4 Mei 2023
DHAKA – Saat kita merayakan Hari Kebebasan Pers Sedunia, penting untuk mengakui peran berpengaruh jurnalisme dalam krisis kemanusiaan, seperti kasus pengungsi Rohingya di Bangladesh. Media mempunyai kemampuan untuk membentuk persepsi masyarakat terhadap pengungsi dan mempengaruhi opini suatu negara. Pers di Bangladesh telah mengalami transformasi signifikan dalam menggambarkan masyarakat Rohingya, awalnya menggambarkan mereka sebagai korban yang tidak bersalah dan kemudian sebagai ancaman dan beban, yang sering kali mencerminkan posisi pemerintah.
Pada bulan Agustus 2017, media menggambarkan pengungsi Rohingya sebagai orang-orang yang malang, dianiaya karena etnis dan agama mereka, dan sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan. Bangladesh dipuji karena kebijakan “perbatasan terbuka” yang telah menyelamatkan banyak nyawa warga Rohingya, dan Perdana Menteri Sheikh Hasina dipuji sebagai “ibu kemanusiaan”.
Namun, narasi ini dengan cepat berubah, dan dalam beberapa bulan media fokus pada tekanan ekonomi yang diberikan para pengungsi terhadap negara tuan rumah. Laporan mengenai kerusakan lingkungan dan pertumbuhan populasi yang pesat di kalangan pengungsi tersebar luas. Politisi telah menyebut Rohingya sebagai “risiko keamanan”, yang mengarah pada kebijakan yang ketat seperti pembatasan internet, penyitaan kartu SIM, pagar kawat berduri, repatriasi paksa dan pemukiman kembali pengungsi ke Bhashan Char yang terisolasi. Media lokal di Ukhiya dan Teknaf memainkan peran penting dalam memicu sentimen anti-Rohingya dan menampilkan gambaran satu dimensi tentang Rohingya sebagai ancaman sekaligus beban. Media-media ini dengan cerdik mengeksploitasi algoritma Facebook untuk memperkuat narasi negatif mereka, yang selanjutnya berkontribusi terhadap marginalisasi komunitas Rohingya.
Sejak saat itu, gambaran media mengenai pengungsi Rohingya selalu negatif. Surat kabar di Bangladesh terutama menyoroti berita kejahatan dan kekerasan yang terkait dengan pengungsi. Foto sering kali menunjukkan mereka dikelilingi oleh aparat penegak hukum bersenjata. Representasi krisis Rohingya yang terlalu disederhanakan ini melanggengkan gagasan “menjadi pengungsi”, dan menggambarkan pengungsi sebagai sesuatu yang problematis dan menyusahkan.
Tren yang mengkhawatirkan dalam liputan berita global melibatkan promosi ujaran kebencian dan stereotip, yang mengarah pada pengucilan sosial terhadap pengungsi dan migran. Pengungsi sering kali digambarkan sebagai ancaman, dan media menggambarkan mereka sebagai gelombang individu yang tak ada habisnya yang akan mengambil pekerjaan, membebani negara, dan pada akhirnya mengancam cara hidup masyarakat adat. Liputan ini sering kali didorong oleh agenda politik, dengan informasi yang belum diverifikasi dari pihak berwenang menjadi berita utama dan tersebar di berbagai platform.
Dalam inisiatif baru-baru ini untuk mendirikan organisasi Rohingya global, seorang pensiunan pejabat keamanan Bangladesh berbagi pengalamannya bertemu dengan seorang anak laki-laki berusia 12 tahun yang mengalami trauma di kamp pengungsi pada puncak krisis. Gambarannya tentang anak laki-laki tersebut sebagai calon teroris di masa depan adalah sebuah pencerahan yang tidak disadari, mengungkapkan persepsi mendasarnya terhadap Rohingya sebagai ancaman. Para peserta Rohingya, yang merasa tidak berdaya, hanya bisa dengan lemah lembut mengungkapkan rasa terima kasih mereka atas kehadiran mantan perwira tersebut pada pertemuan tersebut, meskipun ada implikasi negatif dari pernyataannya.
Sensor dan sensor mandiri berkontribusi pada narasi yang bias ini, karena jurnalis takut akan pembalasan dari pemilik media atau pemerintah jika mereka menantang posisi pemerintah. Akibatnya, media kesulitan memberikan liputan yang berimbang ketika para pemimpin politik mengarahkan narasinya, dan kebingungan antara fakta dan opini semakin memperparah masalah.
Pihak berwenang dengan terampil mengarahkan narasi seputar Bhashan Char, dengan sasaran pemirsa domestik dan internasional. Mereka berhasil memimpin media dalam negeri untuk memproduksi banyak artikel berita, video promosi, dan bahkan buku, tanpa menyebutkan banyak tantangan yang dihadapi Rohingya di pulau tersebut. Permasalahan yang belum terselesaikan ini termasuk tenggelam saat mencoba melarikan diri, fasilitas yang tidak memadai, perampasan kebebasan bagi warga Rohingya yang diperdagangkan, dan kekerasan yang dilakukan oleh pihak berwenang.
Jurnalis Bangladesh sebagian besar tidak berhasil meminta pertanggungjawaban pihak berwenang atas perlakuan terhadap pengungsi. Investigasi dan pelaporan mengenai pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, dan kondisi kehidupan yang buruk di kamp pengungsi masih kurang.
