13 Februari 2023
JAKARTA – Masyarakat Asia Tenggara sedang bergulat dengan ancaman resesi ekonomi global, potensi ketegangan militer, dan “ASEAN yang lambat dan tidak efektif,” demikian temuan survei terbaru.
Studi Keadaan Asia Tenggara tahun 2023, yang dilakukan pada bulan November 2022 hingga Januari 2023 oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute yang berbasis di Singapura, mengajukan beragam pertanyaan kepada masyarakat Asia Tenggara mengenai masalah geopolitik dan ekonomi, mulai dari invasi Rusia ke Ukraina, regional ketegangan geopolitik. terhadap persaingan Amerika Serikat-Tiongkok dan dampaknya terhadap kawasan.
Sebanyak 1.308 responden dari kalangan akademisi, bisnis, pemerintahan, masyarakat sipil, dan media di Asia Tenggara berbagi wawasan mereka dalam bahasa Inggris, Indonesia, Khmer, Laos, Burma, Thailand, dan Vietnam.
Survei tersebut dilakukan ketika pandemi COVID-19 akan memasuki tahun ketiga, namun bayang-bayang tersebut mulai memudar ketika hampir semua negara di Asia Tenggara membuka kembali perbatasannya untuk perdagangan dan perjalanan.
Dibandingkan dengan pandemi ini, kekhawatiran terhadap perekonomian telah menjadi kekhawatiran utama bagi masyarakat Asia Tenggara, menurut survei tersebut, karena 59,5 persen responden mengatakan mereka takut akan pengangguran dan resesi ekonomi akibat pandemi ini.
Perubahan iklim juga semakin menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat Asia Tenggara, dengan 57,1 persen mengatakan bahwa kejadian cuaca yang lebih sering dan intens merupakan tantangan terbesar kedua di kawasan ini.
Sementara itu, kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin lebar dan meningkatnya ketegangan militer merupakan tantangan terbesar ketiga yang dihadapi kawasan ini, dengan sekitar 41,9 persen responden menyatakan hal yang sama.
Masyarakat Asia Tenggara juga masih khawatir bahwa ASEAN “lambat dan tidak efektif” dalam menanggapi perkembangan regional, dengan kudeta militer Myanmar yang memasuki tahun kedua dan ketegangan geopolitik oleh negara-negara besar semakin meningkat.
Sekitar 82,6 persen responden mengatakan ASEAN lambat dan tidak efisien serta tidak mampu mengatasi perkembangan politik dan ekonomi, meningkat dari tahun lalu sebesar 70,1 persen.
Masyarakat di kawasan ini juga semakin merasa bahwa ASEAN telah menjadi arena persaingan kekuatan-kekuatan besar dan bahwa negara-negara anggotanya berisiko menjadi proxy, dengan 73 persen menyatakan demikian dibandingkan dengan 61,5 persen pada tahun lalu.
Tiongkok masih dipandang sebagai kekuatan strategis ekonomi dan politik yang paling berpengaruh di kawasan ini, yaitu sebesar 59,9 persen, namun angka ini merupakan penurunan yang signifikan dari 76,7 persen pada tahun lalu. Sebagian besar masih khawatir terhadap pengaruh Tiongkok yang semakin besar terhadap perekonomian regional. Jumlahnya hampir statis; pada tahun 2023 sebesar 64,5 persen dan pada tahun 2022 sebesar 64,4 persen.
Ketika ditanya apakah ASEAN sebaiknya memilih antara AS dan Tiongkok, sebagian besar responden lebih memilih AS dan Tiongkok, dengan masing-masing 61,1 persen dan 38,9 persen pada tahun 2023. Namun, jika dilihat dari negaranya, responden dari Brunei mengatakan, Indonesia dan Malaysia lebih memilih Tiongkok dibandingkan Tiongkok. Amerika Serikat.
Mengomentari hasil survei tersebut, Direktur dan CEO ISEAS Yusof Ishak Institute Choi Shing Kwok mengatakan survei tersebut menunjukkan bahwa kawasan ini tetap terbuka terhadap Amerika Serikat dan Tiongkok serta kehadiran negara-negara besar lainnya.
“Meski tidak diabaikan, ASEAN sendiri dapat menggunakan keagenan yang lebih besar dalam mengarahkan masa depannya dalam lingkungan yang lebih menantang,” kata Kwok dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis.
Juga pada hari Kamis, Presiden Filipina Ferdinand Marcos memuji pertahanan baru dan perjanjian lain yang ditandatangani dengan Jepang di Tokyo, ketika negara-negara berupaya memperdalam hubungan, termasuk dalam bidang keamanan sebagai tanggapan terhadap meningkatnya tekanan militer Tiongkok.
Negara-negara tersebut menyepakati langkah-langkah untuk mempercepat pengerahan militer untuk bantuan kemanusiaan dan bantuan bencana.
Mereka juga menandatangani beberapa perjanjian lain, mulai dari pinjaman infrastruktur hingga kerja sama di bidang pertanian dan teknologi.
“Setelah pertemuan kita, saya dapat mengatakan dengan yakin bahwa kemitraan strategis kita menjadi lebih kuat dari sebelumnya saat kita bersama-sama menghadapi kesulitan yang dihadapi kawasan kita,” kata Marcos usai pembicaraan dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, seperti dikutip AFP.
Jepang adalah “salah satu tetangga terdekat dan sahabat terdekat Filipina,” kata Marcos kepada wartawan.
Kunjungannya dilakukan seminggu setelah Filipina mengumumkan kesepakatan yang memberi pasukan AS akses ke empat pangkalan lagi di negara tersebut.
Tokyo dan Manila juga sedang melakukan diskusi awal mengenai perjanjian pertahanan utama yang memungkinkan mereka mengerahkan pasukan di wilayah masing-masing untuk pelatihan dan operasi lainnya.
Jepang, yang menginvasi dan menduduki Filipina selama Perang Dunia II, baru-baru ini menandatangani perjanjian serupa dengan Inggris dan Australia.