdaya saing, yang merupakan penggerak pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan industri manufaktur Indonesia dalam satu dekade terakhir masih lesu, hanya separuh dari pertumbuhan beberapa dekade sebelumnya. Menurut Bank Dunia, pangsa ekspor manufaktur Indonesia terhadap ekspor dunia mengalami stagnasi. Sementara industri manufaktur di Malaysia, Thailand dan Vietnam telah mencapai tingkat teknologi dan kecanggihan yang lebih tinggi, manufaktur di Indonesia masih berbasis teknologi dan perakitan sederhana.
Perkembangan industri manufaktur, termasuk industri yang berorientasi ekspor, memerlukan input yang berkualitas baik, termasuk input yang berasal dari impor. Namun berbagai kebijakan pemerintah, termasuk Non-Tariff Measures (NTMs) dan pembatasan jasa membatasi modernisasi industri manufaktur kita. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan reformasi ekonomi, tetapi reformasi yang berhasil membutuhkan komitmen politik dan konsensus politik, yang dalam sistem politik yang demokratis tidak mudah dicapai.
Oleh karena itu, perkembangan perekonomian pada tahun 2023 dan seterusnya bergantung pada kemampuan pemerintah dalam memobilisasi dukungan politik terhadap program reformasi ekonominya.