Dalam hal pendanaan dan bantuan, pengelolaan bantuan internasional dan sumber daya keuangan yang dialokasikan untuk pengungsi Rohingya belum dipantau atau diberitakan secara menyeluruh oleh media, sehingga menciptakan peluang terjadinya salah urus atau korupsi. Kurangnya pengawasan ini juga terjadi pada LSM-LSM internasional, termasuk UNHCR dan lembaga-lembaga lainnya, yang mampu beroperasi dengan pengawasan yang minim karena lanskap media yang tidak memihak.
Pengungsi, sebagai kelompok minoritas yang rentan, dapat dengan mudah menjadi kambing hitam atas berbagai permasalahan sosial. Media dapat mengatasi masalah ini dengan berpegang pada prinsip etika, menghindari stereotip, dan menjalin hubungan dengan khalayak. Jurnalis harus berkomitmen pada prinsip-prinsip inti seperti independensi, ketidakberpihakan, dan kemanusiaan. Kurangnya minat masyarakat sipil dan asosiasi profesional Bangladesh terhadap isu-isu ini merupakan dakwaan sekaligus tujuan akhir, yang menyoroti perlunya pendekatan yang lebih proaktif untuk mengatasi tantangan yang dihadapi komunitas Rohingya.
Mungkin yang paling penting adalah proses repatriasi. Upaya pemerintah Bangladesh untuk memulangkan pengungsi Rohingya ke Myanmar belum mendapat perhatian yang cukup, meskipun ada kekhawatiran mengenai keamanan dan pelanggaran hak asasi manusia di tanah air mereka. Penting untuk dicatat bahwa repatriasi yang tidak berkelanjutan telah terjadi selama 40 tahun, dan ini bukanlah informasi baru bagi pers. Oleh karena itu, menarik untuk melihat bagaimana media terus menyuarakan narasi yang sama dengan pemerintah, terlepas dari konteks sejarah dan sifat isu yang sudah lama ada.
Aspek penting lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah rendahnya apresiasi dan rendahnya keterwakilan jurnalisme oleh para pengungsi itu sendiri. Hal ini paling jelas terlihat di bidang foto jurnalistik. Karya jurnalis pengungsi, khususnya komunitas Rohingya, seringkali tidak diakui, dihargai atau diberi ruang untuk berekspresi. Hal ini menyebabkan marginalisasi pengungsi dalam berbagai bentuk, termasuk kurangnya kredit, rendahnya atau tidak adanya bayaran, dan pengucilan dari bidang foto jurnalistik.
Organisasi-organisasi berita nasional dan asing cenderung memandang pengungsi Rohingya sebagai orang yang berperan sebagai pengatur atau pemecah masalah, dan sering kali hanya menggunakan keterampilan mereka ketika terjadi bencana atau peristiwa penting. Akibatnya, mereka jarang melibatkan individu-individu tersebut untuk menggali lebih dalam kehidupan sehari-hari dan pengalaman para pengungsi atau untuk mengungkap cerita yang lebih kompleks tentang komunitas tersebut. Perspektif yang terbatas ini berkontribusi pada pemahaman yang dangkal mengenai krisis Rohingya dan semakin meminggirkan suara mereka dalam lanskap media global.
Publikasi foto-foto yang diambil oleh para pengungsi tanpa penghargaan dan kompensasi yang diperlukan semakin berkontribusi terhadap marginalisasi mereka. Tindakan serupa yang berulang kali memperkuat praktik eksklusif ini. Organisasi yang tidak pernah mempertimbangkan untuk menggunakan karya fotografer lain tanpa izin atau kompensasi mungkin menganggap gambar yang diambil oleh fotografer Rohingya adalah tindakan yang adil. Standar ganda ini melemahkan potensi pengungsi untuk membuat suara mereka didengar dan berbagi perspektif, sehingga melanggengkan narasi sepihak yang mendominasi media arus utama.
Pengungsi, sebagai kelompok minoritas yang rentan, dapat dengan mudah menjadi kambing hitam atas berbagai permasalahan sosial. Media dapat mengatasi masalah ini dengan berpegang pada prinsip etika, menghindari stereotip, dan menjalin hubungan dengan khalayak. Jurnalis harus berkomitmen pada prinsip-prinsip inti seperti independensi, ketidakberpihakan, dan kemanusiaan. Kurangnya minat masyarakat sipil dan asosiasi profesional Bangladesh terhadap isu-isu ini merupakan dakwaan sekaligus tujuan akhir, yang menyoroti perlunya pendekatan yang lebih proaktif untuk mengatasi tantangan yang dihadapi komunitas Rohingya.
Mengingat krisis tahun 2017 dan kudeta militer di Myanmar, kebutuhan akan jurnalisme yang bertanggung jawab, berempati, dan berpengetahuan luas di Bangladesh menjadi semakin mendesak dibandingkan sebelumnya. Penting untuk memperkuat jurnalisme investigatif yang didedikasikan untuk penelitian menyeluruh, penyediaan informasi yang dapat diandalkan, dan akuntabilitas pihak yang berkuasa. Dengan berinvestasi pada jurnalisme yang beretika dan publik, kita dapat memastikan bahwa kisah-kisah kompleks mengenai krisis pengungsi Rohingya terungkap.